TUTUP

Rebo Wekasan: Pengertian, Sejarah, Asal Mula, dan Tradisi 

Diadakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar

IDN Pictures baru-baru ini merilis sebuah film berjudul Inang yang mengangkat tradisi Rebo Wekasan. Dalam film tersebut, bayi yang lahir pada hari Rebo Wekasan harus diruwat agar menghilangkan sial yang mengikutinya.

Selain itu, tradisi ini dilakukan sebagai aksi tolak bala dan penyakit setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Lalu, bagaimana awal mula Rebo Wekasan dalam agama Islam dan budaya Jawa? Simak penjelasan berikut ini.

1. Pengertian Rebo Wekasan

dok. Humas Bantul

Rebo Wekasan atau biasa disebut juga Rebo Pungkasan merupakan hari Rabu terakhir di bulan Safar. Pada hari tersebut, diadakan ritual adat yang bertujuan untuk menolak bala dan memohon kelimpahan hasil bumi.

Ritual ini cukup berbeda di setiap daerah, lho. Ada ritual yang membagikan hasil bumi secara langsung, ada juga ritual Rebo Wekasan yang melarungkan hasil bumi ke laut.

2. Sejarah Rebo Wekasan

dok. dok. Pemerintah Kabupaten Bantul

Tradisi Rebo Wekasan di Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, tradisi ini dilakukan dengan membuat lemper raksasa yang dibagikan kepada masyarakat.

Rebo Wekasan sudah ada sejak 1784. Pada saat itu, Mbah Faqih Usman yang biasa disebut Kiai Wonokromo atau Kiai Welit berhasil mengobati penyakit dan menyembuhkan Sri Sultan Hamengku Buwana I.

Selain itu, bulan Safar dianggap sebagai bulan marabahaya atau malapelataka. Masyarakat zaman dahulu meminta bantuan kepada Kiai Welit untuk membuat tolak bala berbentuk rajah agar terhindar dari bahaya.

Karena banyaknya permintaan, Kiai Welit memasang rajah tersebut di Kali Opak dan Kali Gajahwong. Kini, masyarakat tinggal mandi di kali tersebut tanpa harus mendatangi Kiai Welit.

3. Asal mula Rebo Wekasan dalam Islam

dok. Pemerintah Kabupaten Bantul

Pada awalnya, tradisi Rebo Wekasan diadakan karena pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan 500 lebih macam penyakit.

Sebagai antisipasi, para ulama melakukan ibadan dan berdoa kepada Allah SWT agar dijauhkan dari segala penyakit dan malapetaka.

Saat ini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.

Baca Juga: Review Inang, Horor dengan Sentuhan Kritik Sosial

4. Tradisi Rebo Wekasan

dok. Pemerintah Kabupaten Bantul

Tradisi Rebo Wekasan yang diadakan hari Rabu terakhir di bulan Safar ini memiliki cara pelaksanaan yang berbeda-beda di setiap daerah.

Di Aceh, tradisi ini memiliki nama Rabu Abeh. Dalam pelaksanaannya, masyarakat memotong kerbau dan membuang bagian kepalanya ke laut untuk menolak bala. Namun, kini Rabu Abeh dilaksanakan diganti dengan pembacaan dzikir dan doa.

Berbeda di daerah Desa Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, acara Rebo Wekasan diperingati sebagai hari pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan memberikan keberkahan.

Selain itu, Rebo Wekasan memiliki nama Dudus di Banten, Rebo Wekasan di Gresik, Petik Laut di Banyuwangi, Arba Mustamir di Kalimantan Selatan, dan Mandi Safar di Maluku Tengah.

5. Mitos Rebo Wekasan

dok. Pemerintah Kabupaten Bantul

Banyak masyarakat yang percaya bahwa pasangan yang menikah di hari Rebo Wekasan akan mendapatkan kesialan yang berujung pada perceraian, pertengkaran dan hal-hal lainnya.

Selain itu, jika kita keluar rumah pada hari Rebo Wekasan, banyak kesialan dan bencana yang menghampirimu. Terakhir, yang paling unik adalah terdapat mitos bahwa bayi yang lahir pada hari Rebo Wekasan harus dibersihkan atau diruwat.

Kegiatan tersebut dilakukan agar bayi terhindar dari nasib sial seumur hidupnya, hal ini kemudian diangkat dalam film Inang yang diproduksi oleh IDN Pictures.

Nah, itu dia pengertian, sejarah, asal mula, hingga mitos Rebo Wekasan yang dilakukan untuk menolak bala atau penyakit. Apakah kamu mempercayainya? Tulis pendapatmu di kolom komentar, ya.

Baca Juga: Sinopsis Inang, Film Horor Thriller yang Angkat Tradisi Jawa