The Post karya Steven Spielberg adalah drama tentang dunia jurnalisme yang memikat dan penuh pesan moral untuk mereka yang meniti karir di bidang ini!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Steven Spielberg kembali ke dalam ranah film-film period drama, dibantu dengan duet maut antara Mery Streep dan Tom Hanks di depan kamera dalam film The Post yang bisa jadi terlalu konvensional, namun tetap mengesankan. Membahas sejarah Amerika Serikat di era 1960an hingga 1970an memang tak ada habisnya. Mulai dari peperangan di Vietnam, terkuaknya rahasia-rahasia busuk Gedung Putih perihal keterlibatan mereka di konflik militer negara paling timur Semenanjung Indochina di Asia Tenggara tersebut dalam dokumen-dokumen yang disebut sebagai "Pentagon Papers", hingga skandal Watergate yang secara efektif mengakhiri kekuasaan Richard Nixon sebagai presiden dari negeri Paman Sam tersebut. Topik-topik ini selalu menjadi favorit para pembuat film period drama bertahun-tahun setelah konflik-konflik tersebut berakhir. Di tahun 1976, sempat dibuatkan film yang membahas mengenai penyelidikan skandal Watergate berjudul All the President's Men yang digarap oleh Alan J. Pakula, dibintangi oleh Robert Redford dan Dustin Hoffman. Di tahun 2003 juga sempat dibuatkan film televisi bertajuk The Pentagon Papers, yang menceritakan kisah Daniel Ellsberg dalam upayanya mempublikasikan "Pentagon Papers", dan terakhir tahun 2007 lalu lewat film garapan Ron Howard Frost/Nixon yang brilian, mengenai wawancara kontroversial antara Nick Forst dan Presiden Nixon. Kali ini giliran sutradara ternama Steven Spielberg untuk mengangkat kisah tentang "Pentagon Papers" ini ke layar lebar lewat naskah yang ditulis oleh Liz Hannah dan John Singer -yang 2 tahun lalu memenangkan piala Oscar untuk kategori Naskah Terbaik lewat film Spotlight-, dibantu dengan tim suksesnya yaitu komposer John Williams dan sinematografer Janusz Kaminski, serta duet maut antara dua aktor senior kaliber Oscar: Meryl Streep dan Tom Hanks.
Tumpukan Kertas yang Menentukan Nasib Amerika
Kisah dimulai di tahun 1966, kala konflik bersenjata antara tentara Amerika Serikat dan Vietnam tengah berkecamuk. Seorang analis militer dari Amerika Serikat bernama Daniel Ellsberg (Matthew Rhys) ikut menemani para prajurit-prajurit Amerika dalam sebuah misi penyerbuan di belantara Vietnam yang kemudian berakhir gagal, membuka mata Ellsberg akan peliknya situasi dan nasib para tentara yang terperangkap di dalam medan perang Sepulangnya Ellsberg ke Amerika, ia mendapati bahwa kata-kata para pejabat dan petinggi-petinggi Gedung Putih berbanding terbalik dengan kenyataan yang ia lihat di medan perang. Sementara pemimpin-pemimpin di negara tersebut menutupi kenyataan pahit tentara Amerika di Vietnam dengan menebarkan kata-kata yang optimis akan kemenangan Amerika, Ellsberg yang tak tahan dengan kebohongan-kebohongan tersebut memutuskan untuk mencuri dokumen rahasia milik negara yang menyimpan segala rahasia busuk mengenai konflik tersebut yaitu "Pentagon Papers", berharap untuk bisa membocorkannya ke publik suatu saat nanti. Tahun 1971, Katherine "Kay" Graham (Meryl Streep); pewaris koran The Washington Post
yang dulunya dimiliki oleh mendiang ayah dan suaminya sedang mengalami sebuah dilema luar biasa ketika ia harus menghadapi pilihan untuk memberikan saham koran tersebut ke publik atau tidak. Di saat yang sama, redaktur dan orang terpercaya Graham di The Washington Post; Ben Bradlee (Tom Hanks) tengah menguak lebih dalam mengenai "Pentagon Papers" yang dipublikasikan oleh rival mereka yaitu The New York Times; yang mana mereka berhasil mendapatkan dokumen-dokumen tersebut melalui Ellsberg. Kini Graham dan Bradlee harus mengambil keputusan yang penting: Menutupi rahasia-rahasia busuk pemerintah dalam keterlibatan mereka di konflik Vietnan, atau mempublikasikan dokumen-dokumen tersebut dengan ancaman dipersekusi oleh pemerintah karena membeberkan dokumen rahasia milik negara.
