Screenshot My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)
Pertama-tama, saya belum pernah membaca My Daughter is a Zombie versi webtoon. Biasanya saya akan membandingkan adaptasi film dengan materi aslinya, tapi kali ini saya menonton tanpa referensi, jadi saya akan menilai film ini sebagai karya yang berdiri sendiri.
Dan jujur, ini adalah pengalaman menonton yang... unik.
Film ini dibuka dengan nada komedi keluarga yang ringan, nyaris slapstick. Padahal premisnya sendiri cukup kelam: “Anak saya berubah menjadi zombie, dan saya berusaha merawatnya meski itu membuat saya jadi kriminal.” Kalau dibawa serius, ini bisa jadi drama dystopia sekelas Children of Men.
Bahkan saat momen penting seperti Soo-A tergigit zombie, film tetap memilih pendekatan komedi kelam, bukan tragedi yang menghantam emosi.
Sepanjang dua pertiga awal film, saya sempat gemas. Banyak konflik muncul dari kekonyolan khas komedi, bukan dari tekanan emosional atau dilema moral yang kuat. Beberapa adegan yang menurut saya pantas disajikan dengan gravitas malah diselingi dialog konyol atau humor bergaya kartun. Saya sempat berpikir, “Sayang, potensi ceritanya jadi kurang terasa.”
Namun semua berubah di sepertiga akhir film.
Tiba-tiba film ini menyajikan konsekuensi yang realistis dan emosional tentang apa jadinya jika seseorang menyembunyikan zombie di tengah masyarakat. Konfliknya membumi, logis, dan akhirnya menyentuh inti tragedi dari premisnya. Saya sangat menikmati bagian ini.
Setelah mencerna keseluruhan film, saya mulai bisa menghargai pendekatan ringan di awal. Komedi dan momen-momen hangat itu membuat saya peduli pada karakternya, dan karena itulah ketika bagian serius datang, dampaknya terasa lebih kuat.
Tapi tetap saja, saat menonton di bioskop, ketika film tiba-tiba bergeser ke nada yang jauh lebih intens dan emosional, saya sempat berpikir: "Apa ini film yang sama dengan yang saya tonton sebelumnya?"