TUTUP

Review Phantom Thread: Obsesi, Sugesti, Takhayul, dan Gaun-gaun Mewah

Phantom Thread lebih dari sekedar film drama romantis, namun ia seperti film thriller tanpa pembunuhan dan horor tanpa makhluk halus yang mengisahkan tentang hubungan beracun antara dua insan.

Dari sutradara Paul Thomas Anderson (There Will Be Blood, The Master, Inherent Vice) yang dikenal perfeksionis dan selalu membuat film-film menantang, Phantom Thread menyajikan sebuah kisah tentang obsesi yang tidak sehat dan takhayul yang tak berujung dalam sebuah drama "romantis" berlatar dunia busana Inggris di era 1950an. Meskipun tak terlalu dikenal oleh penonton-penonton kasual, bila ada film yang trailer-nya diselipkan teks "Dari sutradara dan penulis Paul Thomas Anderson" bisa penulis jamin sebagian besar penggemar film-film serius akan berteriak girang dan senang setengah mati bak penggemar film-film superhero ketika melihat trailer terbaru Avengers atau Justice League. Paul Thomas Anderson (Tidak ada hubungan dengan Wes Anderson, apalagi Paul W.S. Anderson, hehe) adalah salah satu anak emas favorit audiens arthouse lewat karya-karya idiosinkratik-nya, bisa dibilang ia bagaikan Radiohead untuk dunia sinema yang selalu memberikan nafas baru di tiap entri. Sering berkutat di drama dan terkadang komedi, hampir tiap film ciptaannya selalu mencakup tema dan latar yang sangat spesifik, seperti drama perdagangan minyak tanah di awal abad 20 lewat There Will Be Blood (2007), drama tentang kehidupan masyarakat Amerika pasca Perang Dunia II di The Master (2012), dan komedi drama tentang detektif teler di era 70an dalam Inherent Vice (2014). Setelah sukses besar lewat kolaborasinya dengan aktor terhormat Daniel Day-Lewis dalam film There Will Be Blood yang memberikan Day-Lewis piala Oscar-nya yang ketiga, Anderson kali ini memutuskan untuk "CLBK" dengan sang aktor (yang juga akan menjadi film terakhirnya sebelum ia pensiun) dalam Phantom Thread; sebuah kisah tentang obsesi, sugesti, dan takhayul yang dirajut dalam sebuah drama romansa berlatar di dunia busana Inggris tahun 1950an. Sinopsis Dunia busana adalah dunia yang anggun nan elegan, dan hanya mereka yang benar-benar perfeksionis yang bisa mempertahankan mutu busana -serta kewarasan sang disainer- dengan baik, terlebih yang berkutat pada pembuatan busana-busana mewah seperti gaun pernikahan. Adapun salah satu dari pelaku industri dunia gaun-gaun pengantin ini adalah Reynolds Woodcock (Daniel Day-Lewis); salah satu perancang busana terpopuler di Inggris di era 1950an, tak hanya digemari oleh kaum-kaum sosialita saja, para countess dari negeri seberang pun rela melakukan perjalanan jauh-jauh dari negeri asal mereka hanya untuk mengenakan gaun-gaun mewah buatan Keluarga Woodcock. Sifat sang disainer yang perfeksionis dan cenderung sangat obsesif dalam merancang tiap gaunnya-lah yang membuat gaun-gaun indah rajutan tangan berlabel Woodcock ini begitu mempesona, seolah-olah memancarkan aura anggun yang tak ada tandingannya. Namun meskipun berkutat pada dunia yang berfokus pada rancangan gaun pengantin, kehidupan romantis Reynolds tak semulus karirnya. Obsesinya terhadap gaun-gaun pengantin membuatnya percaya bahwa dengan memiliki pasangan hidup, ia harus meninggalkan cinta pertamanya yang tak lain adalah merancang busana. Hanya Cyril (Lesley Manville); kakak perempuannya yang ia anggap bisa mengerti dirinya dan obsesinya. Namun, semua berubah ketika ia bertemu dengan seorang gadis cantik nan canggung bernama Alma (Vicky Krieps). Meskipun awalnya Alma hanya berperan sebagai muse (sumber inspirasi) Reynolds dalam merancang busana-busana baru, hubungan mereka semakin dalam hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih. Namun baik air dengan minyak, obsesi Reynolds untuk merancang busana dengan fokus dan obsesi Alma terhadap hausnya akan perhatian Reynolds tak akan pernah bisa saling melengkapi, hingga sifat kepala batu mereka berdua saling bergesekan dan menyalakan percikan-percikan api konflik.


