Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
Poster My Daughter is a zombie.jpg
Screenshot My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)

Intinya sih...

  • Sinopsis filmWabah virus zombie menyebar, ayah tunggal berjuang melindungi putrinya yang terinfeksi, menghadapi konflik moral dan emosional.

  • Roller coaster emosiFilm ini menggabungkan komedi keluarga dengan tragedi zombie, awalnya ringan namun berubah menjadi intens dan menyentuh di akhir.

  • Terasa seperti ingin menyajikan terlalu banyak halFilm mencoba memuat terlalu banyak elemen dalam durasi terbatas, membuat beberapa subplot terasa kurang fokus dan resolusi yang kurang memuaskan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

GENRE: Drama komedi

ACTORS:  Cho Jung-Seok, Lee Jung-Eun, Choi Yoo-Ri

DIRECTOR: Pil Gam-Seong

RELEASE DATE: 8 Agustus 2025

RATING: 3/5

Duniaku.com mendapat kesempatan lebih awal untuk menonton My Daughter is a Zombie, film yang tengah jadi box office hit di Korea Selatan.

Di atas, saya menulis di judul review-nya: "Roller Coaster Emosi!"

Tapi... benarkah seperti itu?

Berikut ulasan lengkap saya tentang My Daughter is a Zombie, film yang mencampur tragedi, komedi, dan drama keluarga dalam satu paket yang tidak selalu mulus, tapi cukup membekas.

1. Sinopsis film

Screenshot My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)

Wabah virus zombie tiba-tiba menyebar luas, menimbulkan kepanikan di mana-mana. Lee Jeung-Hwan (Cho Jung-Seok), seorang ayah tunggal, selama ini membesarkan putrinya Lee Soo-A (Choi Yoo-Ri) sendirian. Namun musibah datang ketika Soo-A tergigit zombie dan mulai terinfeksi.

Putus asa namun masih berharap, Jeung-Hwan membawa putrinya kembali ke kampung halaman, tempat sang ibu tinggal, demi melindungi dan menyembunyikannya dari dunia luar. Di sanalah perjuangan seorang ayah untuk mempertahankan rasa kemanusiaan dan cintanya pada anaknya benar-benar diuji.

2. Roller coaster emosi

Screenshot My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)

Pertama-tama, saya belum pernah membaca My Daughter is a Zombie versi webtoon. Biasanya saya akan membandingkan adaptasi film dengan materi aslinya, tapi kali ini saya menonton tanpa referensi, jadi saya akan menilai film ini sebagai karya yang berdiri sendiri.

Dan jujur, ini adalah pengalaman menonton yang... unik.

Film ini dibuka dengan nada komedi keluarga yang ringan, nyaris slapstick. Padahal premisnya sendiri cukup kelam: “Anak saya berubah menjadi zombie, dan saya berusaha merawatnya meski itu membuat saya jadi kriminal.” Kalau dibawa serius, ini bisa jadi drama dystopia sekelas Children of Men.

Bahkan saat momen penting seperti Soo-A tergigit zombie, film tetap memilih pendekatan komedi kelam, bukan tragedi yang menghantam emosi.

Sepanjang dua pertiga awal film, saya sempat gemas. Banyak konflik muncul dari kekonyolan khas komedi, bukan dari tekanan emosional atau dilema moral yang kuat. Beberapa adegan yang menurut saya pantas disajikan dengan gravitas malah diselingi dialog konyol atau humor bergaya kartun. Saya sempat berpikir, “Sayang, potensi ceritanya jadi kurang terasa.”

Namun semua berubah di sepertiga akhir film.

Tiba-tiba film ini menyajikan konsekuensi yang realistis dan emosional tentang apa jadinya jika seseorang menyembunyikan zombie di tengah masyarakat. Konfliknya membumi, logis, dan akhirnya menyentuh inti tragedi dari premisnya. Saya sangat menikmati bagian ini.

Setelah mencerna keseluruhan film, saya mulai bisa menghargai pendekatan ringan di awal. Komedi dan momen-momen hangat itu membuat saya peduli pada karakternya, dan karena itulah ketika bagian serius datang, dampaknya terasa lebih kuat.

Tapi tetap saja, saat menonton di bioskop, ketika film tiba-tiba bergeser ke nada yang jauh lebih intens dan emosional, saya sempat berpikir: "Apa ini film yang sama dengan yang saya tonton sebelumnya?"

