Lupa Daratan (dok. Netflix)
Hal yang menurut saya paling khas dari Lupa Daratan adalah bagaimana film ini jelas punya dua wajah yang saling bertolak belakang, dan justru itu yang membuatnya menarik.
Wajah pertama adalah komedi. Banyak adegan yang bersumber dari absurditas situasi Vino, slapstick ringan, reaksi berlebihan, sampai karakter-karakter eksentrik yang rasanya memang diciptakan untuk memancing tawa. Dunia Lupa Daratan penuh orang aneh yang membuat film ini tidak pernah tenggelam dalam keseriusan berlebihan.
Tapi di balik itu, film ini juga punya wajah kedua: drama, yang terutama muncul lewat dua karakter penting.
Yang pertama adalah Iksan, kakak Vino. Hidupnya serba sulit setelah berpisah dari sang adik, dan meski tetap diselipi humor, kisah Iksan pada dasarnya adalah drama realistis tentang seseorang yang “terlalu jujur untuk Jakarta.” Agus Kuncoro memerankannya dengan gaya yang membumi, nyaris seperti karakter utama dalam drama keluarga, lengkap dengan beberapa momen emosional.
Lalu ada Hasto, manajer Vino yang diperankan Emil Kusumo. Sebagai “villain,” Hasto menarik karena dia bukan antagonis kartun: tindakannya terasa sangat nyata. Mulai dari meremehkan isu pelecehan yang dialami aktris, sampai mengiming-imingi aktor muda dengan bayaran besar untuk merekrutnya dan siap membuangnya ketika situasi tak lagi menguntungkan terdengar seperti sesuatu yang memang mungkin terjadi di industri hiburan.
Bahkan Jakarta dalam film ini punya dua wajah:
– Jakarta elit, dengan rumah mewah dan ekosistem profesional hiburan;
– dan Jakarta gang sempit, penuh rumah seadanya, jalanan becek, dan kehidupan yang jauh dari glamor.
Ini satu keunikan Jakarta yang saya rasa sudah jadi ciri khas yang dikenal para penduduknya, dan saya selalu senang ketika ada film lokal yang sukses menyajikan dualitas ini.