Maraknya gempuran tren konten digital di masa kini mungkin membuat kita bertanya-tanya, apakah produk fisik kini telah menemui ujung eranya? Benarkah produk fisik kini telah kehilangan peminatnya? Simak ulasannya yuk!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Maraknya gempuran tren konten digital di masa kini mungkin membuat kita bertanya-tanya, apakah produk fisik kini telah menemui ujung eranya? Benarkah produk fisik kini telah kehilangan peminatnya? Simak ulasannya yuk!
Di era internet ini--era di mana paket data seolah telah menjadi kebutuhan primer--kekuatan media dan konten digital memang tak dapat diremehkan. Hadirnya sejumlah
online platform seperti webtoon tak pelak mengubah iklim distribusi produk kreatif. Orang kini bisa menikmati karya berkualitas tinggi hanya dengan sesimpel sentuhan jari Tren ini lantas dipopulerkan oleh sejumlah
platform lain seperti Wattpad dan Webcomics untuk novel, Spotify dan JOOX untuk musik, serta YouTube dan Netflix untuk layanan
video streaming. [duniaku_baca_juga] Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya tentang kelanjutan hidup produk kreatif yang masih menggunakan format fisik, katakanlah seperti buku dan CD. Bagaimana dengan penjualan novel dan komik fisik di toko buku? Bagaimana nasib toko musik yang menjual musik dalam bentuk CD? Kami mengerti bahwa kekhawatiran seperti ini akan terus muncul selama tidak ada orang yang bisa memastikan kelanjutan hidup barang fisik. Akan tetapi, kami bisa memastikan bahwa peminat produk fisik takkan pernah hilang. Ingin tahu kenapa? Simak penjelasan kami! [page_break no="1" title="Tren Konten
Online Bukan Berarti Mematikan Konten Fisik"]
Sumber: Webtoon[/caption] Fenomena konten digital tentu menyenangkan banyak pihak. Karena, selain mudah diakses, orang-orang juga dapat menikmatinya dengan biaya yang murah meriah.
Or even better, for free alias gratis
. Lantas, dengan semakin maraknya konten digital, akankah hal tersebut mengancam eksistensi produk fisik? Jawabannya tentu saja tidak. Meski terus-menerus digempur oleh maraknya konten digital, produk fisik tetap akan menjadi primadona bagi para penikmatnya. Marketnya akan tetap ada dan eksistensinya tidak akan lenyap begitu saja. Sebab, bagi sebagian orang, produk fisik punya sensasi tertentu yang tak bisa didapatkan dari barang digital. [read_more id="355811"] Sebuah artikel di Mashable menjelaskan sebabnya; kasusnya adalah buku cetak vs buku digital (e-book). Penggemar buku kebanyakan menyukai aroma buku cetak yang menguap begitu buku dibuka dari segelnya. Alasan lainnya, produk fisik tentu terlihat lebih
collectible daripada produk digital. Contoh lainnya, kita bisa berkaca pada fenomena pembelian CD di Jepang. Di saat masyarakat dunia berbondong-bondong menggunakan Spotify untuk membeli dan mendengarkan musik, penjualan CD di Jepang justru masih merajai pasar. Hanya sekian persen saja yang sudah beralih ke servis
online seperti Spotify dan LINE Music.
Di Jepang, Orang Masih Membeli CD untuk Mendengarkan Musik. Sumber: AFP[/caption] Benar bahwa contoh di atas tidak mewakili seluruh jenis produk, tetapi intinya jelas: meskipun penggunaan produk fisik menurun, selalu ada orang yang lebih memilih untuk menggunakan barang fisik ketimbang digital. Jadi, kesimpulannya adalah invasi konten digital saat ini takkan mematikan eksistensi produk fisik di kalangan peminat setianya.
Eits, belum selesai, gan. Makin menarik nih bahasannya!
[page_break no="2" title="Bukan Barangnya yang Berubah, Tetapi Metodenya"]
Sumber: Always Open Commerce[/caption] Sebagaimana yang kami katakan sebelumnya, membludaknya konten digital ini tidak bisa dijadikan ukuran bahwa konten fisik akan "punah". Sejumlah perusahaan, menariknya, justru memandang tren
online sebagai tempat "pamer" yang potensial bagi produk yang mereka tawarkan. Misalnya, lihatlah
webseries berjudul
SORE yang hanya dirilis di YouTube. Serial pendek yang diperankan oleh Dion Wiyoko dan Tika Bravani ini sebenarnya dibuat untuk mempromosikan produk gula Tropicana Slim secara tersirat. Dan tampaknya agak mustahil kalau kamu tidak tahu apa itu Tropicana Slim. Kita semua sudah tahu bahwa Tropicana Slim adalah produk fisik, bukan digital.
