Tahun 1994, Street Fighter II masih jadi buah bibir di kalangan gamer Indonesia, baik yang rajin nongkrong di arcade maupun yang main di home console. Komik-komik bajakan Hong Kong-nya menjamur dan laris manis, diburu para gamer yang haus akan cerita dari semesta Street Fighter.
Maka ketika adaptasi filmnya tayang di bioskop, dibintangi Jean-Claude Van Damme yang kala itu masih berada di puncak popularitas, rasanya wajib ditonton. Saya pun ikut duduk di bangku bioskop.
Namun bahkan sebagai bocah, saya sudah bisa merasakan ada yang… aneh. Film ini terasa janggal dan jauh dari ekspektasi yang dibangun oleh gamenya.
Meski begitu, entah kenapa Street Fighter (1994) tetap saya tonton berulang kali... mulai dari format LaserDisc (yes, era kuno itu...), VCD, DVD, hingga penayangan ulang di TV kabel. Dan seiring waktu, meskipun jelas film ini penuh keanehan dan keputusan kreatif yang dipertanyakan, ada pula aspek-aspek tertentu yang justru layak dihargai dan diapresiasi.
Apa saja?
Simak ulasan Street Fighter (1994) berikut ini.