Simak lanjutan ulasannya di halaman kedua!
Potret Hubungan Beracun Antara Dua Insan Patut diketahui bahwa Phantom Thread -sebagaimana dengan film-film Paul Thomas Anderson lainnya- bukanlah film untuk semua orang. Phantom Thread bukanlah film yang penuh dengan peristiwa, selain dari beberapa sekuen climatic di pertengahan dan akhir film, nyaris tak ada melodrama khas film-film drama yang biasa kamu tonton, bukan hal yang tidak biasa apabila dalam sekian menit film berjalan yang kamu saksikan hanyalah para tokoh-tokohnya melakukan pekerjaannya sehari-hari, mengobrol, makan dan minum, dan lain-lain. Kendati tidak kompleks, gaya penceritaannya memang masuk ke dalam kategori "film-film festival" yang cenderung memiliki tempo yang lambat, banyak adegan sunyi dan tatap-tatapan tanpa dialog, jadinya tenang saja, jangan bingung sendiri kalau kamu merasa bosan menontonnya. Namun memang di situlah ciri khas Paul Thomas Anderson yang membuat dirinya begitu istimewa, ia tak pernah membuat film-filmnya terlalu sentimentil, namun menceritakannya secara halus sambil mengajak penonton menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang ingin disampaikan oleh film ini. Adapun yang benar-benar membuat penulis terpaku pada kisahnya adalah betapa menariknya karakterisasi dan konflik kedua tokoh sentralnya yaitu Reynolds dan Alma. Reynolds adalah seorang anggota dari lingkaran masyarakat borjuis yang hidup dan menjalani karir yang penuh dengan kemewahan, sedangkan Alma adalah kebalikan sempurna dari Reynolds, ia hanyalah seorang gadis dari kota pinggiran yang hanya bekerja sebagai pelayan restoran dan berusaha untuk menyesuaikan dirinya dalam kemewahan dunia milik sang kekasih. Di pertengahan film kita mengetahui bahwa obsesi Reynolds lebih dari sekedar dedikasinya pada mendesain gaun. Ia adalah orang yang perfeksionis dan mood-nya bisa hancur dalam seharian penuh bila ada satu rutinitasnya terganggu, misalnya ketika ia yang tiap paginya selalu menikmati sarapan dengan tenang sambil menggambar sketsa gaun terbarunya malah terganggu oleh suara gesekan pisau dan garpu Alma yang memiliki sopan santun di meja makan ala orang ndeso. Ataupun ketika ia tengah (lagi-lagi) menggambar sketsa gaun dan mendadak Alma menawarkan teh (ala mbah-mbah di sore hari) yang secara otomatis membuat dirinya terganggu, sekedar kata maaf tak cukup karena menurut sugesti dirinya interupsi dari Alma tersebut telah membuat fokusnya buyar seharian meskipun teh-nya tidak jadi disajikan. Reynolds seperti anak kecil yang sangat berpegang teguh pada sugesti dan takhayulnya sendiri. Namun Alma sendiri bukanlah gadis yang penurut, di sepanjang film ia berkali-kali menentang pakem cara hidup yang telah ditentukan oleh Reynolds meskipun sudah diperingatkan olehnya maupun Cyril sang kakak. Mungkin Alma juga satu-satunya orang yang berani untuk mengatakan bahwa kain yang digunakan untuk gaun buatan Reynolds tidak enak untuk dikenakan, atau membuatkan makanan yang menggunakan mentega meskipun ia tahu betul bahwa menyodorkan makanan bermentega pada Reynolds adalah hal tabu. Sama seperti Reynolds, Alma memiliki obsesi yang tidak sehat, yaitu obsesinya untuk mengenal sang kekasih lebih jauh dengan melakukan hal-hal yang ia tahu tidak disukai olehnya. Momen-momen di atas tidak hanya berfungsi sebagai momen pembentukan karakter, namun juga berfungsi untuk memberikan petunjuk kepada penonton-penonton yang jeli sebenarnya kisah apa yang sedang diceritakan oleh Phantom Thread ini, yakni sebuah potret hubungan beracun. Sekilas kalian bakal merasa kalau filmnya membuang-buang waktu dengan memperlihatkan adegan seperti ini, namun jangan salah, tak ada momen yang disia-siakan oleh Anderson dalam menceritakan