TUTUP

Review Venom: The Last Dance, Aksi Terakhir Venom yang Emosional

Venom mengakhiri aksinya untuk selamanya

GENRE: Action

ACTORS: Tom Hardy, Juno Temple, Alanna Ubach

DIRECTOR: Kelly Marcel

RELEASE DATE: 24 Oktober 2024

RATING: 3/5

Venom: The Last Dance (2024) menjadi film ketiga sekaligus penutup dari perjalanan antihero ikonik Eddie Brock (Tom Hardy) bersama simbiot Venom. Film ini menyajikan perpisahan emosional dari karakter yang telah menghibur penonton sejak 2018.

Disutradarai oleh Kelly Marcel, yang juga ikut menulis naskah bersama Hardy, Venom: The Last Dance berhasil menyuguhkan aksi yang menegangkan dan visual yang memukau, namun sayangnya beberapa aspek penting dari cerita terasa kurang matang, menjadikannya penutup yang emosional tetapi tidak sempurna.

1. Hubungan Eddie dan Venom yang Emosional

Dok. Sony

Salah satu daya tarik utama dari Venom: The Last Dance adalah hubungan antara Eddie dan Venom yang semakin erat. Hardy kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam menghidupkan karakter ini, baik sebagai Eddie Brock maupun Venom.

Transformasi hubungan mereka yang awalnya bersifat parasit menjadi simbiosis yang lebih dalam dan penuh kepercayaan memang menambah dimensi emosional. Venom yang awalnya hanya ingin memanfaatkan Eddie, kini menjadi pelindung dan partner sejati.

Namun, sayangnya, tidak ada perkembangan besar dalam hubungan ini sejak film sebelumnya. Meski penonton dapat merasakan keterikatan emosional antara mereka, tidak ada momen yang benar-benar baru atau mengejutkan. Hubungan ini tetap berada di jalur yang sama, tanpa memberikan perspektif atau lapisan tambahan yang lebih dalam.

Baca Juga: Review 1 Million Followers Mengungkap Sisi Gelap dari Dunia Selebgram

2. Antagonis yang Kurang Memuaskan

Dok. Sony

Knull, sang pencipta simbiot yang diperankan oleh Andy Serkis, seharusnya bisa menjadi lawan yang tangguh dan karismatik. Namun, salah satu kelemahan besar dalam Venom: The Last Dance adalah kurangnya fokus pada Knull sebagai antagonis utama.

Sebagian besar waktu layar dihabiskan dengan Eddie dan Venom yang harus melawan anak buah Knull, bukan Knull itu sendiri. Ini membuat klimaks film terasa lemah jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya, di mana Venom harus berhadapan langsung dengan musuh yang lebih personal dan karismatik, seperti Riot dan Carnage.

Ketidakhadiran pertarungan langsung dengan Knull membuat film ini terasa lebih seperti kisah pelarian ketimbang pertempuran epik antara Venom dan ancaman besar.

3. Plot yang Tipis

Dok. Sony

Jika ada satu hal yang tak diragukan dari Venom: The Last Dance, itu adalah kekuatan visualnya. Adegan-adegan transformasi Venom yang berubah menjadi berbagai bentuk, seperti kuda dan ikan, memberikan nuansa aksi yang menarik dan menyegarkan. CGI yang digunakan sangat halus dan memikat, membuat setiap adegan aksi terasa hidup dan menegangkan. Namun, kekuatan visual ini tidak selalu didukung oleh cerita yang kuat. Alur cerita terasa sederhana dan tidak sekompleks yang diharapkan dari sebuah penutup trilogi. Beberapa momen aksi besar justru terasa dipaksakan untuk menutupi kelemahan plot, dan penonton mungkin merasa ada bagian yang hilang dalam pengembangan ceritanya.

Salah satu elemen yang terasa hilang dari Venom: The Last Dance adalah kehadiran Anne Weying (Michelle Williams). Anne, yang dalam dua film sebelumnya memberikan dimensi romantis pada karakter Eddie, tidak lagi muncul di film ini. Ketidakhadirannya meninggalkan kekosongan emosional yang membuat fokus film ini sepenuhnya tertuju pada petualangan Eddie dan Venom. Romansa yang biasanya memberikan keseimbangan antara aksi dan cerita pribadi, kini digantikan oleh dilema emosional antara Eddie dan Venom, yang meskipun menarik, tidak cukup memberikan variasi dinamika cerita.

4. Kolaborasi Epik dengan OPPO Reno12 F Series

Dok. Oppo

Meski memiliki beberapa kelemahan, ada hal menarik yang membuat Venom: The Last Dance lebih dari sekadar film superhero biasa, yakni kolaborasinya dengan OPPO Reno12 F Series. OPPO Indonesia bekerja sama dengan Sony Pictures dalam menghadirkan pengalaman interaktif yang menggabungkan teknologi canggih dengan kekuatan simbiot Venom. Pada acara screening eksklusif di Gandaria City, Jakarta, OPPO dan Sony memperkenalkan fitur-fitur terbaru dari Reno12 F Series, seperti AI Studio yang memungkinkan pengguna untuk “Venomize” foto mereka dengan teknologi AI generatif canggih.

Selain itu, perangkat Reno12 F Series hadir dengan teknologi tangguh yang sebanding dengan kekuatan Venom, seperti fitur All-Round Armour dengan IP64 yang tahan air dan debu, serta baterai besar 5000mAh yang memberikan performa optimal. Kolaborasi ini juga memperlihatkan bagaimana teknologi dan kekuatan besar bisa saling melengkapi, menghadirkan pengalaman baru bagi pengguna yang menginginkan perangkat yang tangguh dan bertenaga, sejalan dengan tema kekuatan symbiote Venom.

5. Kesimpulan

Dok. Sony

Venom: The Last Dance menawarkan penutupan yang penuh aksi dan momen emosional bagi para penggemar setia Eddie Brock dan Venom. Meski visualnya mengagumkan dan ada beberapa momen humor yang menyegarkan, kekurangan dalam pengembangan plot dan antagonis membuat film ini terasa kurang memuaskan sebagai penutup trilogi. Hilangnya elemen romansa dari karakter Anne Weying juga mempersempit ruang emosional dalam cerita.

Namun, kolaborasi dengan OPPO Reno12 F Series menambah nilai plus yang menarik, menghadirkan teknologi inovatif yang memanfaatkan tema film dengan cara yang interaktif. Secara keseluruhan, Venom: The Last Dance adalah film yang menyenangkan, terutama bagi penggemar setia, tetapi masih menyisakan ruang untuk perbaikan dalam aspek cerita dan karakterisasi antagonis.

Baca Juga: Review Smile 2, Horor Psikologi Dibalut dengan Selebriti