Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Duniaku lainnya di IDN App
ilustrasi suasana bioskop sebelum film dimulai (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi suasana bioskop sebelum film dimulai (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Intinya sih...

  • In The Lost Lands: Fantasi tanpa emosi, naskah dingin, dan visual muram.

  • Smurfs: Nostalgia yang datar, humor yang gagal, dan animasi kosong.

  • Snow White: Kontroversi lebih dari kualitas, cerita terpecah dan pesan dipaksakan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tidak semua film yang lolos ke layar bioskop datang sebagai tontonan wajib. Tahun 2025 kembali membuktikan satu kebenaran lama: layar lebar pun bisa salah pilih. Di antara ambisi fantasi berskala besar, remake klasik yang penuh kontroversi, hingga horor yang menjual judul lebih dulu daripada isi, ada film-film yang justru meninggalkan rasa kosong begitu lampu studio menyala dan penonton bersiap pulang.

Sebenarnya, kami sempat tergoda memasukkan Abadi Nan Jaya karya Kimo, salah satu dari Mo Brothers, ke dalam daftar ini. Namun niat itu kami urungkan, karena film tersebut memang tidak tayang di bioskop. Lagi pula, menyebut Abadi Nan Jaya sebagai film bermasalah rasanya kurang adil. Satu-satunya “dosa” film itu hanyalah plot yang ringan dan lurus ke depan. Tapi jika kamu masih mempermasalahkan tipisnya plot dalam film garapan Kimo, bisa jadi yang perlu ditinjau ulang bukan filmnya, melainkan ekspektasimu. Sejak awal, Mo Brothers memang tidak pernah menjual cerita berlapis-lapis, melainkan pengalaman visceral: gore, slasher, dan kekacauan yang sadar diri.

Karena itu, tanpa perlu berputar-putar lebih jauh, berikut ini adalah lima film paling ampas yang benar-benar kami tonton di bioskop sepanjang 2025.

1. In The Lost Lands

In the Lost Lands (dok. Vertical/In the Lost Lands/Vertical)

In the Lost Lands adalah contoh paling nyata bagaimana dunia fantasi yang luas tidak ada artinya jika ceritanya hampa. Film ini terasa lebih tertarik memamerkan atmosfer gelap dan visual muram ketimbang membangun konflik yang benar-benar hidup. Setiap adegan seolah berjalan sendiri, tanpa urgensi, tanpa emosi, dan tanpa alasan kuat mengapa penonton harus peduli pada karakter di layar.

Masalah terbesarnya terletak pada naskah yang dingin dan dialog yang minim daya dorong. Karakter berbicara seperti sedang membaca konsep, bukan mengalami peristiwa. Tidak ada hubungan emosional yang terbangun, sehingga konflik terasa seperti formalitas, bukan perjalanan dramatis. Fantasi yang seharusnya megah justru terasa jauh dan tidak bersahabat.

Ironisnya, film ini punya semua bahan untuk berhasil: sumber cerita George R. R. Martin, aktor berpengalaman sekelas Dave Bautista, dan premis dunia yang menarik. Namun semuanya terjebak dalam eksekusi yang terlalu serius, terlalu kaku, dan lupa bahwa film tetap harus mengajak penonton ikut merasakan, bukan hanya mengagumi dari jauh.

2. Smurfs

Smurfs (dok. Paramount Animation/Smurfs)

Smurfs 2025 adalah bukti bahwa nostalgia bisa menjadi jebakan paling berbahaya. Film ini terasa seperti produk yang dibuat karena kewajiban merek, bukan karena dorongan kreatif. Ceritanya berjalan di jalur paling aman, paling bisa ditebak, dan paling malas mengambil risiko. Tidak ada kejutan, tidak ada ide segar, hanya pengulangan formula lama yang sudah usang.

Humor yang disajikan terasa datar dan sering kali gagal mengenai sasaran. Anak-anak mungkin masih tertawa, tetapi penonton dewasa, bahkan yang tumbuh bersama Smurfs, akan cepat kehilangan minat. Karakter-karakternya berjalan seperti mesin, bukan figur yang punya kepribadian kuat.

