Batman lawan Superman di BvS. (Dok. Warner Bros/Batman v Superman)
Bagian selanjutnya dari Penilaian Film Nostalgia: Batman v Superman ini menyentuh aspek penting: penokohan para karakternya. Wajar, karena pada dasarnya film ini bukan hanya tentang konflik dua ikon DC, tapi juga semacam pondasi awal untuk semesta Justice League yang saat itu tengah disiapkan.
Henry Cavill sejak Man of Steel sudah tampak solid sebagai Superman. Secara fisik, ia cocok, dan di film ini ia juga mendapat lebih banyak momen heroik. Sayangnya, karakterisasi Clark Kent tetap terasa datar dan terlalu sering diposisikan sebagai simbol, bukan pribadi. Masalah ini makin terasa jika kamu bandingkan dengan versi Superman di komik atau animasi yang punya lebih banyak sisi emosional dan manusiawi.
Ben Affleck sebagai Batman? Awalnya banyak yang pesimis, mengingat trauma publik dari Daredevil (2003), tapi saya sendiri merasa Affleck justru cukup berhasil membawakan sosok Bruce Wayne yang lebih tua, sinis, dan penuh trauma. Bahkan hingga 2025 pun, saya masih menganggap ini salah satu penampilan aktingnya yang cukup kuat, meski karakternya kontroversial (nanti kita bahas kenapa).
Wonder Woman? Di trailer dan poster, ia sering ditampilkan sejajar dengan dua tokoh utama, sehingga banyak penonton mungkin berharap ia akan punya peran besar dalam konflik. Namun kenyataannya, Diana hanya muncul di subplot kecil, sebelum akhirnya ikut turun di klimaks menghadapi Doomsday. Latar belakangnya masih dirahasiakan dan baru dieksplorasi di film solonya.
Secara teknis, ini keputusan yang tepat. Karena film ini sudah dijejali begitu banyak subplot dan konflik internal, menambahkan origin Wonder Woman di sini hanya akan menambah beban durasi yang sudah panjang. (Bahkan dengan 182 menit di Ultimate Edition, film ini masih terasa padat.)
Dibandingkan Man of Steel, versi Superman di sini memang tampil lebih heroik dan lebih berhati-hati dalam menghadapi konflik. Ia sebisa mungkin tidak membunuh. Sebuah peningkatan dari kontroversi di film sebelumnya.
Tapi sekarang mari bicara soal penyajian Batman, yang hingga kini masih memicu perdebatan.
Batman versi Batman v Superman adalah vigilante yang tak ragu membunuh. Bukan seperti Superman di Man of Steel yang membunuh karena terpaksa, Batman di sini benar-benar meledakkan mobil musuh, menghantam keras kepala penjahat, dan meluncurkan misil ke arah musuh-musuh di darat. Kita memang tak diperlihatkan mayatnya, tapi dengan tingkat kekerasan seperti itu, peluang mereka selamat amat kecil.
Saya pribadi bisa menerima bahwa ini adalah versi alternatif Batman, yang sudah lama bertarung, sudah kehilangan banyak hal, dan menjadi semakin ekstrem. Tapi saya juga tak menyalahkan fans garis keras Batman yang marah keluar bioskop karena karakter ini terasa melanggar prinsip utamanya. Bahkan Batman di The Dark Knight milik Nolan yang jauh lebih grounded pun tetap teguh memegang kode etik “no killing.”
Dan kejanggalannya tidak berhenti di sana.
Kalau Batman dalam film ini adalah tipe yang tega membunuh kriminal, kenapa Joker versi DCEU (yang diimplikasikan sudah membunuh Robin) masih hidup?
Batman bisa saja memberi kelonggaran untuk Deadshot karena punya anak, atau Harley karena dianggap korban. Tapi Joker? Ini adalah penjahat yang sudah menyakiti Batman secara personal dan emosional, jauh lebih dari para penjahat biasa yang kita lihat ia habisi dengan brutal.
Apakah Batman memang membiarkan Joker hidup karena alasan tertentu? Atau ini hanya inkonsistensi penulisan? Hingga kini pertanyaan itu belum benar-benar terjawab.
Kesimpulannya, meski ada beberapa penampilan akting yang kuat, karakterisasi dalam film ini terasa inkonsisten dan kadang berlawanan dengan esensi dari karakter yang sudah puluhan tahun dikenal penggemar.