Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Film ini menyajikan akhir cerita dari cinta segitiga Doel, Zaenab, dan Sarah. Simak seperti apa filmnya dalam review Si Doel The Movie berikut ini.
Barangkali, tidak ada sinetron Indonesia yang tak lebih populer dari kisah anak suku Betawi seperti Si Doel ini.
Sinetron Keluarga Cemara juga sama-sama terkenal, namun popularitasnya masih kalah karena Si Doel Anak Sekolahan lebih rutin ditayangkan ulang di televisi. Tidak heran jika Si Doel akrab di mata orang tua hingga anak-anak masa kini.
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan pertama kali tayang di RCTI tahun 1994 lalu dan mampu bertahan hingga tahun 2006 dengan nama baru Si Doel Anak Gedongan. Sebelum Si Doel The Movie ini, ia juga sempat dibuatkan FTV berjudul Si Doel Anak Pinggiran tahun 2011 lalu.
Sinetron Si Doel ini adalah gambaran realitas paling dekat sekaligus kritik sosial bagi masyarakat Betawi. Namun sebelum review Si Doel The Movie ini berlanjut, tonton trailer dan sinopsis filmnya dulu berikut ini.
Sinopsis
Si Doel The Movie mengambil latar tempat dan waktu kronologis. Artinya, seiring dengan semakin menuanya para pemeran, ceritanya juga ikut berlanjut real time.
Kini, Doel (masih diperankan Rano Karno) sudah paruh baya dan sudah menikah dengan Zaenab (Maudy Koesnadi).
Dalam kisah terakhir di seri sinetronnya, Doel sebenarnya memilih Sarah (Cornelia Agatha). Akan tetapi, Sarah diceritakan meninggalkan Doel pergi ke Belanda. Doel sendiri diusir oleh mertuanya.
Dalam film ini, Doel dan Mandra (diperankan masih dengan sangat ikonik oleh Mandra Naih) diundang oleh Hans “Hidung Besar” (Adam Jagwani) ke Belanda untuk mengurus festival. Doel yang masih belum punya pekerjaan tetap tertarik, namun curiga dengan undangan Hans sebab Sarah—sepupu Hans—juga tinggal di Belanda.
Sementara itu di Jakarta, Zaenab dengan resah mewanti-wanti pertemuan kembali Doel dengan Sarah. Bagaimana akhir cerita kisah cinta segitiga Doel, Sarah, dan Zaenab?
Si Doel Sebagai Kritik Sosial
Si Doel Anak Sekolahan adalah versi modern dari novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Majoindo, yang kemudian diadaptasi menjadi film berjudul sama karya Sjumanjaja tahun 1972. Dalam versi film itu, Rano Karno dan Benyamin S memerankan karakter yang sama juga.
Selain soal popularitas Rano dan Benyamin S sebagai aktor serta interaksi karakternya yang lucu, sinetron ini mudah diterima karena ia juga berperan sebagai gambaran nyata kehidupan sehari-hari sekaligus kritik sosial.
Doel adalah lulusan jurusan teknik bergelar insinyur yang kesulitan mencari pekerjaan. Sebagai orang Betawi tradisional, baik keluarga maupun tetangga Doel berekspektasi besar padanya.
Namun di sinilah magnet besar sinetron ini: meski Doel seorang insinyur dan punya tabiat jujur, pekerja keras, sampai “kerjaannye, sembahyang mengaji”, ia masih juga harus narik oplet seperti profesi babehnya dulu.
Selain itu, sinetron Si Doel ini juga menghadapkan nilai-nilai tradisional dengan modern suku Betawi. Komunitas Betawi dihadapkan pada banyaknya pengembang yang ingin mencaplok tanah masyarakat untuk kepentingannya sendiri.
Di film Si Doel The Movie, Rano Karno sebagai sutradara tak lupa pada hal tersebut. Meski porsinya tak banyak, ada sepotong gambar yang menunjukkan tanah di depan rumah mereka yang sudah dipatok dan dijual pada pengembang.
Rupanya, masyarakat Betawi mau tidak mau harus kalah oleh gedung-gedung kota dan developer.
Persinggungan nilai tradisional dan modern ini tak hanya soal tanah, tapi juga hadir dalam budaya sehari-hari. Karakter Sarah menjadi simbolnya.
Sarah diceritakan sebagai gadis modern yang berpikiran progresif. Begitu banyak yang ia korbankan untuk bisa bersama Doel, meski melawan orang tuanya yang kaya.
Menariknya, nilai tradisional juga bukan tanpa simbol; Zaenab orangnya. Zaenab digambarkan kurang inisiatif, inferior, dan menggantungkan segala keputusan hidupnya pada orang lain, dalam hal ini ayahnya dan Doel.
Bagi saya dulu, ide-ide tentang kritik sosial itu hanya sekadar pikiran sepintas lalu saja. Saya lebih menunggu pertengkaran Mandra, Karyo (Basuki), dan Babe yang lucu atau interaksi yang unik kisah cinta segitiga Doel, Sarah, dan Zaenab.