Yang paling menyedihkan, film ini tidak gagal secara teknis, tapi gagal secara jiwa. Animasi rapi, warna cerah, semuanya “oke”, namun kosong. Smurfs 2025 bukan film yang buruk karena berantakan, melainkan karena tidak punya alasan kuat untuk dibuat selain menjaga franchise tetap bernapas.

3. Snow White

cuplikan adegan dalam film live action Snow White (dok. Walt Disney Pictures/Snow White)

Snow White versi live-action lebih dikenal karena kontroversinya daripada kualitas filmnya sendiri, dan itu sudah menjadi masalah sejak awal. Film ini terasa seperti proyek yang lebih sibuk membuktikan sesuatu di luar layar, dibanding membangun kisah yang solid di dalam layar. Perubahan demi perubahan dilakukan, tetapi tanpa fondasi cerita yang kuat untuk menopangnya.

Alih-alih memberi kedalaman baru, film ini justru kehilangan fokus. Karakter-karakter terasa terpecah antara ingin menghormati versi klasik dan ingin tampil modern, namun gagal menyeimbangkan keduanya. Alurnya berjalan kaku, emosinya dangkal, dan pesan yang ingin disampaikan terasa dipaksakan.

Pada akhirnya, Snow White 2025 bukan film yang berani, melainkan film yang ragu-ragu. Ia tidak cukup setia untuk memuaskan penggemar lama, dan tidak cukup kuat secara cerita untuk menaklukkan penonton baru. Yang tersisa hanyalah kebisingan wacana, tanpa film yang benar-benar berkesan.

4. The Cursed: Insatiable Desires

Dok. BY4M Studio (The Cursed: Insatiable Desires)

Dari semua film di daftar ini, The Cursed: Insatiable Desires mungkin yang paling terasa “menipu secara konsep”. Judulnya menjanjikan horor dewasa, gelap, dan menggoda, tetapi isi filmnya justru terasa seperti eksperimen yang tidak selesai. Film ini tidak pernah benar-benar memutuskan mau menjadi apa.

Struktur cerita yang terpecah-pecah membuat pengalaman menonton terasa melelahkan. Alih-alih membangun ketegangan, film ini sering memutus momentum dengan segmen yang tidak saling menguatkan. Atmosfernya naik turun tanpa ritme yang jelas, membuat rasa takut sulit tumbuh dan bertahan.

Lebih parah lagi, horor di film ini sering terasa artifisial, lebih sibuk bergaya daripada menekan psikologis penonton. Ada ide menarik di beberapa bagian, tetapi semuanya tenggelam dalam ketidakkonsistenan. Ini bukan horor yang berani, melainkan horor yang bingung dengan ambisinya sendiri.

5. Merah Putih: One for All

Ketua BPI mengkritik kualitas animasi Merah Putih: One for All. (YouTube.com/perfiki tv)

Sebagai film lokal, Merah Putih: One for All membawa beban ekspektasi yang besar. Sayangnya, film ini lebih sering memancing kritik daripada kebanggaan. Masalah paling mencolok datang dari kualitas visual dan animasi yang terasa jauh dari standar film, bahkan sebelum cerita mulai berjalan. Rasanya seperti melihat proyek-proyek BUMN yang dipenuhi dengan gambar AI, karikatur polisi yang tidak mengambarkan "keramahan" polisi, dan seterusnya.

Narasinya sendiri berjalan lurus tanpa dinamika yang memikat. Dialog terdengar kaku, emosi terasa dipaksakan, dan pesan nasionalisme disampaikan dengan cara yang terlalu verbal. Alih-alih menginspirasi, film ini justru membuat penonton merasa sedang diberi ceramah visual yang menyakitkan mata. Bayangkan, kamu diceramahi pejabat dengan wajah buruk rupa, yang punya kebun sawit di Sumatra atau Papua.

Yang membuatnya semakin menyakitkan adalah, fakta bahwa film ini sebenarnya punya niat baik. Namun niat tanpa eksekusi yang matang dan teknik yang memadai hanya melahirkan kehancuran (kekecewaan terlalu ringan). Merah Putih: One for All menjadi contoh bahwa uang saja tidak cukup untuk membuat sebuah karya seni, jika tidak diimbangi kualitas dasar bercerita dan membuat animasi.

Editorial Team