Simak lanjutan ulasannya di halaman kedua! Steven Spielberg yang Bermain Aman
Sebenarnya tidak ada yang benar-benar salah dalam arahan Spielberg terhadap
The Post. Tak seperti drama-drama politik lainnya, kisah
The Post ini lebih berfokus pada konflik internal antara Graham dan Bradlee -diperankan dengan fenomenal oleh Streep dan Hanks- alih-alih berfokus pada panggung besar pergolakan politik di Amerika. Namun hal inilah pula yang menyebabkan
The Post jatuh ke dalam jurang film drama biografi yang terlalu konvensional dan "aman" sebagai sebuah film
thriller politik. Namun naskah milik Hannah dan Singer ini memang sedari awal tak pernah terlalu ambisius untuk menjadi sebuah
thriller politik yang menegangkan dan "greget". Namun, kekuatan
The Post datang dari tema-tema dan topik yang diangkatnya: Integritas badan jurnalis dalam tugas mereka untuk memberikan informasi pada publik. Kendati berlatar berpuluh-puluh tahun yang lalu dari masa kita, topik-topik dan tema yang diungkit oleh
The Post ini masih terasa relevan hingga saat ini, di tengah-tengah melesatnya teknologi yang mempermudah tersebarnya informasi-informasi baik yang sudah tersaring maupun belum, kejujuran jurnalisme berperan begitu penting untuk menuntun rakyat, alih-alih menjadi "mainan" dari para petinggi-petinggi negeri yang ingin mengadu domba rakyat mereka sendiri demi kepentingan politik mereka. Tak usahlah dulu membahas berapa banyak adegan di
The Post yang merupakan rekayasa untuk mendramatisir kisah filmnya, namun yang terpenting adalah pesan yang disampaikan sebagai bahan refleksi untuk mereka yang meniti karir di bidang jurnalisme, di tengah-tengah bobroknya media yang selalu dirundung dengan isu-isu keberpihakan yang berat sebelah, isu-isu misinformasi dan disinformasi, tentang hak publik untuk mengawasi pemerintahan yang transparan, dan lain-lain.
Spielberg sering dituduh sebagai sutradara pembuat film-film yang kelewat sentimentil dan "pengemis Oscar", namun dalam mengarahkan
The Post sendiri ia tak pernah terlihat terlalu ambisius akan hal itu. Tak ada momen-momen menggelegar yang seolah-olah seperti dirinya meneriakkan "Berikan aku Oscar!", namun lewat penceritaan yang
subtle, karakterisasi yang kuat untuk membuat kita peduli pada karakter-karakternya, serta
suspense dan drama yang cukup untuk membuat penonton tetap hanyut ke dalam kisahnya. Hanya saja, mengingat ini adalah drama sejarah mungkin membutuhkan sedikit pengetahuan akan latar kisah film ini bagi penonton untuk benar-benar bisa menangkap maksud tiap refrensi dan dialog yang datang bertubi-tubi. Jujur saja, nyaris tak terhitung berapa kali tokoh-tokoh di dalam film ini menyebutkan nama-nama penting tokoh yang hanya muncul sesaat atau bahkan tak pernah muncul sama sekali. Dari segi akting tak usah ditanyakan lagi. Seperti yang dikatakan di atas, Streep dan Hanks bermain brilian dalam adu akting mereka di sini, mereka selalu memperlihatkan
chemistry yang sangat apik di tiap adegan bersilat lidah, membuat tiap dialog dalam film ini selalu menarik untuk diikuti. Ansambel pendukungnya pun tak kalah brilian, terutama Bob Odenkirk yang mencuri perhatian tiap kali tokoh Ben Bagdikian yang diperankannya muncul di layar. Selain itu ada Bruce Greenwood, Carrie Coon, Alison Brie, Bradley Whitford, Sarah Paulson, dan bahkan Jesse "Meth Damon" Plemons yang mengerjakan tugas mereka dengan baik sebagai aktor-aktor pendukung, tak peduli sekecil apa peran mereka. Film-film karya Spielberg juga dikenal dengan sisi teknisnya yang selalu megah. Untuk
The Post sendiri yang sering berlatar di ruangan-ruangan sempit, Janusz Kaminski memanfaatkan teknik
static shot dan pergerakan kamera 360 derajat dengan baik untuk memberikan suasana sesak dan klaustrofobik layaknya ketika kita sedang berada di dalam sebuah ruangan wartawan. Pemilihan
aspect ratio dan
color grading film ini pun mencerminkan latar waktu kisah filmnya terjadi. Dalam kolaborasinya yang kesekian kalinya bersama Spielberg, kali ini John Williams memperlihatkan sisi yang lebih kelam namun juga lembut dalam musik gubahannya. Tak ada mars dan
main theme yang menggelegar ala
Indiana Jones atau
Jurassic Park dalam
The Post, melainkan dominan pada bunyi-bunyi piano
jazzy, orkestra yang sentimentil maupun yang terdengar kelam dan
urgent namun masih terdengar enerjik. https://open.spotify.com/track/2nuZKy27VrN8xgO7ENARdD
Verdict
Kisah dalam film
The Post mungkin memang terjadi di masa lampau -Tahun 1971, lebih tepatnya-, namun pesan dan tema yang dibawakannya tetap relevan hingga jaman sekarang. Sebuah ode untuk jurnalisme yang berintegritas tinggi, sebuah selebrasi untuk semua lapisan profesi jurnalis, kala mereka seharusnya menuntun masyarakat, bukan mengadu domba dengan permainan politik yang berat sebelah di sana-sini.
The Post memang bukan film terbaik Spielberg, tapi seperti film-filmnya yang l
ain di masa lampau: Selalu ada sesuatu yang akan terus menempel di dalam benakmu seusai menontonnya. Diedit oleh Fachrul Razi