Review No Game No Life Zero: Lebih Cocok Disebut No Fanservice, No Life
No Game, No Life Zero sebenarnya mempunyai potensi yang bagus di awal. Namun, mereka menghancurkan semua hal tersebut layaknya bom nuklir akibat terlalu banyak fanservice murahan
Bagi yang ingin menonton filmnya, review No Game No Life Zero akan membuat kamu berpikir ulang untuk menonton filmnya karena dibumbui banyak fanservice.
No Game, No Life merupakan serial anime yang populer di kalangan pecinta animanga dan menjadi serial yang sangat hype di tahun 2014. Salah satu penyebab kepopuleran tersebut tentunya adalah tema, karakter dan cerita tersebut yang mampu menangkap perhatian para pecinta animanga dan berharap bisa menjadi sekeren karakter utamanya, Sora dan Shiro, yang bisa menaklukkan dunia dengan bermain game meski pada kenyatannya mereka adalah makhluk hikikomori yang tidak pernah bergaul dengan dunia luar sama sekali dan terjebak dalam dunia fantasi yang sebenarnya ada-ada saja.
Ditambah lagi serial ini mempunyai banyak fanservice yang sebenarnya tidak penting dan malah menganggu cerita, tetapi para pecinta animanga suka dengan ke-loli-an dari Shiro jadi itu bukan menjadi masalah besar harusnya.
[read_more id="320768"]
Pengaruh dari serial ini begitu besar di kalangan pecinta animanga. Tiba-tiba banyak yang memakai kaos yang dipakai Sora dan berharap mereka bisa menjadi raja game. Ketika serial animenya berakhir semua pecinta animanga langsung beramai-ramai menunggu kapan musim kedua dari serial anime yang terlalu banyak menggunakan warna pastel yang membuat mata cukup nyeri melihatnya.
Untuk menjawab kehausan dari para pecinta No Game, No Life pihak Kadokawa selaku pemegang hak cipta dari serial ini memberikan sebuah film pemuas dahaga para penggemar serial ini berjudul No Game, No Life Zero yang sudah dirilis di Jepang pada 9 September 2017 dan baru dirilis pada tanggal 25 Oktober 2017. Mari kita menyimak review No Game No Life Zero:
Sinopsis
[youtube_embed id="0i1AxFdlu0M"]
No Game, No Life Zero bercerita tentang sebuah dunia yang semuanya ditentukan oleh game bernama Disboard dan cerita dimulai sebelum kejadian yang ada di serial No Game No Life. Cerita berpusat pada sebuah karakter bernama Riku yang melarikan diri dari sebuah peperangan besar yang terjadi untuk merebut gelar “One True God” dan menguasai dunia. Meskipun manusia menghadapi kepunahan akibat perang tersebut hatinya masih percaya pada hari esok.
Suatu hari, ketika ia melewati sebuah kota Elf yang ditinggalkan, ia menemui seorang mesin perempuan bernama Shuvi. Shuvi dikatakan telah rusak dan dibuang dari kelompoknya. Sepanjang cerita, Riku dan Shuvi berusaha untuk mengetahui apa arti sebenarnya hati dan perasaan manusia.
Cerita yang bagus di awal…..
Di menit-menit awal, No Game, No Life Zero mempunyai premis cerita yang menarik dan seru untuk dilihat lebih lanjut. Cerita dimulai dari Riku yang sudah kehilangan banyak temannya akibat perang hebat antar berbagai macam ras dan mampu membangkitkan emosi penonton dengan tampilan dan musik dramatis yang disuguhkan.
Tema survivalism terus diumbar di menit-menit awal anime seolah menunjukkan bahwa kali ini No Game, No Life Zero adalah sebuah anime yang serius dan tidak main-main dalam menunjukkan rasa tragis akibat peperangan besar. Semuanya berjalan sangat normal dan tidak ada kesan bahwa anime ini akan berantakan.
Sampai ia bertemu seorang robot loli bernama Shuvi.
….tetapi semakin berantakan di akhir
Pertemuan Riku dengan Shuvi menjadi titik balik dari anime ini dan menghancurkan semua keepikan yang sudah diceritakan di awal. Ketika Riku bertemu robot loli semua citra epik seolah buyar dalam sekejap dan digantikan dengan fanservice yang tidak penting dan sangat menganggu.
Begitu cerita semakin berjalan bumbu fanservice tersebut semakin menjadi-jadi. Semua keklisean dari novel ringan yang ditujukan untuk otaku yang menganggap bahwa isekai dan fanservice wajib muncul untuk membuat cerita semakin hebat ditunjukkan berkali-kali dan berulang-ulang.