kisah Phantom Thread, namun ia membangun konfliknya secara implikatif tanpa pernah terlalu eksplisit dalam menggambarkan hubungan antara Reynolds dan Alma, bahkan adegan ciuman pun hanya bisa dihitung dengan jari, dengan tujuan untuk membuat progress jalannya hubungan mereka tetap misterius untuk penonton. Menonton Phantom Thread serasa melihat Reynolds dan Alma -sepasang kekasih dengan obsesi yang saling memakan satu sama lain- sedang bermain catur, berusaha untuk saling mengalahkan dan bangkit sebagai yang dominan di antara hubungan mereka. Dari yang sekedar bertengkar saat fitting baju, saat sarapan, dan saat makan malam perlahan-lahan mulai terlihat jelas bahwa hubungan mereka ini sama sekali tak sehat, namun mau tak mau penonton dukung keduanya karena mereka punya alasan yang masuk akal kenapa mereka bertingkah demikian. Kendati tak absen dari adegan merayu, ada perasaan mengusik yang akan terus menemanimu, kita hanya bisa gigit-gigit jari sambil mengantisipasi hal buruk apa yang akan terjadi selanjutnya. Phantom Thread memang sebuah film tentang kisah cinta, namun tensi yang dibawakannya bagaikan menonton sebuah film thriller, kamu akan sibuk menebak-nebak langkah apa yang akan dilakukan tokoh-tokoh ini selanjutnya. Daniel Day-Lewis seperti biasa memang luar biasa , namun di penampilan terakhirnya ini ia tampil lebih halus dibandingkan aktingnya sebagai Daniel Plainview, tipe akting yang bukan show-off namun yang lebih cocok untuk diresapi perlahan-lahan. Nah, yang patut diberi pujian lebih banyak adalah Vicky Krieps. Jam terbangnya masih cenderung sedikit dan namanya pun pasti masih sangat asing di telinga kalian, namun prestasinya dalam film ini untuk bisa setara dengan aktor pemenang tiga piala Oscar benar-benar patut diperhitungkan. Ada sesuatu yang spesial yang membuat auranya begitu anggun dan memiliki screen presence yang begitu kuat terlebih karakternya yang lebih agresif dibandingkan milik Day-Lewis, sulit untuk mengalihkan pandangan dari dirinya tiap kali ia muncul di layar. Begitu pula dengan Lesley Manville, boleh saja Reynolds yang menjadi figur utama di Keluarga Woodcock, namun pesona dan aura superioritas dari Cyril-lah yang membuat bisnis keluarga tersebut terus berjalan, dipancarkan dengan luar biasa oleh Manville. Daris segi teknis janganlah lagi kalian ragukan, Anderson adalah master-nya. Selain production value-nya yang luar biasa dan secara akurat menangkap suasana gemerlap dunia mewah Inggris di tahun 50an dari lensa kamera yang dipegang sendiri oleh Anderson, detil yang diberikan pada tiap kostum dan gaunnya akan membuat kalian berdecak kagum berkat desain-desain kostum yang indah dari Mark Bridges. Dan bila semua aspek seperti kisah, akting, dan kemewahan set produksinya mungkin masih belum cukup untuk memuaskanmu, maka tutup saja matamu dan setel album soundtrack-nya yang digubah dengan indah oleh Jonny Greenwood, membuat kegiatan sehari-harimu yang membosankan seperti makan, tidur, membaca, atau bahkan BAB menjadi lebih berkelas bila ditemani dengan musik indah gubahan gitaris Radiohead ini. https://open.spotify.com/album/5WyVg6gJ9kCPkZs4zhIrDz
Verdict Sekali lagi Phantom Thread bukanlah film untuk semua orang, membutuhkan konsetrasi yang lebih dalam untuk bisa menangkap kisahnya dengan baik, namun tenang saja karena konsentrasi kalian akan dibayar dengan sebuah kisah drama romantis mencekam nan memikat ini. Ini bukanlah film tentang jahit menjahit, namun Anderson merancang Phantom Thread sebagai sebuah kisah cinta tanpa adegan-adegan termehek-mehek, thriller tanpa pembunuhan, dan horor tanpa makhluk supranatural. Sebuah drama seduktif yang akan terus membuatmu menebak-nebak hingga akhir. Diedit oleh Fachrul Razi