TUTUP

Review 22 Menit: Film tentang Bom Sarinah yang Cari Aman

22 Menit adalah film yang berbicara tentang keberanian polisi ala ala acara TV 86 yang ironinya justru tidak berani dan menyangkal motif mengapa teroris menyerang Persimpangan Sarinah.

Perlu diketahui bahwa cerita di dalam film 22 Menit ini diangkat dari kisah nyata peristiwa Bom Sarinah atau Bom Thamrin, bukan merupakan penggambaran paling akurat tentang kejadian tersebut. Artinya, akan selalu ada upaya dramatisir untuk kepentingan penceritaan atau storytelling. Sutradara Eugene Panji sendiri mengaku filmnya ini terdiri dari 70 persen kejadian nyata dan 30 persen sisanya berupa fiksi. Sinopsis 22 Menit mengangkat kisah peristiwa Bom Sarinah lewat lima sudut pandang. Masing-masing dari mereka ialah polisi anti-teror bernama Ardi (yang diperankan Ario Bayu), polisi lalu lintas Firman (Ade Firman Hakim), pelanggar lalu lintas Dessy (Ardina Rasti), pegawai kantoran yang mengunjungi Starbucks Mitha (Hana Malasan), dan office boy Bagus (Ence Bagus). Kelimanya terlibat langsung dalam kejadian dan mempunyai ceritanya masing-masing. Jalinan kisah kelima sudut pandang ini mirip seperti film Vantage Point (2008). Perbedaannya, film yang wara-wiri tayang di televisi nasional itu bercerita tentang percobaan pembunuhan presiden Amerika, sementara 22 Menit tentang Bom Sarinah. Tonton trailer 22 Menit berikut ini: Rakyat Memulai, Polisi Mengambil Kredit Bagian-bagian awal dari film berdurasi 77 menit diisi oleh potongan-potongan kisah kelima karakter tadi. AKBP Ardi, seorang polisi yang bertugas di departemen anti-terorisme, menjadi tokoh utama. Ia adalah polisi yang dihormati di kantor dan disayangi keluarganya di rumah. Office boy Bagus diceritakan hendak mempertemukan abangnya yang pengangguran dengan kenalannya agar bisa bekerja kembali. Lalu ada Mitha yang sedang mempersiapkan bahan presentasinya di Starbucks, salah satu lokasi peledakan. Sementara Firman punya cerita dengan calon istrinya yang ngambek. Firman berencana dipindah ke Sangihe, perbatasan dekat Filipina, dan pernikahannya terancam berantakan. Dessy? Dessy ditilang Firman. Kisah karakter-karakter tersebut diceritakan secara bergantian, tumpang-tindih satu sama lain. Selain memperkenalkan para tokohnya, fragmen-fragmen ini juga berupaya untuk menggambarkan Jakarta. Jakarta digambarkan romantis dengan caranya sendiri. Layaknya sebuah kota sibuk, penduduk sudah mulai beraktivitas pagi-pagi sekali. Jalanan selalu ramai. Ada pekerja kantoran, pekerja kerah biru, pedagang kaki lima, dan polisi—ya, polisi harus ada. Malamnya, masih tetap ramai lagi. Kalau kata penyiar radio (diperankan Vincent Ryan Rompies), “Malam ini, Jakarta punya banyak cerita.”. Lewat karakter Ardi dkk., 22 Menit berusaha menjangkau emosi penonton dengan cerita yang relatable. Saudara laki-laki Bagus misalnya, menjadi pengangguran setelah usaha sablonnya bangkrut. Sementara Mitha, menjadi representasi anak-anak muda kelas menengah yang kalau nongkrong di Starbucks. Selain itu, film juga ingin menyampaikan pesan bahwa dalam konteks peristiwa Bom Sarinah ini, teroris berhadapan dengan masyarakat; people’s power. Sayang, upaya itu tidak berhasil sebab dua hal. Pertama, kelima kisah yang dituturkan itu sangat lemah. Cerita-cerita itu hanya berupa stereotip, yakni sebuah penggambaran klise tentang suatu kejadian. Lihat saja karakter AKBP Ardi sisi humanisnya digambarkan hanya sebatas istri suportif dan putri yang sayang pada ayahnya. Ini cerita yang sungguh dangkal dan sudah terlalu banyak dipakai, apalagi tokoh utamanya laki-laki dewasa yang hendak memperjuangkan sesuatu. Tidak ada satu pun dari lima karakter itu yang meninggalkan kesan. Tokoh Bagus sedikit lebih mending karena Ence Bagus berakting lebih baik daripada yang lain. Kedua, karena jalinan lima kisah tersebut pada akhirnya secara absurd digantikan oleh ajang pamer operasi yang dilakukan oleh kepolisian. Setelah lima karakter diperkenalkan identitas dan konflik mereka masing-masing, film langsung melompat ke adegan rapat petinggi Polri dan setelahnya dapat diprediksi. Tokoh kapolri yang diperankan Mathias Muchus langsung terjun ke lapangan secara rombongan dengan pasukan anti-teroris yang datang dengan kendaraan tempur Barakuda. Barangkali memang beginilah cara polisi: pasukan siaga memasuki TKP seolah-olah sedang parade. Para penembak jitu bersiaga di atas gedung; pasukan yang keluar dari Barakuda tadi bergerak menyisir lokasi; dan AKBP Ardi bertempur solo tanpa helm (mungkin agar wajahnya tak tertutupi). Adegan-adegan selanjutnya diisi oleh betapa kerennya polisi dan alat-alat tempurnya. Saya mengucek mata sebab saya bingung apakah saya sedang menonton acara TV 86 atau bukan. Meski polisi digambarkan tampak gagah, namun filmnya justru tidak berani mengeksplor isu terorisme. Simak kelanjutan review 22 Menit di halaman sebelah.