Ada apa dengan cerita dan fanservice dari film ini sehingga merusak kualitas dari filmnya? Simak lanjutan review No Game No Life Zero pada halaman berikutnya!
Fanservice yang menutupi semuanya
Sebenarnya, No Game, No Life Zero mempunyai tema cerita yang cukup solid dan lebih masuk akal ketimbang serial animenya. Cerita tentang manusia dan android—Riku dan Shuvi—yang menyukai satu sama lain bisa menjadi satu cerita cyberpunk yang indah dan hebat.
Sayangnya, film ini tidak megeksplor hal tersebut dan malah sibuk dengan Shuvi yang bertingkah ke-loli-an dengan memanggil oniichan, berbicara dengan bahasa yang sering dipakai karakter loli, dan berbagai adegan mengundang yang membuat para pecinta serial ini semakin terangsang dan terkesan tanpa konteks.
Pengembangan karakter yang ada di film ini sedikit rapih tetapi terkesan biasa saja. Karakter Riku sendiri sudah terlalu banyak ditemukan di berbagai macam serial anime dengan tema yang sama tetapi Riku setidaknya lebih baik dari karakter Sora yang sangat jago sampai-sampai tidak terlihat masuk akal dan aneh.
Plothole di Sana-Sini
Meski grafis dan animasi yang ada di dalam film ini hebat dan cenderung di atas rata-rata terutama di adegan pertarungan yang dieksekusi dengan baik dan grafis pastel yang membuat sakit mata lenyap, tetapi cerita yang ada di dalamnya sangatlah kosong dan loncat-loncat tanpa ada penjelasan sama sekali tentang bagaimana kejadian yang ada di adegan tersebut bisa terjadi—padahal durasi anime ini cukup lama.
Konsep cerita yang padat dan harus dijelaskan satu persatu agar terdengar masuk akal sengaja dihilangkan dari cerita agar memberikan waktu untuk adegan battle dan, pastinya, fanservice yang sangat tidak penting. Fanservice sendiri memakan durasi film sangat banyak.
Penceritaan yang terlalu loncat-loncat dan tidak ada backstory yang lengkap dan utuh menjadi kesalahan yang paling fatal di dalam film ini. Lebih gilanya lagi, hal ini terus terjadi sampai film ini selesai. Film ini terlalu sibuk ke penyelesaian sebuah adegan tanpa memperlihatkan bagaimana prosesnya sehingga bisa memunculkan adegan tersebut.
No Game, No Life Zero bercerita layaknya seorang salesman murahan yang membebarkan produknya secara terburu-buru kepada orang dan memaksa orang untuk membeli produk tersebut sekarang juga tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya. Hal ini menjadi masalah, karena film ini bukanlah film yang mengharuskan penonton mempunyai interpretasi sendiri ketika menonton karena semua adegan yang ada di film ini sebenarnya berkesinambungan satu sama lain dan fatal untuk dihilangkan.
Unsur game yang ada di dalam film ini juga tidak berbicara banyak. Ketika muncul teori game, yang ada film ini membawakannya terlalu cepat dan susah dicerna karena mempunyai konsep yang tidak jelas. Mungkin kata No Fanservice, No Life pantas disematkan untuk film ini.
No Game, No Life Zero sebenarnya mempunyai potensi yang bagus dengan menceritakan tema survivalism di awal namun sayangnya mereka menghancurkan semua hal tersebut layaknya bom nuklir. Semua potensi tersebut hancur total akibat fanservice yang terlalu banyak dan tidak mempunyai korelasi dengan cerita. Cerita yang terkesan terburu-buru dan mempunyai banyak plothole yang cukup membuat bingung penonton biasa yang tidak pernah menyentuh anime maupun novel ringan dari serial aslinya, serta eksekusi yang ampas dan seolah tidak menyelesaikan apa-apa.
[read_more id="330052"]
Pada akhirnya No Game, No Life Zero bukanlah sebuah film yang unik dan wow dari dunia anime. Sama seperti serial anime aslinya, film ini hanyalah film yang hanya bisa dikonsumsi oleh para otaku yang terangsang hawa nafsunya ketika melihat karakter loli dibully, berbicara, dan melakukan hal-hal yang menjerumus tanpa sebab dan alasan yang kuat, tema fantasi yang jelek, dan karakter yang self-insertion ke dalam tipe penonton yang sudah disebutkan di atas.
No Game, No Life Zero adalah film yang menjual untuk tipe penonton tersebut dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik untuk film secara keselurahan dari segi apapun
Diedit oleh Fachrul Razi