Street Fighter lahir sebagai permainan arkade yang sederhana, dua petarung, satu arena, dan kemenangan yang ditentukan oleh refleks serta hafalan gerakan. Namun seiring waktu, ia tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar game.
Street Fighter membentuk cara generasi 1990-an memahami aksi, duel, dan maskulinitas. Pose Ryu yang menunduk sebelum melepaskan Hadouken, teriakan khas yang terdengar seperti mantra, hingga ritme satu lawan satu yang ketat, perlahan berubah menjadi bahasa visual universal. Menariknya, ketika bahasa itu masuk ke layar lebar, ia justru paling hidup bukan lewat film adaptasi resminya, melainkan lewat penyusupan, parodi, dan penghormatan yang muncul di film-film lain.
Di titik inilah Street Fighter menemukan keabadiannya. Ia tidak lagi membutuhkan judul di poster atau logo Capcom di layar pembuka. Cukup satu pose, satu efek suara, atau satu kilatan energi biru, dan penonton langsung tahu dari mana asalnya.