Cari Aman Membahas Terorisme Film 22 Menit memilih untuk menghindar dari pembahasan lebih lanjut soal terorisme. Teroris dalam film ini digambarkan tak lebih dari tukang onar. Pertanyaan soal mengapa teroris itu meledakkan bom dan menembaki polisi tidak ada diceritakan sedikitpun. Padahal, untuk memahami tokoh villain atau antagonis dalam suatu cerita, kita perlu untuk mengetahui apa motivasi di balik kelakuan mereka. Thanos dalam Infinity War (2018) misalnya, ingin mencapai perdamaian semesta dengan melenyapkan separuh populasinya. Kita paham mengapa Thanos berbuat seperti itu. Baik buruknya atau sepakat atau tidaknya kita dengan motif si villain, itu urusan belakangan. Fakta yang terjadi dalam kehidupan nyata, teroris selalu punya pendorong yang menyebabkan mereka melukai orang lain. Entah itu faktor politis atau ideologis. Dalam kasus Bom Sarinah, kelompok teroris ISIS sendiri mengklaim bertanggung jawab. Para teroris ini menebar teror dengan melukai polisi dan warga asing yang kafir. Sayangnya, Sutradara Panji dan kompatriotnya Myrna Paramita seolah “main aman”. Padahal, mereka sempat memberikan porsi adegan warga asing yang tembak mati oleh teroris. Apa maksud teroris itu membunuh warga asing, bukan sejumlah pekerja kantoran yang mereka sandera di suatu kantor? Tidak jelas. Panji tampaknya belajar dari pengalamannya soal ini ketika film terakhirnya, Naura dan Genk Juara (2017) diprotes. Sejumlah netizen mengumumkan boikot atas dasar alasan terdapat tokoh penjahat yang mengucapkan istighfar. Meski MUI dan Lembaga Sensor Film mengatakan tidak ada yang salah dengan adegan itu, Panji sepertinya tidak ingin mengulang hal yang sama. Sayangnya, ia justru berlindung di balik slogan “teroris tidak punya agama” dengan mencabut atribut-atribut yang dipakai teroris dalam film 22 Menit. Secara tidak langsung, Panji memelihara budaya penyangkalan terhadap aksi-aksi teror yang telah terjadi. Padahal dilihat dari konteks keagamaan, para teroris tersebut justru membedakan diri dengan ajaran agama. Mereka ekstrem dan hendak membunuh orang lain. Panji boleh menggunakan perbedaan ini untuk menghindari generalisasi terhadap umat keseluruhan. Namun, keberanian polisi dalam film ini rasanya tak sejalan dengan keberanian film membahas isu yang lebih penting, yakni fakta bahwa teroris yang melakukukan teror di Persimpangan Sarinah itu punya motif ideologis yang harus disadari oleh masyarakat. 22 Menit justru menjadi ajang promosi betapa hebat dan kerennya kepolisian kita meringkus pengacau. Serasa acara TV 86 berbujet besar. Selama 22 menit sejak bom pertama diledakkan, polisi berhasil menangkap para teroris. Sementara di tempat yang sama, selama 77 menit, Eugene Panji dan Myrna Paramita malah membungkus dan memelihara budaya penyangkalan.