Street Fighter the legend of chun-li. (Dok. 20th Century Fox/Street Fighter: The Legend of Chun-Li)
Salah satu kesalahan paling mendasar dari Street Fighter (1994) adalah ini: meski judulnya Street Fighter, filmnya nyaris tidak menampilkan inti Street Fighter itu sendiri.
Alih-alih duel antar petarung terbaik dari berbagai negara, film 1994 justru terasa seperti G.I. Joe versi KW, berisi aksi pasukan multinasional dan sekutunya melawan seorang diktator di negara fiktif. Unsur “street fighting” global yang jadi DNA game-nya nyaris hilang.
Ironisnya, hanya setahun kemudian, Mortal Kombat (1995) membuktikan bahwa konsep yang jauh lebih simpel (turnamen bela diri berbahaya dengan konspirasi kelam di baliknya) bisa bekerja dengan sangat baik. Bahkan dengan budget lebih kecil dari Street Fighter 1994, film itu berhasil meraih penghasilan yang lebih besar dan diterima lebih hangat oleh penonton.
Pertanyaannya: apakah Street Fighter: The Legend of Chun-Li belajar dari situ?
Jawabannya: tidak.
Alih-alih kembali ke konsep turnamen, versi 2009 justru memilih pendekatan aksi kriminal dengan sindikat kejahatan, mafia, dan kisah origin personal. Turnamen Street Fighter sendiri baru disebut di bagian akhir film, ketika semuanya sudah terlambat untuk terasa relevan.
Yang bikin heran, dua film Street Fighter live-action ini sama-sama terlihat menghindari konsep turnamen bela diri, padahal strukturnya sederhana, mudah dipahami penonton umum, dan sudah terbukti “works” lewat Mortal Kombat
Seakan-akan ada ketakutan aneh untuk sepenuhnya merangkul identitas paling dasar dari Street Fighter itu sendiri.