Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
RedSonja_1Sheet-Final-Print.jpg
(Dok. Millenium Films/Red Sonja)

Intinya sih...

  • Sinopsis Red Sonja (2025): Red Sonja membentuk aliansi dengan prajurit untuk melawan Dragan the Magnificent dan Dark Annisia.

  • Kelemahan Red Sonja (2025): Kurang budget, plot generik, CGI rendah, aksi kurang nendang, dan karakter yang kurang menarik.

  • Masalah dari penyajian kisah gaya "origin": Film ini mengambil pendekatan origin yang membuat karakter terasa tidak seperti versi komiknya.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

GENRE: Fantasy

ACTORS: Matilda Anna Ingrid Lutz, Martyn Ford, Robert Sheehan

DIRECTOR: M.J. Bassett

RATING: 2/5

Karakter Red Sonja versi komik mungkin salah satu alasan saya menyukai konsep absurd: perempuan tangguh dengan armor minim yang bertualang di dunia fantasi.

Versi film 1985 dulu? Sekadar “lumayan untuk ditonton di TV.” Cheesy, penuh kelemahan, tapi ada Arnold sebagai Lord Kalidor, Brigitte Nielsen yang benar-benar bisa tampil tangguh, dan kontennya tetap menghibur, meski saya mungkin tidak akan membayar tiket bioskop untuk menontonnya.

Lalu, bagaimana dengan versi 2025?

Mari kita bahas!

1. Sinopsis Red Sonja (2025)

(Dok. Millenium Films/Red Sonja)

Setelah diperbudak oleh seorang tiran kejam yang ingin menindas rakyatnya, Red Sonja harus membentuk aliansi dengan sekelompok prajurit pemberani untuk menghadapi Dragan the Magnificent dan ajudannya yang mematikan, Dark Annisia.


2. Apakah ada yang saya sukai?

(Dok. Millenium Films/Red Sonja)

Red Sonja (2025) terasa cukup kurang budget.

Saya belum menemukan angka pastinya, tapi kamu akan langsung merasakannya saat menonton. Deretan aktor dan aktrisnya tidak ada nama besar, jadi tidak ada yang setara dengan Arnold di versi 1985. Set, armor, dan kostum di banyak bagian lebih mirip serial TV seperti Hercules atau Xena: The Warrior Princess daripada fantasi layar lebar seperti Lord of the Rings. Beberapa efek CGI bahkan terasa seperti kualitas game PS4 budget menengah, or lebih rendah.

Lebih parah, film ini mengusung plot yang sangat generik untuk genre fantasi.

Lalu, apakah ada yang saya sukai?

Yah, sejak awal film dengan premis “perempuan bertempur dengan armor minim di dunia fantasi” memang jarang setara dengan Lord of the Rings. Jadi saya sudah siap dengan kualitas yang “segini saja.”

Bahkan meski generik, penyajian kisah Sonja terasa lumayan. Matilda Lutz mungkin bisa terasa terlalu ramping dibanding versi komiknya, dan ini sangat terasa di momen dimana dia sempat mengenakan "armor" yang akurat dengan komiknya, tapi seiring berjalannya film saya rasa dia sudah melakukan yang terbaik untuk menyajikan kisah Sonja versi ini.

Masalahnya, Sonja hampir satu-satunya karakter yang menarik. Sisanya, termasuk antagonisnya, terasa seperti kumpulan musuh standar yang hadir untuk dikalahkan dalam arc yang mudah dilupakan.

Aksi di film ini lumayan di beberapa adegan. Bahkan build-up mencapai final battle itu asyik, seru, membuat saya sempat berharap bahwa setidaknya film ini akan punya pertempuran puncak yang memikat.

Tapi entah kenapa, klimaks pertempurannya terasa kurang nendang.

Saat Sonja mencapai puncak kekuatannya, tantangan yang dia hadapi malah terasa minimal, sehingga momen klimaks kurang memberi dampak.

3. Masalah dari penyajian kisah gaya "origin"

(Dok. Millenium Films/Red Sonja)

Di tahun 2025 ini ada film Superman dan Fantastic Four: First Steps. Satu dari DC, satu dari Marvel. Namun keduanya mengambil pendekatan menarik: mereka bukan kisah origin. Baik Superman maupun Fantastic Four sudah lama beraksi di dunia mereka sebagai hero. Versi yang kita lihat di film ini pun langsung terasa seperti versi definitif, bukan hero yang sedang mencari jati diri.

Red Sonja (2025) menggunakan format origin. Kita melihat bagaimana Sonja berkembang dari petualang yang tertangkap menjadi sosok yang kemudian ditakuti sebagai "Red Devil" dengan armor perak dan rambut merahnya.

Yang jadi masalah adalah bagi saya di sebagian besar film, Sonja bukan Sonja seperti yang saya kenal di komik.

Tapi... di akhir ada satu momen dimana Sonja bersenang-senang di bar. Ini adalah momen yang bagi saya sangat Sonja. Ini momen yang bisa dibayangkan tersaji di awal sebuah arc komik sebelum Sonja berurusan dengan masalah baru.

Dan bagi saya inilah masalah penyajian kisah origin.

Di mayoritas film, Sonja yang saya saksikan bukan Sonja yang saya harapkan. Dan ketika Sonja yang lebih definitif ini muncul, entah apa Mathilda Lutz akan dapat kesempatan menyajikannya. Di Amerika Serikat film ini hanya tayang sehari sebelum kemudian disajikan sebagai video-on-demand, menunjukkan betapa distributor sana tidak percaya diri dengan filmnya.

Saya berpikir: jika sutradara bisa merasakan filmnya mungkin tidak mendapat kesempatan membuat sekuel, kenapa tidak langsung menyajikan versi karakter yang definitif sejak awal? Setidaknya, penonton akan lebih terkesan, meski film lanjutan mungkin tetap tidak akan datang.

4. Kesimpulan?

(Dok. Millenium Films/Red Sonja)

Dengan semua kelemahannya, saya memberi Red Sonja 2 dari 5 bintang.

Sebenarnya, hati kecil saya ingin memberi 2,5 bintang. Matilda Lutz berhasil menyajikan Sonja dengan cukup menarik, dan filmnya sendiri masih terasa lumayan sebagai hiburan jika kamu bisa mengesampingkan berbagai kelemahan yang jelas terlihat.

Tapi, ini bukan film yang layak ditonton di bioskop dengan membayar tiket. Kelemahannya terasa terlalu jelas.

Red Sonja (2025) lebih cocok sebagai pengisi waktu bagi penggemar fantasi, baik lewat siaran TV maupun layanan streaming. Seperti halnya versi 1985 yang terasa sebagai tontonan oke saat ditayangkan di Layar Emas RCTI pada era 90-an.

Kalau menurutmu, bagaimana?

Tulis pendapatmu di kolom komentar!

Editorial Team