dok. Warner Bros. Pictures/ Suicide Squad
Saat cerita Thunderbolts* beredar, fans menyorot ada kemiripan dengan Suicide Squad pertama. Yaitu tim anti-hero akan melawan musuh yang jauh lebih super dari mereka.
Sementara di Suicide Squad pertama tim itu harus melawan Enchantress, di trailer kita diperlihatkan ancaman luar biasa Void, sisi gelap Sentry, yang dapat melenyapkan manusia hingga tinggal sisa bayangan.
Jadi saya pun sempat khawatir Thunderbolts* akan mengalami masalah yang serupa dengan Suicide Squad pertama. Bahwa tim ini akan melawan musuh yang levelnya jauh di atas mereka, sementara logikanya musuh itu diurus oleh hero lain yang aktif di dunia, dan musuh itu sendiri tersajinya kurang oke.
Namun yang mengejutkan, Thunderbolts* justru berhasil menyajikan ancaman super ini secara lebih cerdas dan grounded. Meski ada penonton yang mungkin merasa konklusinya tidak bombastis, ancamannya tetap terasa nyata, dahsyat, dan yang terpenting: konflik itu tumbuh secara organik dari dalam tim. Void bukan sekadar monster pengacau yang dimunculkan untuk adu jotos di babak ketiga, tapi punya akar emosional dan relasi personal yang kuat dengan karakter lain, khususnya Bob/Sentry dan dinamika psikologisnya.
Karena itu, keberadaan Thunderbolts sebagai pihak yang terlibat bukan terasa dipaksakan, melainkan logis. Penonton pun tidak sampai bertanya-tanya, "Kenapa Sam Wilson atau Wong nggak muncul saja buat beresin ini?" Karena konflik dan resolusinya memang milik tim ini, dan di situlah Thunderbolts unggul dari Suicide Squad, baik dari segi penceritaan, maupun penokohan penjahat supernya.
Dan dari aspek ini juga Thunderbolts* bisa dibilang unggul dari The Suicide Squad versi James Gunn, karena di sana ancaman supernya (Starro) munculnya juga agak mendadak, meski konklusinya lebih baik dari Enchantress.