3. Terasa seperti ingin menyajikan terlalu banyak hal

Screenshot My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)

Sebelum kita sampai ke bagian intens di sepertiga akhir, saya sempat merasa bahwa My Daughter is a Zombie mencoba memuat terlalu banyak elemen dalam durasi yang terbatas.

Mungkin niatnya adalah menciptakan kesan bahwa waktu berjalan lama, bahwa perjuangan Jeung-Hwan merawat putrinya berlangsung berbulan-bulan, penuh lika-liku dan suka duka. Dan memang, secara naratif, itu yang ingin disampaikan.

Namun efeknya justru seperti menyaksikan terlalu banyak arc cerita yang dipadatkan dalam dua pertiga awal film, yang hanya berdurasi 114 menit. Beberapa subplot dan insiden berlalu begitu cepat, dengan resolusi yang kurang menggigit. Meski begitu, semua ini tetap berhasil membangun empati terhadap beban fisik dan emosional yang dipikul Jeung-Hwan, dan itu cukup berhasil.

Tapi hanya untuk Jeung-Hwan dan Soo-A, bukan karakter lain.

Contohnya begini: ada satu karakter yang awalnya digambarkan sebagai pemburu dan pelapor zombie. Lalu ia dihadapkan pada kemungkinan bahwa zombie bisa dipulihkan. Gejolak emosional dan dilema moral karakter ini sebetulnya cukup kuat untuk menjadi satu film tersendiri. Namun karena film ini ingin menceritakan banyak hal sekaligus, pengolahannya terasa terburu-buru dan kurang maksimal. Dan ketika arc karakternya mencapai konklusi reaksi saya, "Lah gitu doang??"

Masalah lain muncul pada sosok-sosok antagonis yang mendominasi sepertiga akhir film. Mereka adalah elemen penting yang membuat bagian akhir terasa memikat dan menegangkan. Tapi sayangnya, sebagian besar dari mereka kurang mendapat sorotan di bagian awal. Akibatnya, ketika mereka muncul sebagai ancaman besar, satu pihak terasa seperti tokoh “seujug-ujug” muncul tiba-tiba untuk mengubah nada cerita menjadi serius. Sementara pihak antagonis berbeda tersaji datar, tanpa kedalaman, meski ancaman yang mereka bawa sangat besar.

Film ini seperti ingin menyentuh banyak tema: cinta ayah-anak, kritik sosial, dilema moral, survival, bahkan potensi penyembuhan zombie. Semua menarik, tapi dalam satu wadah yang terbatas, beberapa elemen akhirnya hanya tersaji sebagai kilasan, bukan eksplorasi.

4. Kesimpulan?

Nenek dari My Daughter is a Zombie. (Dok. Next Entertainment World/My Daughter is a Zombie)

Sebenarnya, saya ingin memberikan film ini nilai 3,5 dari 5 bintang. Namun karena sistem rating di Duniaku.com hanya mengizinkan angka bulat, maka saya membulatkannya menjadi 3 dari 5 bintang.

Bahkan untuk penonton yang belum membaca versi webtoonnya, seperti saya, My Daughter is a Zombie tetap terasa memikat. Film ini menyajikan banyak momen lucu dan emosional, serta ditutup dengan akhir yang intens dan menggugah hati.

Namun, ada beberapa hal yang membuat saya menahan diri untuk memberi skor lebih tinggi: perubahan nuansa yang cukup ekstrem dari komedi ke drama serius, dua pertiga awal yang terasa padat dan kurang fokus, serta transisi menuju akhir yang begitu drastis hingga terasa seperti loncatan nada yang terlalu mendadak.

Film ini memang terasa seperti roller coaster, dan apakah kamu akan menikmati perjalanannya atau malah mabuk di tengah jalan, itu sangat bergantung pada kecocokanmu dengan gaya komedinya.

Kalau gaya humornya cocok untuk kamu, film ini bisa jadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus menyentuh. Tapi kalau kamu justru merasa bingung dengan perubahan nadanya, hal itu bisa menjadi kelemahan yang mengganggu.

Tentu saja, ini hanya pendapat saya.

Nah, itu tadi ulasan My Daughter is a Zombie versi Duniaku.com.

Menurut kamu gimana? Sampaikan pendapatmu di kolom komentar!

Editorial Team