Kultur Doujinshi: Mengenal Budaya Pekarya Independen
Apa itu Doujinshi? Apa hanya sebatas komik nakal atau fanfic saja? Apakah ada hubungannya dengan skena indie? Jangan salah kaprah mengenai Doujinshi! Mari kita kenali budaya berkarya independen lewat pembahasan di artikel ini!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Self-published books. Sumber: The Kokopalm Family Facebook Page[/caption]
"Gambar, gambar sendiri~ Cetak, cetak sendiri~ Jual, jual sendiri~ Semuanya sendiri~"
Meski terdengar miris, plesetan lirik lagu di atas menggambarkan bagaimana penggiat Doujinshi berkarya. Kali ini penulis akan membahas tentang pergerakan ide yang saat ini bergolak di Indonesia.
Doujinshi dan Independensi
Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata Doujinshi? Apakah komik Jepang yang menjurus ke *ehem* hal-hal nakal? Karya yang dibuat dari fans, oleh fans, dan untuk fans? Apa musik yang dibawakan nama-nama asing di telinga anda?
[duniaku_baca_juga]
[duniaku_adsense]
Charms, doujinshi Touhou buatan Ookawa Bukubu/bkub. Sumber: Dokumen Pribadi[/caption]
Tiga hal tersebut mengacu pada hal yang sama, tak ada yang salah. Namun mendefinisikan Doujinshi sebagai karya mesum atau karya turunan buatan fans saja bukan hal yang tepat. Sebelum mendalami esensi dan nilai-nilai dalam kultur Doujinshi, ada baiknya kita mengenal dan memahami arti kata Doujinshi itu sendiri.
Secara harfiah, Doujinshi berasal dari bahasa Jepang, yaitu Doujin (同人, orang yang sama, merujuk pada orang yang punya minat/tujuan yang sama) dan Shi (誌, imbuhan yang bisa diartikan sebagai penerbitan berkala/teratur.) Saat dua kata tersebut disatukan, maka kita mendapat definisi:
“Karya yang dibuat dan diterbitkan oleh orang-orang yang berminat sama.”
Bila dicermati, makna Doujinshi bisa diartikan sebagai karya yang diproduksi oleh satu atau sekelompok orang dengan minat dan tujuan sama, lalu diterbitkan atau dipublikasikan secara pribadi. Dari sini, lahir istilah Doujin Circle atau lingkarkarya, merujuk pada sebuah lingkar pekarya independen yang saling bahu-membahu dan berkarya bersama-sama.
Salah satu Doujin Circle lokal berjualan di acara pasar komik. Sumber: The Kokopalm Family Facebook Page[/caption]
Sehingga, bagi kalian yang masih menganggap Doujin dan Indie adalah dua istilah yang berbeda, segera hapus anggapan itu. Mari luruskan definisi kita bahwa Doujin works dan Indie works adalah hal yang sama. Bedanya, Indie works adalah istilah barat, sementara Doujin works adalah istilah Jepang.
Intinya adalah: Karya Doujinshi dan karya Indie sama-sama karya yang self-published alias dibuat dan dicetak sendiri. Sehingga karya-karya ini independen dan rata-rata bersifat personal. Jangan salah, para pekarya profesional memulai langkah mereka dari membuat karya secara independen.
Ada banyak contoh yang bisa dibahas soal pekarya independen di Indonesia, tapi klik dulu halaman selanjutnya ya!
Evolusi Budaya Doujinshi
Setelah kita memahami istilahnya, mari mengenal sejarah Doujinshi itu sendiri. Tentunya secara ringkas. Pasalnya, perjalanan dunia self-publishing amat panjang dan luas bila dijabarkan. Mungkin jadi satu buku sendiri bila dirinci. Jadi, penulis bahas gambaran besarnya saja.
Prakata jurnal Meiroku Zasshi. Sumber: Wikipedia[/caption]
Budaya Doujinshi Jepang diawali konsep penerbitan Meiroku Zasshi, jurnal kritik sosial yang populer pada tahun 1875 buatan Meirokusha, gerakan masyarakat yang dipelopori Mori Arinori. Konsep penyebaran ide peradaban sosial secara independen punya Meirokusha adalah permulaan gerakan doujinshi itu sendiri, meski bukan bergerak di bidang literasi.
[duniaku_baca_juga]
[duniaku_adsense]
Gerakan Doujinshi pertama secara de facto muncul dari majalah literasi Garakuta Bunko (1885) oleh penulis Ozaki Koyo dan Yamada Bimyo. Pada masa itu, Doujinshi dijunjung tinggi sebagai wadah orang-orang kreatif untuk mulai berkarya sebelum masuk ranah profesional. Namun, ketika puncak Perang Dunia II, dunia Doujinshi mulai redup karena jurnal literasi yang resmi lebih diutamakan sebagai kanal untuk menyalurkan tulisan.
