Benyamin Biang Kerok (2018) adalah mimpi buruk untuk ditonton. Alih-alih menjadi tribute untuk Benyamin S, ia malah memakai nama besar komedian legendaris itu untuk menjual komedi absurd
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Sinopsis
Benyamin Biang Kerok (2018) bercerita tentang Pengki (Reza Rahadian), anak orang kaya. Ibunya (Meriam Belina) seorang CEO perusahaan teknologi paling moncer Indonesia. Suatu ketika, Pengki jatuh hati pada seorang penyanyi bernama Aida (Delia Husein). Sayangnya, Aida ternyata
tunangan seorang bos mafia tengik bernama Said (Qomar). Bersama sobatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti), Pengki harus menyelamatkan Aida di markas sang bos mafia.
Mimpi Buruk Menonton Benyamin
Menonton film-film Benyamin S. adalah kegembiraan. Saya punya teman-teman indekos waktu kuliah dulu yang senang jika Benyamin tampil di televisi. Tawa berderai-derai ketika melihat Benyamin mulai jahil, kadang-kadang ikut bernyanyi (kalau hapal) jika Benyamin mulai bernyanyi. Benyamin Sueb adalah aktor, pelawak sekaligus penyanyi. Talentanya yang komplet itu dibarengi dengan perjalanan panjang kariernya di dunia hiburan membuatnya jadi legenda. Dalam industri film, Benyamin dikenal lewat film-film seperti
Tarzan Kota (1974),
Si Doel Anak Betawi (1973), hingga sejumlah film yang mencantumkan namanya seperti
Benyamin Biang Kerok (1972). Film karya sutradara Nawi Ismail yang disebut terakhir itulah yang—kata Hanung Bramantyo—menjadi
inspirasi Benyamin Biang Kerok (2018). Disebut
inspirasi karena film dari studio Falcon ini bukan merupakan film biografi seperti
Chrisye (2017), melainkan hanya mengambil nama film dan tokoh bernama Pengki yang diperankan Benyamin di film versi 1972.
Jika sudah menonton filmnya, tampaknya pernyataan Hanung tersebut memang benar. Namun benar bukan berarti baik, sebab
Benyamin Biang Kerok (2018) lebih tampak seperti film komedi absurd dengan Benyamin hanya sebagai elemen kecil saja.
Benyamin Biang Kerok (1972) bercerita tentang kiprah Pengki, seorang sopir yang nakal dan banyak akal. Pengki punya majikan seorang direktur kaya yang tinggal bersama istri dan mertuanya yang cerewet. Ketiga orang tersebut kasar pada Pengki, namun Pengki selalu punya akal muslihat untuk menjalankan aksi-aksinya. Sementara itu dalam versi 2018 ini, Pengki-nya Reza Rahadian tidak digambarkan jahil dan banyak akal seperti Pengki-nya Benyamin Sueb. Ia lebih digambarkan sebagai anak orang kaya yang manja dan bodoh. Tidak ada kejahilan-kejahilan yang menempatkan Pengki sebagai subjek, ia justru menjadi objek dari teman-temannya yang lebih pintar.
Persamaannya, Pengki dua generasi ini sama-sama suka bernyanyi dan sama-sama suka wanita cantik.
Benyamin Biang Kerok (2018) mengenang dua hal tersebut dengan sekuens musikal lagu Betawi populer dan lagu yang dinyanyikan Pengki-nya Benyamin dulu, serta tentu saja seorang wanita cantik pasangan Pengki. Sekuens musikal itu barangkali adalah satu-satunya hal yang bisa dinikmati dari film ini. Lagu-lagunya diaransemen dengan sentuhan modern yang enak didengar. Koreografinya menarik dan set panggungnya tampak meriah.
Benyamin Biang Kerok (2018) juga mereproduksi sejumlah adegan yang ada di versi 1972-nya. Adegan saat Pengki mengigau berciuman dengan cewek seperti tampak di
trailer adalah salah satunya. Bedanya, Pengki-nya Benyamin berakhir diludahi karena hendak mencium mertua majikannya. Saya tidak bisa bilang Reza berhasil memerankan Benyamin dengan pas. Berperan sebagai tokoh legendaris dan ikonik seperti Benyamin itu tidak seperti berperan sebagai aktor biasa. Ada ekspektasi penonton yang telah melihat tokoh yang diperankan, dan tindakan membanding-bandingkan tentunya tak terelakkan. Reza tampak berlebihan memerankan Benyamin; Pengki-nya Benyamin tidak terlihat sebodoh dan seceroboh ini. Meskipun begitu, Reza mampu membuat Pengki sangat energetik dan bersemangat, kira-kira cocoklah dengan komedi absurd yang dibawakan. Yang paling menyedihkan dari
Benyamin Biang Kerok (2018) ini adalah bagaimana perlakuan Falcon terhadap filmnya sendiri. Saya heran, apa yang membuat Falcon gemar sekali dengan tema fiksi-sains futuristik, aksi fantasi, robot-robot, dan efek visual berlebihan. Mereka melakukan ini dalam film-film
blockbuster-nya seperti
Warkop DKI Reborn dan
Rafathar. Semuanya dibalut komedi seakan-akan kecacatan logika dan efek visual (diharapkan) bisa memancing tawa penonton.
Falcon terus-menerus melakukan hal tersebut dan selalu berharap penonton bisa tertawa karenanya. Sayangnya, mereka tidak lucu sama sekali, entah karena materinya emang
jayus atau kesalahan dalam
comic timing. Lelucon-lelucon
slapstick juga masih ditemukan. Bagi saya yang menonton di Medan, saya memperhatikan hanya pada bagian saat Melaney Ricardo dan Madkucil saling melempar lelucon dengan logat Medan-lah para penonton tertawa. Itupun karena bisa
relate dengan logat yang difilmkan, bukan materi leluconnya. Film tentang Benyamin yang selalu bisa jadi bahan tertawa bersama dulu kini
dibuat kembali menjadi kumpulan gambar-gambar absurd yang diputar selama dua jam. Sulit untuk mengakui
Benyamin Biang Kerok (2018) adalah sebuah
tribute untuk Benyamin Sueb. Ia tampak bukan seperti
tribute, melainkan lebih seperti upaya Falcon untuk menjual komedi (yang sayangnya) tidak lucu itu dengan memanfaatkan nama besar Benyamin.
Benyamin Biang Kerok (2018) hanya berhasil meraih 82 ribu penonton di hari pertamanya, kalah jauh dibanding film dengan tema serupa Falcon sebelumnya seperti
Warkop DKI Reborn sebesar 270 ribu dan
Rafathar sebesar 200 ribu. Falcon juga tampak ingin mengembangkan film ini menjadi dua
installments, sekuel filmnya nanti akan tayang Desember 2017. Celakanya, tabiat yang sama terulang; kedua film
Benyamin Biang Kerok ini dipotong dengan seenak
udel, seperti halnya
Warkop DKI Reborn. Penonton Indonesia sudah mulai sadar memilih mana tontonan yang layak dan mana yang sampah nuklir. Formula serupa seperti ini terbukti buruk. Bagaimana jika skala produksi sebesar
Benyamin Biang Kerok (2018) ini dibuat untuk film-film berkualitas, namun tetap populer saja, eh, Falcon Pictures?
Diedit oleh Fachrul Razi