Salah satu elemen paling menakutkan dari The Monkey adalah bagaimana film ini tidak pernah memberikan penjelasan tentang asal-usul kekuatan jahatnya. Tidak ada ritual kuno atau penjelasan supernatural yang bertele-tele—hanya fakta sederhana dan mengerikan bahwa benda ini membunuh, dan tidak ada yang bisa berbuat apa-apa selain menunggu kematian berikutnya. Setiap ketukan drum yang bergema dari monyet ini menjadi tanda kematian yang tak terhindarkan, menciptakan ketegangan yang tiada henti. Suara itu tidak hanya menghantui para karakter di layar, tetapi juga menanamkan ketakutan dalam benak penonton, seolah-olah kita semua sedang menghitung waktu menuju malapetaka berikutnya.
Osgood Perkins, yang sebelumnya dikenal dengan Longlegs, memahami bagaimana cara membangun suasana ketakutan yang merayap perlahan sebelum akhirnya meledak dalam kekerasan yang mengejutkan. Dia menciptakan dunia yang absurd namun menakutkan, di mana kematian datang dengan cara yang brutal dan mendadak. Setiap kematian dalam The Monkey dieksekusi dengan kreativitas yang mengerikan—sebuah pisau hibachi yang melayang, tubuh yang terkoyak tanpa ampun, dan cipratan darah yang terasa terlalu nyata. Ini bukan sekadar horor slasher biasa; setiap adegan kematian menyimpan rasa putus asa yang mendalam, mengingatkan bahwa kehidupan manusia bisa berakhir dalam sekejap, tanpa peringatan.
Tapi The Monkey tidak hanya bergantung pada kekerasannya. Film ini juga bermain dengan absurditas dan humor gelap, menciptakan sensasi yang semakin mengganggu. Terkadang, kita tertawa—lalu langsung terdiam, tersadar bahwa kengerian sedang mengintai di tikungan. Ada sesuatu yang sangat tidak nyaman dalam perpaduan antara horor dan humor yang digunakan Perkins, seolah ia sengaja menyesatkan penonton sebelum menjatuhkan kita ke dalam jurang ketakutan yang lebih dalam.