Salah satu alasan Hasto tidak pernah jatuh menjadi “antagonis kartun” adalah karena ia hampir selalu ditampilkan sebagai sosok yang profesional. Atau setidaknya, versi profesional menurut standar industri yang keras.
Bahkan dalam adegan ketika Vino akhirnya sadar bahwa Hasto bisa dengan mudah membuangnya, respons Hasto bukan ledakan villain yang dramatis. Ia tidak memanggil security untuk menyeret Vino keluar studio, tidak menggunakan ancaman, tidak melakukan intimidasi fisik. Yang ia lakukan hanyalah menghina Iksan dan menegur Vino seperti seorang manajer yang kecewa dan memutus kerja sama dengan talenta yang dianggap sudah tidak bisa diandalkan.
Begitu pula ketika seorang aktris melapor mengalami pelecehan dari sutradara. Hasto memilih meminimalkan masalah, meminta sang artis untuk “membiarkan saja” demi menjaga karier, tanpa ancaman eksplisit, tanpa kekerasan verbal. Ketika aktris itu akhirnya membawa kasus tersebut ke ranah hukum, reaksinya bahkan lebih condong ke keterkejutan daripada kemarahan, seperti seseorang yang tidak mengantisipasi konsekuensi moral dari nasihat pragmatisnya.
Dan ketika Vino akhirnya bangkit kembali melalui film indie, Hasto tidak muncul untuk mengejek, meremehkan, atau mencoba menjatuhkannya. Ada kesan kalau dalam sudut pandangnya, bisnis mereka sudah selesai. Ia sudah menemukan talenta baru yang lebih “stabil,” dan tidak ada alasan baginya untuk menoleh lagi.
Sikap seperti ini, dingin, efisien, tapi tidak melodramatis, justru membuat karakter Hasto terasa lebih nyata. Ia bertindak sesuai kepentingan profesional, tidak pernah melampaui batas menjadi penjahat flamboyan. Sikap yang sangat... masuk akal bagi seseorang yang hidup di industri hiburan yang kompetitif dan penuh kompromi moral.
Nah itu hasil bedahan saya soal karakter Hasto dari Lupa Daratan. Salah satu sosok antagonis yang tergolong unik karena betapa realistisnya ia disajikan.
Kalau menurutmu gimana?
Sampaikan di kolom komentar!