Last Samurai Standing (dok. Netflix/Last Samurai Standing)
Yang pertama kali mendorong saya mencoba Last Samurai Standing adalah rekomendasi dari teman kantor di IDN: “Kayak battle royale, tapi tokohnya samurai.”
Lebih tepatnya: mantan samurai.
Seri ini mengambil latar era Restorasi Meiji, sekitar satu dekade setelah Perang Boshin. Dari kelas istimewa yang dulu memegang banyak hak, para samurai kini kehilangan posisi mereka, bahkan dilarang membawa pedang di tempat umum. Shujiro, tokoh utama kita, hidup miskin; satu anaknya sudah meninggal, dan keluarganya yang tersisa menderita kolera. Tanpa pilihan lain, ia menerima undangan aneh yang menjanjikan hadiah 100.000 yen bagi pemenang.
Tema battle royale selalu punya daya tarik sendiri: banyak karakter, banyak potensi konflik, dan rasa tegang bahwa tidak semua favorit kita akan bertahan hidup hingga akhir. Last Samurai Standing menegaskan itu sejak awal, bahkan karakter yang terlihat menonjol di episode 1 (dan sempat disorot di trailer) ternyata tewas cepat di episode 2.
Salah satu kekuatan terbesar seri ini adalah aksi pertarungannya. Baik duel pedang satu lawan satu maupun bentrokan massal, semuanya dikoreografikan dengan gaya yang mengingatkan saya pada Rurouni Kenshin live-action: gerakan cepat, akrobatik, intens, tapi masih tetap terasa membumi. Hampir setiap episode menyajikan satu pertarungan yang benar-benar menggigit, dengan format dan tensi yang berbeda-beda.
Ditambah dengan intrik konspirasi di balik Kodoku serta pergulatan batin Shujiro dan Futaba Katsuki, gadis muda yang mengikuti perjalanan mereka, enam episode Last Samurai Standing terasa sangat memikat hingga mudah saja ditonton habis dalam satu malam.