Review Never Let Go: Horor yang Penuh Ketegangan dan Ambiguitas
Kamu akan mempertanyakan mana yang benar mana yang salah
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
GENRE: Horror
ACTORS: Halle Berry, Percy Daggs IV, Anthony B. Jenkins
DIRECTOR: Alexandre Aja
RELEASE DATE: 18 September 2024
RATING: 3.5/5
Never Let Go, karya terbaru sutradara Alexandre Aja, mengangkat tema perlindungan keluarga dengan balutan horor yang mencekam. Film ini menyuguhkan perjalanan emosional seorang ibu yang berusaha melindungi kedua anak kembarnya dari ancaman misterius di sebuah kabin terisolasi di tengah hutan.
Meskipun film ini memiliki konsep menarik dan atmosfer yang kuat, beberapa kelemahan dalam narasi membuat ketegangannya memudar di tengah-tengah film.
1. Plot yang Menarik Namun Terlalu Berbelit
Film ini berpusat pada kehidupan seorang ibu bernama Momma (Halle Berry) yang tinggal bersama dua anak kembarnya, Samuel (Anthony B. Jenkins) dan Nolan (Percy Daggs IV), di sebuah kabin tua di tengah hutan yang terisolasi. Ibu mereka percaya bahwa dunia luar telah terinfeksi oleh kejahatan yang menunggu untuk merasuki hati murni anak-anaknya jika mereka keluar dari perlindungan rumah tersebut. Untuk menjaga keselamatan mereka, keluarga ini harus tetap terhubung dengan rumah menggunakan tali tebal setiap kali mereka keluar untuk mencari makanan.
Konsep dasar ini memang menarik, terutama dengan elemen ritual yang dilakoni setiap hari oleh keluarga tersebut untuk melindungi diri dari kejahatan. Namun, seiring dengan berjalannya cerita, narasi yang berulang-ulang mulai terasa membebani. Momma terus menerus memperingatkan anak-anaknya tentang bahaya di luar, tetapi pesan yang sama diulang berkali-kali, membuat penonton merasa bahwa film ini terlalu fokus pada lore tanpa memberikan perkembangan yang berarti.
Baca Juga: Review Film Transformers One, Awal Pecahnya Konflik Abadi!
2. Atmosfer yang Dingin dan Menyeramkan
Salah satu kekuatan terbesar Never Let Go adalah kemampuannya menciptakan atmosfer yang penuh dengan ketegangan. Alexandre Aja, yang dikenal melalui karya-karya sebelumnya seperti The Hills Have Eyes dan Crawl, sekali lagi membuktikan kemampuannya dalam membangun suasana mencekam melalui sinematografi yang apik. Lokasi syuting di luar Vancouver, yang menjadi hutan lebat dan misterius, menciptakan nuansa isolasi yang sangat efektif. Kabin yang menjadi tempat perlindungan mereka digambarkan penuh rahasia, hanya diterangi oleh cahaya lilin dan lampu minyak yang menambah kesan suram dan menakutkan.
Selain itu, skor musik yang diciptakan oleh ROB, seorang musisi indie pop Prancis, berhasil memberikan nuansa horor yang lebih dalam dengan nada-nada synth yang mengganggu. Setiap elemen suara di film ini terasa seperti bagian dari cerita, mulai dari suara hewan liar di hutan hingga gemerisik angin yang mengintai. Semuanya disatukan untuk menciptakan atmosfer yang terus menambah ketegangan.
3. Plot yang Terbatas Menahan Perkembangan
Halle Berry memberikan penampilan yang luar biasa sebagai Momma, seorang ibu yang terjebak dalam dilema antara melindungi anak-anaknya dan menghadapi kemungkinan bahwa ancaman yang dia lihat hanyalah hasil dari halusinasinya sendiri. Akting Berry benar-benar menghidupkan karakter Momma yang penuh trauma, ketakutan, dan kasih sayang. Dia memancarkan intensitas yang besar dengan setiap gerakan dan ekspresi, menunjukkan bahwa ada lebih banyak cerita di balik keheningan dan keputusasaannya.
Namun, meskipun Berry tampil dengan sangat meyakinkan, plot yang repetitif dan kurangnya perkembangan cerita membuat karakternya seakan terjebak dalam lingkaran narasi yang monoton. Film ini memberikan beberapa petunjuk bahwa Momma mungkin mengalami gangguan mental, tetapi tidak pernah sepenuhnya mengeksplorasi aspek ini, yang membuat banyak adegan emosional terasa kurang mendalam. Hal ini membuat penonton bertanya-tanya apakah Momma benar-benar melihat kejahatan atau hanya korban dari kegilaan yang ia alami.
4. Konflik yang Memudar di Babak Ketiga
Salah satu kelemahan besar dari Never Let Go adalah bahwa ketegangannya memudar ketika film mencapai babak ketiga. Konflik antara Momma dan kedua anaknya, yang awalnya sangat menjanjikan, mulai kehilangan momentum. Nolan, yang mulai meragukan ibunya dan berniat untuk keluar dari aturan ketat yang diberlakukan, semakin merasa bahwa ancaman di luar tidak nyata. Sementara itu, Samuel tetap percaya sepenuhnya pada ibunya, yang menciptakan perpecahan antara kedua anak tersebut.
Namun, alih-alih memperdalam konflik ini dan memberikan resolusi yang memuaskan, film justru terasa stagnan dan kehilangan arah. Ketegangan yang dibangun di awal film memudar. Bahkan ketika Aja mencoba meningkatkan intensitas dengan adegan-adegan menegangkan, film ini justru terasa berakhir terlalu cepat, tanpa meninggalkan dampak yang signifikan pada penonton.
5. Kesimpulan
Secara keseluruhan, Never Let Go adalah film horor yang memiliki premis menarik dan atmosfer yang kuat, tetapi gagal memanfaatkan potensi penuhnya. Akting Halle Berry sebagai ibu yang protektif dan trauma adalah sorotan utama film ini, tetapi narasi yang repetitif dan ketegangan yang memudar di bagian akhir membuatnya sulit untuk benar-benar memikat penonton hingga akhir.
Meskipun begitu, bagi penggemar horor psikologis yang menghargai atmosfer dan elemen visual yang kuat, Never Let Go tetap menawarkan pengalaman yang cukup memuaskan. Meskipun ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab premis yang sama pernah kita temui dalam film lain yang sejenis, seperti misalnya The Village karya M. Night Shyamalan.
Baca Juga: Review Film Speak No Evil, Sebuah Remake yang Apik dan Brutal