TUTUP

Review Ready Player One: Ziarah ke Kota Suci Umat Geek

Ready Player One adalah ibadah paripurna bagi umat geek di seluruh dunia. Bahagia tak terkira melihat karakter-karakter yang selama ini kita cintai, dari mulai Gundam sampai Mechagodzilla, tumplek dalam tontonan sekali duduk

Sebelum membaca review Ready Player One, baiknya membaca sinopsisnya dulu.

Sinopsis

Tahun 2045, Bumi mengalami krisis pangan. Manusia punya satu tempat di mana mereka bisa melarikan diri dari dunia yang kelam: sebuah game virtual reality (VR) bernama OASIS. Di dalam OASIS, orang-orang bisa menjadi apa saja seperti berada di dalam game massive multiplayer online (MMO).

Suatu ketika, James Halliday (Mark Rylance), pencipta OASIS meninggal dunia. Ia mewariskan kekayaan sekaligus hak milik OASIS kepada orang yang berhasil menemukan easter egg. Easter egg ini bisa ditemukan dengan menyelesaikan tiga teka-teki. Semua teka-teki itu bisa diselesaikan dengan melihat kembali referensi kultur pop kesukaan Halliday tahun 80-an.

Maka, tinggallah remaja bernama Wade Watts (Tye Sheridan) di sebuah lokasi kumuh di luar kota Columbus, Ohio. Ia menggunakan avatar bernama Parzival di OASIS. Bersama teman-temannya, Art3mis (Olivia Cooke), Aech (Lena Waithe), Daito (Win Morisaki), dan Sho (Philip Zhao), Wade berusaha memecahkan teka-teki dan menemukan easter egg sebelum ditemukan lebih dulu oleh Nolan Sorrento (Ben Mandelshon), korporat yang ingin mengkomersilkan OASIS.

Ziarah Kultur Pop

Menonton Ready Player One adalah kebahagiaan terbesar bagi umat geek di seluruh dunia. Bagaimana tidak, film ini diisi oleh banyak sekali karakter dari film, game, hingga musik dari tahun 80-an. Tidak hanya itu, referensinya juga sampai tahun 2010-an, misalnya karakter Tracer dari Overwatch hingga prajurit dari Halo.

Ready Player One diawali dengan upaya sutradara Steven Spielberg dan penulis naskah Zak Pen (The Avengers) menjelaskan apa dan bagaimana cara kerja OASIS. Sembari mengenalkan game VR tersebut dengan efek visual memukau, Ready Player One juga menceritakan bagaimana dunia distopia tempat tinggal para tokoh di dunia nyata.

Bagian pengenalan sebelum memasuki puncak konflik ini terasa terburu-buru. Dialognya cepat dan penjelasannya dibuat sesingkat mungkin sehingga jadi sulit diikuti bagi mereka yang belum kenal apa itu OASIS dari novelnya. Istilah-istilah game seperti gunter (pencari telur), permadeath (jika karakter mati, ulang dari awal), hingga respawn (hidup kembali) juga barangkali akan lebih susah dicerna bagi yang tidak familiar dengan game sebelumnya.

Separuh awal Ready Player One seperti sekumpulan informasi dipadatkan sepadat mungkin. Akibatnya, selain sulit dicerna, tidak banyak tempat bagi pengembangan karakter. Hampir semua karakter tak punya kedalaman yang membikin penonton bersimpati.

Namun, hal ini sebenarnya bisa dimengerti sebab tidak mudah mengadaptasi novel yang jalinan ceritanya sudah tersusun dengan baik ke dalam beberapa jam film, bahkan bagi Steven Spielberg sekalipun.

Ready Player One diangkat dari buku berjudul sama karya Ernest Cline tahun 2011. Seperti halnya film, buku tersebut juga diisi banyak referensi-referensi kultur pop tahun 80-an. Jumlah referensi di bukunya jauh lebih banyak, dari mulai yang populer di telinga pembaca Indonesia seperti game Pac-Man dan film Blade Runner (1982) hingga yang paling obscure sekalipun seperti game Zork hingga film WarGames (1983).

Meskipun awalnya sulit diikuti, untung saja sejak awal kita sudah dipertontonkan adegan tempur yang megah plus kaya referensi. Dalam teka-teki pertama, para gunter harus memacu kendaraannya sampai finis ala ala Death Race (2008).

