TUTUP

Review Where the Crawdads Sing, Kisah Pembunuhan Misterius 

Kisah Kya yang menghadapi tuduhan pembunuhan di paya kosong

Where the Crawdads Sing merupakan sebuah novel populer karya Delia Owens di tahun 2018. Novel tiga babak ini mendapatkan penghargaan di New York Times, sebagai novel terlaris di tahun 2019 dan 2020 berturut-turut. Menjadikannya sebagai novel debut yang mampu bertengger selama 135 minggu di dalam daftar novel dengan penjualan terbaik selama dua tahun.

3000 Pictures, Hello Sunshine, dan Columbia Pictures memproduksi film adaptasi Where the Crawdads Sing dan merilisnya di tahun 2022, di bawah bendera Sony Pictures. Film adaptasi tersebut digawangi oleh Olivia Newman, seorang sutradara baru yang sebelumnya memulai debut layar lebarnya melalui film First Match yang ditayangkan di Netflix di tahun 2018.

1. Kya sang gadis Paya

Dok. Sony Pictures

Paya dan rawa merupakan dua hal yang berbeda, itulah yang Catherine "Kya" Clark (Daisy Edgar-Jones) selalu tekankan. “Paya adalah satuan luasan cahaya dengan rerumputan tumbuh di perairan dan air mengalir ke langit”. Sementara “rawa yang sebenarnya merayap dalam wujud tanah berlumpur yang terbaring rendah, tersembunyi dalam hutan yang lembab dan dingin."

Kya sendiri adalah gadis kecil biasa yang semula memiliki keluarganya sendiri. Gadis tersebut kehilangan orang tuanya hingga akhirnya tinggal sendirian di paya dan sebut sebagai “gadis paya” oleh penduduk kota.

Saat Kya tidak memiliki orang tua, Mabel (Michael Hyatt) dan Jumpin (Sterling Macer) selalu membantu Kya secara diam-diam. Mereka menjual barang dengan harga murah dan membeli kerang-kerangan yang dikumpulkan oleh Kya. Pada intinya, kehidupan Kya sedikit terjamin berkat bantuan tidak langsung dari Mabel dan Jumpin.

Suatu hari di masa remajanya, Kya bertemu dengan Tate (Taylor John Smith), yang memang sudah mengenal Kya dari kecil. Tate dan Kya menjalin hubungan cukup dekat hingga akhirnya Tate mendapatkan beasiswa dan pergi dari kota tempat Tate tinggal. Tate berjanji akan kembali pada 4th July untuk melihat kembang api bersama Kya. Sayang janji tersebut tidak pernah ditepati.

Dalam kehampaan dan patah hati, Chase Andrews (Harris Dickinson) mendekati Kya. Keduanya menjalin hubungan asmara meskipun cukup singkat. Hubungan tersebut terputus karena Chase ternyata sudah bertunangan dengan gadis lain dan berbohong pada Kya.

Walaupun sudah putus dengan Kya, Chase tetap memaksakan hubungan tersebut, yang berakhir dengan perkelahian. Dalam kemarahan, Kya berkata kalau Chase akan mati kalau dia berusaha mendekatinya lagi.

Baca Juga: Review The Invitation, Kisah Horor Pernikahan Keluarga Vampire

2. Adaptasi novel yang kurang senada

Dok. Sony Pictures

Where the Crawdads Sing sebenarnya diadaptasi mendekati dengan versi novelnya, sayang film ini menghadirkan banyak perbedaan nada di sana-sini yang menyebabkan beberapa kritikus film menilai kalau versi filmnya terasa lebih datar ketimbang novelnya yang digambarkan artistik dan melankolis.

Perbedaan yang menjulang seperti ini bukan hal baru. Beberapa film sebelum Where the Crawdads Sing sempat mendapatkan angka yang serupa. Para kritikus film berpendapat kalau film tersebut jelek, sementara para penonton menyukainya. Contoh yang paling baru adalah Bullet Train, di mana film tersebut kurang disukai kritikus, sementara para penonton menikmatinya sehingga masih diputar di beberapa bioskop Indonesia hingga bulan September 2022.

Pada dasarnya Where the Crawdads Sing adalah film who done it yang sangat menarik untuk ditonton. Meskipun plot twistnya sedikit lebih mudah ketebak ketimbang film who done it lainnya, seperti misalnya Knives Out, atau Murder in Orient Express yang terkenal.

Bagi kami masalah utama dari Where the Crawdads Sing malah cuman di bagian tonenya yang terasa kurang mantap dan berubah menjadi film romantis thriller biasa yang seharusnya bisa digarap lebih dalam lagi. Rasanya seperti sebuah penyederhanaan yang membuang berbagai detail indah dari sang novel, meskipun intinya tetap tersampaikan dengan baik.

3. Akting Daisy Edgar-Jones yang memesona

Dok. Sony Pictures

Dari segi akting, Daisy Edgar-Jones benar-benar memberikan penampilan maksimalnya. Bagi mereka yang sudah membaca novelnya, pembawaan Kya versi Edgar-Jones ini sangat mirip dengan buku. Seluruh gerak-gerik dan bahasa tubuhnya, dan bahkan mimik wajah Edgar-Jones terlihat sama dengan bayangan kami akan sosok Kya.

Sementara itu sosok Harris Dickinson dan Taylor John Smith yang memerankan Chase dan Tate malah terasa sangat standar dan sejajar. Saking samanya, kami hampir tidak bisa membedakan mana yang brengsek dan mana yang tidak, hingga akhirnya kami melihat senyuman mereka berdua. Untunglah Harris Dickinson mengenakan pakaian yang lebih flamboyan, yang menunjukkan kalau dia lebih brengsek dari Taylor John Smith.

Mungkin penilaian di atas muncul karena kami juga kecewa pada sosok Tate yang seharusnya digambarkan lebih cerdas dari akting Taylor John Smith. Lagi-lagi, seharusnya hal ini bisa lebih diperlihatkan ketimbang dilewati atau dihilangkan sepenuhnya.

4. Tempat para udang karang bernyanyi

Dok. Sony Pictures

Layaknya film who done it lainnya, kamu pasti akan bingung ketika menyaksikan film ini. Apalagi Where the Crawdads Sing menggunakan cara bercerita yang lambat untuk ukuran film dengan durasi dua jam saja. Hasilnya banyak yang gemas dengan jalan cerita dari Where the Crawdads Sing.

Untunglah film dengan cerita maju mundur ini menampilkan twist yang cukup menarik di akhir filmnya. Sayangnya twist tersebut cukup kentara bagi orang-orang yang terbiasa membaca berbagai petunjuk yang ditinggalkan sang sutradara. Tapi kalau kamu memang kurang ahli dengan hal-hal semacam ini, kamu pasti akan menikmati twist yang dihadirkan oleh Delia Owens di dalam kisahnya.

Where the Crawdads Sing kami ganjar dengan nilai 4 dari 5 bintang review. Sebab entah mengapa, segala kekurangan yang kami rasakan masih sangat bisa ditolerir. Apalagi kalau kamu belum pernah membaca novelnya.

Where the Crawdads Sing sudah bisa ditonton di bioskop-bioskop Indonesia pada tanggal 14 September 2022.

Baca Juga: Review Mumun, Nostalgia Sinetron Horor Indonesia