Namun, tanpa ide-ide kritik sosial tadi, saya pikir Si Doel tak akan pernah sedekat ini dengan kehidupan kita sekarang.
Review Si Doel The Movie di halaman selanjutnya akan membahas bagaimana Rano berhasil mengentaskan kerinduan penggemar serinya sekaligus mengapa ia juga ragu-ragu seperti karakter fiksi Doel yang ia perankan.
Nostalgia Sebagai Senjata
Rano sepertinya memang paham betul dengan apa yang penggemar setianya ingin dapatkan dari film Si Doel The Movie.
Secara sinematis, tidak ada teknik-teknik groundbreaking dan mengagumkan dari film ini. Tidak ada shot-shot ambisius, akting yang bikin menganga, hingga naskah yang rumit.
Malah, beberapa adegan bercakap-cakap misalnya, dilakukan dengan kamera statis dan sekali take saja. Dari segi cerita, cerita yang diangkat film ini—kalau tidak bisa dibilang naif saking simple-nya—tidak berbelit-belit sehingga membuatnya terasa tak “berisi”.
Tidak ada karakter lain yang mengisi (sebab banyak banyak aktor dan aktris yang sudah meninggal) selain kehadiran singkat Ahong (Kasiman) ke rumah Lela atau Mak Nyak (Aminah Cendrakasih).
Praktis, cerita Si Doel The Movie hanya soal interaksi Zaenab, Atun (Suti Karno), Mak Nyak di Jakarta dan interaksi Doel, Mandra, Hans, Sarah di Belanda.
Dari mulai penokohan, properti, sudut pengambilan gambar, sampai penceritaannya sungguh sederhana. Namun, kesederhanaan itulah jiwa sebenarnya dari sinetron Si Doel Anak Sekolahan dulu.
Banyak dari dialog dan visualnya yang berhasil memantik nostalgia dan Rano berhasil memanfaatkan itu untuk membuat Si Doel The Movie ini serasa pemuas dahaga penggemar serinya.
Seperti Halnya Doel, Rano Karno Juga Peragu
Doel adalah manifestasi dari orang baik bagi saya dulu ketika masih anak-anak. Ia jujur, suka baca buku, penurut sama orang tua, prinsipil, dan manusia paling sabar yang saya kenal waktu itu.
Sayang, Doel juga seorang peragu dan enggak enakan. Keraguannya itu membuatnya terjebak banyak masalah, terutama soal hubungannya dengan Sarah dan Zaenab.
Kebiasaannya yang, kalau kata orang Medan “batu kali (seperti batu sekali)”, itu seringkali bikin kesal. Tapi begitulah Doel.
Rano Karno pun tampaknya terpengaruh karakter fiksi yang ia perankan sendiri. Sebagai sutradara, ia seolah-olah ragu untuk membawa konflik ke puncak tertinggi sehingga membuat adegan-adegan penting terasa tanggung.
Adegan paling penting yang mencerminkan keraguan itu adalah adegan meja makan di rumah Sarah saat Doel akhirnya bertemu dengan anaknya, Abdullah. Sempat ada ketegangan saat Mandra keceplosan bilang kalau Doel masih bekerja sebagai teknisi panggilan.
Saya sempat merasakan aura-aura kekecewaan dari suasana tegang itu. Sepertinya, Abdullah, kecewa karena ayahnya tidak membanggakan; masih susah seperti dulu.
Namun, tidak pernah ada letupan yang terjadi akibat kulminasi tensi yang telah dibangun.
Rasanya seperti saat hendak marah, tapi sesuatu menghalangi kita untuk melepaskan kemarahan. Kentang.
Rano seperti segan untuk mengambil risiko, sama seperti Doel yang ia perankan.
Akan tetapi, selain elemen nostalgia, Rano berhasil membuat Si Doel The Movie ini berkesan. Sama seperti yang telah saya bilang di atas, Rano tahu apa yang penonton inginkan, termasuk tentang akhir dari hubungan Rano dengan Zaenab dan Sarah.
Meski potensi konfliknya tak dijamah Rano, resolusi atau cara mengakhiri ceritanya sungguh memeras emosi. Saya membicarakan ucapan Sarah di akhir film yang membuat saya lega.
Pada akhirnya, sebagai kesimpulan dari review Si Doel The Movie ini, saya merasa tidak ada hal baru dan mengagumkan secara teknis dari film ini. Namun, sinema adalah soal rasa.
Saya rasa, Rano berhasil membuat Si Doel The Movie jadi film yang berkesan, sekaligus mampu memuaskan dahaga penonton akan akhir terbaik dari kisah cinta segitiga paling ikonik Indonesia ini.
Demikian review Si Doel The Movie. Bagaimana review Si Doel The Movie versi kamu? Sampaikan di kolom komentar, ya!