Namun, halangan dan rintangannya adalah monster-monster seperti King Kong hingga Tiranosaurus rex. Mobil-mobil yang dipakai para gunter juga unik. Parzival misalnya, menggunakan mobil DeLorean yang pintunya dibuka ke atas dari film Back to The Future (1985). Aech, sahabat Parzival, menggunakan Monster Truck dan Art3mis menggunakan sepeda motor merah milik Kaneda dari Akira (1988).

Para gunter lain terpantau menggunakan mobil KITT dari seri Knight Rider (1982-1986) dan Mach 5 dari Speed Racer.

Apa yang membahagiakan dari Ready Player One adalah karakter-karakter yang selama ini kita cintai, dari Mulai Gundam sampai Mechagodzilla, tumpah semua dalam tontonan sekali duduk.

Sejak kecil kita selalu membayangkan bagaimana jika karakter dalam film, game, hingga anime bisa saling berhadapan satu sama lain. Saya selalu mengira itu hanya khalayan anak kecil semata. Namun, Ready Player One membuat semua itu benar-benar terjadi.

Ia bagai surat cinta untuk kultur pop, sekaligus impian para geek di seluruh dunia.


Mengumpulkan karakter-karakter itu ternyata bukan hal yang mudah, negosiasi bertahun-tahun diperlukan agar si pemilik properti mau memberi izin. Simak bagaimana ceritanya di kelanjutan review Ready Player One di halaman sebelah!

Tiga Tahun Meminta Izin

Seperti yang sudah disebut dalam review Ready Player One sebelumnya, film ini punya banyak sekali referensi pop culture sejak tahun 1980-an sampai sekarang. Ternyata, mengumpulkan referensi tersebut ke dalam satu film bukan hanya tinggal mendesain karakternya saja. Warner Bros., studio film ini harus bernegosiasi bagaimana caranya properti milik orang lain bisa dipinjam ke dalam Ready Player One.

Steven Spielberg bersama produser Kristie Macosko Krieger bekerja keras selama tiga tahun mengumpulkan lisensi karakter yang diinginkan. Untungnya, sebagian besar karakter tersebut merupakan properti Warner Bros., seperti The Iron Giant.

Hanya saja, tim ini punya kendala dalam meminta akses terhadap Ultraman. Di dalam novel, Ultraman punya peranan krusial dalam akhir cerita ini. Sayangnya, pemegang propertinya masih sedang dalam perselisihan di Jepang. “Ultraman sedang dalam perkara hukum sekarang,” kata Zak Penn, penulis skenario. “Bahkan sutradara legendaris Steven Spielberg tak bisa mendamaikan pihak yang berseteru.”

Ultraman akhirnya diganti menjadi Iron Giant di dalam film. Padahal, akan sangat seru sekali melihat Ultraman bertarung di tempat yang sama bersama Gundam.

Kesimpulan

Kesimpulan dari review Ready Player One bisa kamu bayangkan seperti ini: sejak kecil kamu gemar mengoleksi figur superhero DC, atau kamu penonton waralaba Godzilla, atau apa pun itu. Bersama temanmu yang juga geek, kalian membahas game, film animasi, dan lain-lain.

Kamu senang bisa membahas apa yang kamu cintai.

Kamu mulai berpikir, bagaimana jika suatu saat ada orang yang bikin Gundam melawan Mechagodzilla. Kamu pikir itu cuma ada dalam khayalanmu saja ketika main robot-robotan. Tapi di tahun 2018, Steven Spielberg merealisasikan itu semua dalam suatu battle royale yang epik. Film Spielberg itu adalah Ready Player One.

Seperti halnya novel, kelebihan Ready Player One bukan hanya segudang referensi yang bisa kamu perhatikan, tapi ia juga membuatmu semakin mencintai dirimu sendiri sebagai geek. Ready Player One membuatmu kian senang dan bersemangat nonton film, main game, dan aktivitas-aktivitas yang menyangkut kultur pop lainnya.

Barangkali Ready Player One memang bukan untuk semua orang. Teman saya yang bukan penikmat kultur pop dunia menganggap film ini biasa saja. Tetapi, jika kamu benar-benar suka nonton film, main game, baca buku, hingga dengar lagu, Ready Player One laksana ibadah haji: wajib dilaksanakan (jika mampu).

Diedit oleh Fachrul Razi