Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
3644 © PHOTO SHANNA BESSON © 2025 LBP - EUROPACORP - TF1 FILMS PRODUCTION - SND (Small).JPG
Dok. EUROPACORP (Dracula: A Love TALE)

Intinya sih...

  • Pesona Caleb Landry Jones vs. Arahan Besson

  • Caleb Landry Jones berhasil memerankan Dracula yang ambigu, namun penyutradaraan Luc Besson ketinggalan zaman dan membuat film kehilangan momentum.

  • Setia pada Sumber, tapi Tanpa Nyawa

  • Detail teknis film tidak buruk, tetapi gagal menggugah pengalaman sinematis yang mendalam. Karakter pendukung pun tidak diberi kedalaman.

  • Cinta Abadi yang Tak Menyala di Layar

  • Film ini akan cepat terasa hambar bagi pecinta horor gotik atau narasi kompleks. Penekanan tunggal pada cinta membuat narasi repetitif dan kehilangan taring.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

GENRE: Romance, Fantasy

ACTORS: Christoph Waltz, Caleb Landry Jones, Matilda De Angelis

DIRECTOR: Luc Besson

RELEASE DATE: 29 Agustus 2025

RATING: 3/5

Luc Besson, sutradara yang pernah memberi dunia Léon: The Professional, kembali mencoba menghidupkan ulang legenda klasik Bram Stoker dengan film Dracula: A Love Tale. Kali ini, fokus cerita bukan pada horor dan politik kelam, melainkan pada cinta abadi yang tragis. Vlad II Dracula (Caleb Landry Jones) digambarkan sebagai seorang pria yang kehilangan harta terbesarnya: Elizabeth (Zoe Blue). Kematian kekasihnya yang dibunuh para penyerang membuat Dracula menolak Tuhan, lalu berubah menjadi makhluk abadi yang hidup dari darah manusia.

Namun, di balik kutukan itu, keyakinannya pada cinta tetap menyala. Dracula percaya Elizabeth bisa kembali, dan pencarian inilah yang menjadi inti cerita. Meski penuh nuansa romantis dan tragis, penekanan tunggal pada cinta membuat narasi cepat terasa repetitif. Jika Stoker menulis tentang cinta, dosa, dan kritik sosial, Besson justru mereduksi Dracula hanya menjadi pria patah hati yang terjebak dalam melodrama.

1. Pesona Caleb Landry Jones vs. Arahan Besson

Dok. EUROPACORP (Dracula: A Love Tale)

Meski cerita berulang, penampilan Caleb Landry Jones tetap menjadi daya tarik utama. Aktor ini berhasil menampilkan Dracula yang ambigu: tragis sekaligus menakutkan, penuh cinta namun juga penuh amarah. Setiap kemunculannya menghidupkan layar, baik dalam dialog maupun ekspresi yang penuh luka batin. Christoph Waltz sebagai pendeta karismatik juga mencuri perhatian, menghadirkan percikan energi di tengah cerita yang lesu.

Sayangnya, talenta aktor tidak cukup menyelamatkan kelemahan penyutradaraan Luc Besson. Gaya bercerita yang ketinggalan zaman, editing datar, atmosfer monoton, dan minimnya imajinasi visual—membuat film kehilangan momentum. Bahkan dengan segala percobaan gaya epistolary yang meniru struktur novel aslinya, narasi tetap tidak bergerak dinamis. Apalagi jika dibandingkan dengan Nosferatu garapan Robert Eggers yang segar sekaligus setia pada nuansa gotik klasik, film ini terasa seperti bayangan samar yang terlambat hadir.

2. Setia pada Sumber, tapi Tanpa Nyawa

Dok. EUROPACORP (Dracula: A Love Tale)

Besson memang menunjukkan respek pada Stoker dan Coppola dengan detail kostum, setting era, hingga CGI makhluk yang cukup layak. Secara teknis, film ini tidak buruk. Namun, elemen-elemen tersebut gagal berpadu menjadi pengalaman yang menggugah. Cerita berjalan seperti sandiwara panggung: penuh dialog panjang, namun tanpa energi sinematis.

Upaya memperluas dunia film dengan menambahkan organisasi pemburu vampir yang dipimpin tokoh Waltz pun hanya menjadi hiasan. Tidak ada ketegangan nyata, tidak ada pembangunan dunia yang terasa hidup. Dracula, sang legenda abadi, ironisnya menjadi sosok yang terjebak dalam kisah linear dan dangkal. Karakter pendukung pun tidak diberi kedalaman, sehingga hanya berfungsi sebagai latar kosong bagi obsesi cinta sang vampir.

3. Cinta Abadi yang Tak Menyala di Layar

Dok. EUROPACORP (Dracula: A Love Tale)

Dracula: A Love Tale seakan menjadi pengingat pahit bahwa menekankan satu tema saja—cinta—tidak cukup untuk menghidupkan kembali legenda berusia ratusan tahun. Memang, film ini bisa dinikmati jika tujuan utama penonton hanya menyaksikan Caleb Landry Jones memerankan Dracula yang penuh luka batin, atau sekadar menikmati kostum dan setting yang detail. Tetapi bagi pecinta horor gotik atau narasi kompleks, film ini akan cepat terasa hambar.

Luc Besson memilih pendekatan datar, seperti bercerita di sebuah kafe biasa, padahal Dracula adalah tokoh yang sarat simbol dan sudah diangkat ratusan kali dengan berbagai tafsir. Sayangnya, keputusan itu membuat film kehilangan taring. Hasil akhirnya lebih menyerupai melodrama televisi awal 2000-an ketimbang karya layar lebar tahun 2025.

Dracula: A Love Tale memiliki aktor berbakat, detail teknis yang rapi, serta niat baik untuk menyorot sisi romantis sang vampir. Namun, semuanya runtuh karena arah penyutradaraan yang lemah, narasi repetitif, dan visi artistik yang ketinggalan zaman. Kisah cinta abadi yang seharusnya membara, justru padam menjadi bisikan samar di layar.

Editorial Team