TUTUP

Film Aksi Paling Sadis Tahun Ini! Review The Night Comes for Us!

Seperti The Raid, tapi satu orang darahnya bergalon-galon!

Tayang khusus di Netflix, The Night Comes for Us seolah tidak ditargetkan sama sekali untuk penonton Indonesia. Sebagai kolaborator Gareth Evans dan sineas darah di balik Headshot yang melempem, Timo Tjahjanto kembali mengguncang Fantastic Fest 2018 di Texas dengan film ini! Tidak tanggung-tanggung, film ini menuai banyak pujian dari berbagai kritikus yang menyaksikan film ini lebih dahulu di dalam festival film tersebut! Dan tentunya, kita harus membuktikan klaim ini dengan menonton sendiri film ini di hari rilis! Nah, kalau begitu bagaimana impresi terhadap film aksi yang berdurasi selama 121 menit ini? Apa yang bisa kita petik dari sebuah film yang diklaim sebagai penerus spiritual The Raid 2 ini? Simak resensinya yang kita uraikan poin per poin di bawah ini! Sumber: kapanlagi.com[/caption] Cerita tentang seorang anggota geng yang mencoba untuk bertobat lewat satu dan dua hal, apalagi dengan menyelamatkan seseorang tentu saja bukan hal baru di dalam dunia film gangster. Namun, justru dengan mengaplikasikan cerita ini ke dalam setting Indonesia setidaknya memberikan satu hal yang layak di berikan sorotan. Apakah masyarakat Indonesia memang sesadis itu? Bisa jadi. Ataukah justru Timo hanya ingin mencari-cari plot yang cocok untuk memasukkan pertumpahan darah sebanyak mungkin? Bisa jadi juga. Dengan membingkai kisah ini tanpa memiliki pesan moral yang nihilis di belakangnya, jelas Timo jauh lebih mengandalkan kekuatan kharisma aktor-aktornya ketimbang muatan skrip yang kuat! Sumber: Dokumentasi duniaku.net[/caption] Seperti yang sudah dijelaskan di atas, plot maupun subplot yang disuguhkan di dalam film The Night Comes for Us hanya berfungsi sebagai landasan untuk aksi A berpindah pada aksi B. Hasilnya? Kisah sederhana yang tentunya tidak perlu kamu perhatikan dalam-dalam, karena fokus sebenarnya hanya terletak pada membangun nuansa mencekam dan melegakan hati sebelum dihajar lagi. Setiap orang-orang yang terlibat di dalam amukan Ito terlalu cepat untuk diyakinkan. Meskipun ia mencoba untuk memperluas lingkup cerita tersebut lewat kegundahan Arian dan pecahnya geng Ito sebelum film dimulai, fokus ceritanya yang ngotot ingin berantem membuat potensi-potensi ini terbuang, sayangnya. Kenapa? Mereka bukanlah film yang ekonomis seperti The Raid pertama! Sumber: Dokumentasi duniaku.net[/caption] Nah, tentunya daging utama dari film The Night Comes for Us adalah adegan aksinya, dan seperti klaim terhadap film ini, Timo Tjahjanto adalah sutradara yang lebih sadis dari Gareth Evans. Sinematografi dari Gunnar Nimpuno hanya berfungsi membangun mood semata daripada memberikan pesan berarti di dalamnya. Tidak jarang, fokus kameranya yang lebih tertarik mempertontonkan hasil muncratan darah dari sebuah shotgun sampai ke bola bilyar membuat film ini sangat tidak cocok bagi yang gampang mual! Bintang utama di dalam film ini adalah tentu saja, koordinasi adegan bertarung yang mengagumkan dari Iko Uwais dan Joe Taslim adalah nyawa yang mengisi keringnya cerita film ini dengan pukulan demi pukulan seru dan kreatif dalam memanfaatkan set dan galon darah dengan semaksimal mungkin! Sebagai contekan, salah satu adegan di toko daging melibatkan berbagai benda di sekitarnya dengan amat baik oleh sang Ito. Dari kait daging sampai kaki sapi juga berpotensi mematikan dalam urusan mencabut nyawa semua orang yang berani menghadapi Ito! Dan ini belum juga sampai ke adegan pertarungan tiga arah Julie Estelle yang sadis, namun juga tidak kalah menariknya. Dengan belati dan benang kawat, pertumpahan darah di dalamnya jelas tertangkap dengan amat sangat jelas di dalam kamera berikut dengan koreografinya yang mengesankan, di mana hal ini jelas bisa membuat sebuah film Indonesia otomatis dicekal karena terlalu alergi dengan adegan berantem! Sumber: Dokumentasi duniaku.net[/caption] Tampaknya penyakit rawan film aksi yang maksimal seperti ini tentunya adalah dialog-dialog yang hanya ada untuk dilontar ke kanan dan ke kiri semata. Belum lagi akting Iko yang bisa mengundang cekikikan seketika ia mencoba untuk berbicara dalam  bahasa Inggris dan Mandarin. Tapi, ironisnya lontaran kata kasar ke sana ke mari malah membuat interaksi film ini menjadi lebih alami ketimbang saat Joe Taslim ditinggalkan bersama Asha menciptakan dinamika paling bikin meringis di dalam film yang memacu adrenalin ini. Sumber: Dokumentasi duniaku.net[/caption] Seperti yang dijanjikan, pujian-pujian tersebut layak disematkan ke dalam The Night Comes for Us, meskipun filmnya terlihat terlalu bernafsu untuk memuncratkan darah bersama pukulan-pukulan kerasnya ketimbang bercerita dengan efektif. Dengan nilai 8.5/10, jelas The Night Comes for Us adalah salah satu film aksi terbaik tahun ini! Bagaimana dengan pendapatmu setelah menonton film ini? Bagikan di kolom komentar!