Junichi Okada sebagai Shujiro Saga. (dok. Netflix/Last Samurai Standing)
Shujiro dikenal oleh sejumlah kontestan, bahkan oleh para penonton permainan sadis ini, sebagai Kokushu the Manslayer, pendekar pedang legendaris yang dulu ditakuti.
Kilas balik di awal episode 1 menunjukkan reputasinya bukan sekadar mitos. Dalam sebuah pertempuran besar, ia mampu mengalahkan seorang jenderal musuh dalam duel satu lawan satu dengan sangat cepat.
Namun konteksnya penting: perang itu tampaknya terjadi pada Perang Boshin, masa ketika cara bertempur Jepang sedang berubah drastis dan pedang mulai kalah oleh modernisasi senjata api.
Meski berhasil memenggal pemimpin lawan, Shujiro langsung dihujani tembakan artileri. Ia selamat, tetapi meninggalkan medan perang dalam keadaan hancur secara mental. PTSD merenggut ketenangan dan kepercayaan dirinya, hingga pada hari pertama kontes Kodoku, tangannya gemetar saat mencoba menarik pedang, membuatnya bertempur tanpa pernah benar-benar menghunuskan senjata.
Dalam kondisi rapuh seperti itu, ditambah fakta bahwa beberapa kontestan justru ingin menguji kekuatannya, Shujiro tetap menunjukkan sisi kemanusiaannya. Ia memilih menolong salah satu peserta termuda, Futaba Katsuki, seorang gadis yang hampir tak punya peluang bertahan.
Dengan trauma yang belum pulih, reputasi yang besar, dan lawan-lawan yang siap membunuh… bisakah Shujiro bertahan dari Kodoku, permainan maut yang tak memberi ruang untuk kelemahan?
Ataukah ia akan mati sia-sia sementara di rumah anak dan istrinya yang tersisa masih menderita kolera?