Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
TSM_03761 (Small).jpg
Dok. A24 (The Smashing Machine)

Intinya sih...

  • Kekuatan di Balik Sosok Keras

  • Dwayne Johnson tampil rapuh dan penuh luka, menunjukkan akting terbaiknya. Emily Blunt memberikan kontras lembut, membuat film ini hidup.

  • Biografi yang Terlalu Lurus

  • Naskah linear dan konvensional membuat film kehilangan kejutan dan keberanian untuk menelusuri sisi-sisi yang lebih dalam atau suram.

  • Refleksi dan Kesimpulan

  • Film memiliki bahan untuk menjadi biopik olahraga terbaik dekade ini, namun naskah yang terlalu patuh pada formula membuat film kehilangan roh.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

GENRE: Drama

ACTORS: Dwayne Johnson, Emily Blunt, Ryan Bader

DIRECTOR: Benny Safdie

RELEASE DATE: 8 Oktober 2025

RATING: 3/5

Benny Safdie kembali dengan proyek yang banyak dibicarakan sejak diumumkan: The Smashing Machine, film biopik tentang petarung MMA legendaris Mark Kerr yang diperankan Dwayne Johnson. Nama Johnson biasanya identik dengan sosok tangguh dan pahlawan laga, tapi kali ini ia melepaskan semua citra itu untuk tampil rapuh, penuh luka, dan kelelahan mental.

Film yang juga dibintangi Emily Blunt ini awalnya tampak menjanjikan, kisah nyata tentang manusia yang hancur oleh tekanan prestasi dan kecanduan, dibungkus dalam gaya realisme khas Safdie. Sayangnya, di balik kekuatan akting dan gaya sinematik yang kuat, The Smashing Machine justru kehilangan taringnya karena biografi Mark Kerr yang disajikan terlalu aman dan terlalu biasa.

1. Kekuatan di Balik Sosok Keras

Dok. A24 (The Smashing Machine)

Satu hal yang tidak bisa disangkal adalah performa Dwayne Johnson. Inilah akting terbaiknya sejauh ini, bukan soal otot atau kekuatan, melainkan soal sisi rapuh yang jarang ia tunjukkan. Dalam film ini, Johnson bukan superstar, tapi manusia rusak yang berusaha tetap berdiri.

Safdie memotret kehidupan Kerr dengan gaya dokumenter mentah: kamera sering bergerak gelisah, pencahayaan dibiarkan keras, dan suara di latar terasa seperti hiruk pikuk nyata. Emily Blunt pun memberikan kontras lembut, membawa sisi emosional yang membuat film ini tidak hanya tentang kekerasan di ring, tapi juga tentang kehancuran di rumah.

Beberapa adegan pertarungan terasa sangat otentik tanpa glorifikasi, tanpa efek berlebihan. Rasa sakitnya terasa nyata, baik secara fisik maupun emosional. Di titik-titik ini, film ini benar-benar hidup.

2. Biografi yang Terlalu Lurus

Dok. A24 (The Smashing Machine)

Masalah utama The Smashing Machine justru ada pada naskahnya. Semua kisah Mark Kerr disusun secara linear dan konvensional: naik – jatuh – bangkit – refleksi. Tidak ada kejutan, tidak ada keberanian untuk menelusuri sisi-sisi yang lebih dalam atau lebih suram. Padahal materi aslinya, seorang juara dunia yang hancur oleh ketenaran dan obat penghilang rasa sakit punya potensi untuk dijadikan drama psikologis yang menggigit.

Akibatnya, semua kekuatan film, dari performa aktor hingga gaya visual, seperti terbuang percuma. Ceritanya sudah bisa ditebak bahkan sebelum babak terakhir dimulai. Kita tahu kapan Kerr akan terpuruk, kapan ia menyesal, kapan ia mencoba bangkit, dan kapan filmnya akan menutup dengan nada harapan samar.

Hubungan Kerr dan Dawn pun terasa lebih seperti alat naratif ketimbang dinamika dua karakter sejati. Blunt berusaha keras, tapi ruang eksplorasi karakternya terlalu sempit. Di titik ini, film terasa aman, seperti tak ingin benar-benar menelanjangi tokoh utamanya.

3. Refleksi dan Kesimpulan

Dok. A24 (The Smashing Machine)

The Smashing Machine sebenarnya punya semua bahan untuk menjadi biopik olahraga terbaik dekade ini: aktor utama yang matang, sutradara yang visioner, dan kisah nyata yang kelam sekaligus menyentuh. Tapi alih-alih meninju dengan keras, film ini justru menahan diri. Ia tak mau kotor, tak mau terlalu dalam, dan akhirnya hanya menjadi biografi “standar” yang rapi tapi datar.

Benny Safdie masih menunjukkan bakat besarnya dalam membangun suasana dan ketegangan, namun sayangnya naskah yang terlalu patuh pada formula membuat film ini kehilangan roh.

Kita melihat sisi manusia Dwayne Johnson, tapi tidak benar-benar memahami sisi manusia Mark Kerr.

Editorial Team