Pergerakan Doujinshi berbentuk cergam di Jepang sendiri mulai setelah Perang Dunia II berakhir. Beberapa komikus seperti Fujiko F. Fujio dan Shotaro Ishinomori membentuk New Manga Party (新漫画党 Shin Manga-to) yang merupakan lingkarkarya untuk komikus yang ingin berkecimpung di dunia Profesional.
Comic Market 91 di Jepang. Sumber: Mainichi (mantan-web.jp)[/caption]
Ditambah dengan adanya acara yang mendukung kegiatan Doujinshi seperti Comiket/Comic Market yang dimulai dari tahun 1975, lahan bagi orang-orang kreatif untuk berkarya sebelum mengejar lingkup yang lebih profesional kembali terbuka lebar.
Dan lagi, doujinshi/self-publishing bukan hanya milik Jepang saja. Fenomena karya independen di barat dimulai dari majalah berisi cerita-cerita yang dicetak murah atau lebih dikenal sebagai Pulp Fiction (Bukan judul film, ya) alias Pulp Magazine yang populer sekitar tahun 1890-an sampai 1900-an.
Black Mask. Sumber: pulpcovers.com[/caption]
Buku-buku ini dicetak di kertas murahan kasar atau sering disebut Pulp. Harganya kala itu juga cuma beberapa sen saja. Banyak sekali cerita self-published yang bersliweran dan menorehkan kesan di kalangan sastrawan serta cendekia literasi dunia barat. Black Mask dan Doc Savage adalah segelintir dari judul-judul Pulp Magazine yang terkenal saat itu. Kalau kita telusuri lagi, bahkan cerita seperti Conan the Barbarian berasal dari buku murahan tersebut.
Salah satu dari sekian Pulp Magazines yang ada di barat. Sumber: Dokumen Pribadi[/caption]
Karena beda dimensi sosiokultur, cerita-cerita doujinshi di Barat jelas berbeda bila dibandingkan dengan Jepang. Tema kriminal yang keras, ironis, komikal, dan sinis begitu kentara, terutama bila menyangkut cerita misteri dan thriller detektif yang populer pada waktu itu.
Tak lupa, komik superhero sedikit banyak dimulai dari fenomena Pulp Magazine, namun bila dijelaskan, akan jadi satu buku sendiri juga, hehehe.
Lalu, apa Indonesia punya budaya self-publishing? Cek halaman selanjutnya!
Kultur Doujinshi di Indonesia - Pembuka
Kitab Negarakertagama yang ditulis didaun lontar. Sumber: Duncan Graham[/caption]
Indonesia punya budaya penerbitan independen? Oh, jangan salah, Indonesia sudah mempopulerkannya jauh pada masa-masa kerajaan Hindu! Sama seperti peradaban Mesir, Tiongkok, dan Yunani yang punya banyak kitab self-published. Kitab Negarakertagama punya Mpu Prapanca dan Sutasoma buatan Mpu Tantular adalah contoh self-publishing zaman kuno.
[duniaku_baca_juga]
[duniaku_adsense]
Sebelum Indonesia merdeka pun, pergerakan self-publishing baik di bidang literasi maupun di bidang media adalah motor pergerakan ide di tanah air. Max Havelaar buatan Edward Douwes Dekker alias Multatuli adalah contoh self-publishing yang sangat ikonik.
Max Havelaar cetakan 1876. Sumber: Wikipedia[/caption]
Bagi kalian yang berkecimpung di dunia sastra, pasti mengenal karya sastra yang dimulai dari zaman Pujangga Lama sebelum abad ke-20, dengan dominasi hikayat-hikayat berbahasa Melayu.
Setelah itu kita mengenal zaman penerbit Balai Pustaka dengan novel Salah Asuhan dan Siti Nurbaya. Dan kemudian banyak karya self-published bermunculan pada zaman Pujangga Baru, angkatan ‘45, dan ‘60-an. Saking banyaknya sulit bila dirinci satu persatu.
Salah satu karya Tatang dengan karakter Petruk. Sumber: Doris Hoff-Jedamski[/caption]
Setelah Indonesia memasuki zaman Orde Baru, sensor informasi dalam konten media tertulis maupun audiovisual pun jadi marak, karena dibayang-bayangi bekas insiden G30S-PKI. Namun itu tidak membuat dunia self-publishing di Indonesia surut. Apalagi, pada tahun 1990-an.
Ya! Bagi anda-anda yang begitu membanggakan masa kecil anda karena sering membaca cerita silat buatan Kho Ping Ho, berbagai macam cerita Petruk dari Tatang.S, cerita *ehem* panas punya Enny Arrow, atau cerita-cerita silat stensilan seperti Wiro Sableng dan Si Buta dari Goa Hantu, maka selamat! Anda sempat menjadi penikmat karya-karya Doujinshi Indonesia di zaman tersebut.