Sumber: Tropicana Slim[/caption] Intinya, yang berubah bukan barangnya, tetapi metode penyebarannya (promosinya). Dalam perspektif industri kreatif pun sama. Novel atau komik, misalnya. Maraknya platform
online justru membuat komik dan novel cetak punya tempat yang lebih luas untuk memperkenalkan diri. Jika dulu hanya bisa didapatkan di Gramedia, sekarang bisa didapatkan di Tokopedia. Lebih mudah, lebih pesat dan luas penyebarannya. Masih kurang yakin? Ayo kita ngomongin contoh aja, deh. Lihat komik JITU besutan re:ON yang dijual melalui Tokopedia. Walaupun dijual terbatas dan mengambil genre yang tidak umum, faktanya komik ini bisa laku keras. Berkat toko
online dan media promosi
online, komik
edgy (tidak umum)
pun bisa mendapatkan panggung. Atau, lihatlah sistem promosi di Jepang yang memanfaatkan YouTube dan media
online lainnya untuk mempromosikan
sample lagu kepada audiens
. Hal ini akan membuat audiens jauh lebih mudah mengetahui kualitas CD yang akan mereka beli. Penelitian juga menunjukkan bahwa 38.4% orang Jepang masih membeli musik lewat CD.
Komik JITU yang Fenomenal. Sumber: Tokopedia[/caption] Bahkan, kalau kita mau membandingkan dengan zaman dulu, saat ini kita dapat lebih mudah membeli karya impor di toko-toko
online terpercaya.
That's why, sebenarnya media
online tidak mematikan bisnis produk fisik, hanya mengubah metode penyebarannya saja. [page_break no="3" title="
Beware, Strategi Tetap Diperlukan"]
Sumber: Glomacs[/caption] Kita udah membaca kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dari internet, lantas pertanyaan berikutnya adalah apakah berjualan barang fisik lewat internet pasti akan laku? Kalau bicaranya sudah sampai ke arah sini, maka bahasannya akan sama seperti saat kita berjualan tanpa internet:
strategi itu penting. Tanpa strategi, jangankan di internet, di pasar yang kelewatan banyak orang juga belum tentu laku. Ingat
handphone Nokia, kan? Merk ponsel legendaris yang dulu sempat merajai pasar ponsel pun "ambruk" akibat kurang peka dalam mengatur strategi. [duniaku_baca_juga] "
Tetapi itu ponsel, barang tersier. Kalau barang primer atau sekunder, bagaimana?" Baiklah, kita ambil contoh makanan atau camilan saja. Produk semacam ini merupakan produk yang sangat dibutuhkan oleh kita, kan? Faktanya, di Indonesia sendiri sudah ada banyak merk maupun produk konsumsi yang "hilang" akibat kurangnya pemasukan bagi para produsennya masing-masing. Dalam kata lain, kurang/tidak laku.
Ngaku Aja, Generasi Milenial Pasti Pernah Tahu Kue "Zaman Old" yang Satu Ini. Sumber: Mercado Live[/caption] Kenapa bisa kurang pemasukan? Tentu karena salah langkah atau kurang gesit dalam mengatur strategi. Misalnya, bisa saja perusahaan terkait gagal menentukan siapa market yang akan mereka tuju. Atau, bisa saja perusahaan kurang cepat memanfaatkan tren menjadi sumber pemasukan. Maka dari itu, kalau bahasannya "jualan", maka hal pertama yang perlu kita lihat adalah audiensnya. Beberapa pertanyaan berikut mungkin bisa membantu kamu memahami maksud kami:
- Siapa sasaran audiens yang mau kita tuju? Karyawan? Bos? Pelajar?
- Berapa penghasilan audiens yang kita incar?
- Berapa umur audiens yang kita sasar?
- Apa device audiens yang menjadi sasaranmu? Android? Desktop?
- Silakan tambahkan sendiri ...
[duniaku_adsense] Pertanyaan-pertanyaan yang kami paparkan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk "meluruskan" tujuan kita sebelum berjualan. Tentu, itu juga akan memudahkan kita dalam membuat suatu produk. Ada semacam pemandu yang akan mengarahkan kita untuk tetap di jalur yang benar. Kesimpulannya, kalau sudah masuk ranah teknis "jualan", harus diukur dulu strateginya. Jangan sampai kita merugi waktu, uang, dan tenaga di kemudian hari. [read_more id="352645"] Pada akhirnya, media
online hanya berperan sebagai perantara promosi yang murah dan lebih cepat. Strategi pemasaran yang apik dan menarik akan tetap diperlukan agar produk fisik bisa sampai di tangan audiens dengan efektif. Karena itu, jangan salah kaprah.
Diedit oleh Fachrul Razi