Tony Stark (dok. Walt Disney Studios Motion Pictures/Iron Man 3)
Apakah Tony Stark selalu menjadi sosok heroik? Ya tidak. Awalnya, ia adalah playboy narsistik yang acuh terhadap orang lain. Bahkan, senjata yang dikembangkan oleh Stark Industries sempat dipasok ke berbagai belahan dunia, menyebabkan tragedi, termasuk insiden yang membahayakan Pietro dan Wanda Maximoff.
Namun, Tony berkembang.
Sejak penyanderaan, Tony menjadi sosok yang lebih baik. Apa dia sempurna? Tidak, ia sangat manusiawi. Dia kerap melakukan kesalahan, bahkan di film-film selanjutnya. Masih ada momen seperti dia mengembangkan Ultron tanpa melibatkan lebih banyak Avengers dalam diskusi, atau akhirnya menyebabkan perpecahan di film Captain America: Civil War, dimana dia kemudian sempat ragu melibatkan lagi Captain America hingga Infinity War.
Tapi seperti armor-nya yang terus ditingkatkan untuk menutupi kesalahan sebelumnya, hingga akhir perjalanannya di Endgame, pribadi Tony terasa terus membaik.
Dia adalah perwujudan dari "Orang yang mungkin tidak sempurna, tapi tetap mencoba menjadi lebih baik."
Ironisnya, banyak penggemar yang mengidolakan Tony sering melewatkan sisi evolusi ini. Mereka meniru penampilan, gaya flamboyan, bahkan kata-kata sarkastik dan menusuknya, tapi perjalanan moral dan tanggung jawab yang membuat Tony menjadi hero sejati sering terabaikan.
Tidak mengherankan, meniru kacamata mahal, jas mewah, atau jenggot ikonik tentu jauh lebih mudah daripada meniru kedalaman karakter dan integritas Tony Stark.