Dalam konteks yang sama, bila anda pernah menemukan buku cerita Azab Neraka atau cerita-cerita religius seharga dua ribuan rupiah dari tukang jual mainan di SD anda bersekolah dulu, itu juga masuk dalam ranah self-publishing.
Keragaman budaya lokal dan perpaduan dengan budaya pendatang membuat apa yang disajikan karya-karya Indonesia berbeda dengan apa yang ditawarkan doujinshi Jepang dan Barat. Dimensi sosiokultural Indonesia sendiri sudah sangat berbeda dibandingkan budaya Barat maupun Jepang.
Bagian terakhir akan membahas budaya Doujinshi modern di Indonesia! Jadi, jangan pergi dulu dan klik halaman berikutnya!
Kultur Doujinshi di Indonesia - Penutup
[duniaku_baca_juga]
Salah satu contoh Doujinshi lokal. Sumber: HSKH - Hisuikouha[/caption]
Berbicara soal nilai budaya dalam karya kreatif, sampai sekarang pun, sedikit banyak media kreatif di Indonesia yang mendapat pengaruh budaya Jepang maupun Barat, namun nilai-nilai budaya dan kearifan lokal tetap dipertahankan. Baik itu di media kreatif arus utama maupun yang independen.
[duniaku_adsense]
Tak bisa kita pungkiri, bahwa arus globalisasi begitu kuat, sehingga memberi pengaruh juga terhadap budaya Indonesia, termasuk pop culture. Secara garis besar, budaya pop di Indonesia terbagi tiga pengaruh besar: Barat, Korea, dan Jepang. Dan ini sangat berpengaruh juga terhadap pergerakan self-publishing di Indonesia.
Tak sedikit kita menjumpai karya-karya yang terpengaruh estetika Jepang, dan tak sedikit juga pekarya yang memakai budaya barat sebagai referensi dalam karya mereka. Baik itu musik, gambar, video, maupun literasi.
Komik Ga Jelas buatan Jasmine H. Surkatty juga berawal dari jalur independen. Sumber: Twitter @komikgajelas[/caption]
Sebagai contoh, mari kita lihat beberapa pekarya yang memulai langkahnya dari jalur independen, hingga akhirnya menjadi pekarya yang profesional. Di antaranya ada Sweta Kartika yang dikenal dari Grey dan Jingga. Mukhlis Nur dengan Only Human, dan Si Juki buatan Faza Meonk juga berawal dari self-published Comic. Ada banyak sekali contoh pekarya independen yang naik ke tangga profesional.
Ikkubaru. Contoh band Indie yang sukses di Jepang. Sumber: Hope You Smile Records[/caption]
Apakah sebatas media cetak saja? Tidak. Ranah doujin ini sudah termasuk game dan musik. Banyak pengembang indie game asal Indonesia, dan kita pun tahu sendiri skena musik indie di Indonesia juga tak kalah seru. Tapi akan kita bahas hal tersebut lain kali. Karena yang kita bahas kali ini adalah Doujinshi yang secara istilah berkutat pada media visual.
Dengan adanya media sosial sebagai portal untuk mempromosikan karya, ditambah dengan mulai banyaknya acara yang mengadakan pasar komik sebagai kesempatan pekarya independen untuk menunjukkan hasil karyanya seperti Comic Frontier, Pasar Komik Bandung, dan Popcon Asia, para pekarya bisa dengan mudah memperlihatkan karya mereka pada khalayak, dan juga mempermudah jalan mereka untuk jadi pekarya profesional.
Comic Frontier. Salah satu pasar doujinshi terbesar di Indonesia. Sumber: Twitter @comifuro[/caption]
Sektor media kreatif sebagai kegiatan ekonomi ini sudah harus mulai diperhitungkan. Dengan adanya publikasi mayor seperti LINE Webtoon, COMICA, dan CIAYO Comics, Industri Kreatif Indonesia mempunyai potensi untuk tak hanya bersaing secara lokal, namun juga menjadi sesuatu yang global.
Namun, walau begitu, Industri Kreatif Indonesia masih berada di langkah awal menuju tahap pendewasaan. Ada banyak guncangan dan rintangan yang menunggu di depan, jadi, bisa dibilang, Indonesia masih jauh dari kata maju dalam Industri Kreatif. Meski begitu, bisa kita lihat bahwa pergolakan ini punya prospek yang cerah.
Demikian pembahasan mengenai kultur Doujinshi di Indonesia, semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kawan-kawan sekalian. Sampai jumpa lain waktu dan maju terus Industri Kreatif Indonesia!
Diedit oleh Snow