TUTUP

Reality Show Mikrofon Pelunas Hutang Eksploitasi Orang yang Membutuhkan?

Apakah menurut kalian reality show seperti ini terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi orang yang membutuhkan?

Segala cara dilakukan stasiun televisi demi rating. Tidak sedikit stasiun televisi di Indonesia melupakan unsur edukasi dalam program mereka. Mikrofon Pelunas Hutang salah satu acara stasiun tv Indonesia ini tampaknya “berlebihan” dan mengekspoitasi orang yang membutuhkan!

[duniaku_baca_juga] Seluruh masyarakat Indonesia tentunya mengharapkan sajian yang edukatif dan mendidik dari stasiun televisi. Bagaimana tidak stasiun televisi sedikit banyak tentu memberikan pengaruh bagi perkembangan “mental” bangsa ini. Bayangkan saja sebagian dari masyarakat Indonesia tentu memiliki televisi di rumahnya. Sejarang-jarangnya kamu menonton televisi kamu pasti setidaknya pernah mendengar atau tidak sengaja melihat tayangan di televisi. Nah apa jadinya jika televisi di Indonesia hanya menyajikan program-program yang “kurang” bermutu dan mengesampingkan unsur edukasi dalam program-programnya? Nampaknya hal-hal tersebut masih saja menjadi persoalan di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, banyak stasiun televisi yang hanya mengejar rating saja. Prinsipnya, dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sinetron contohnya, kadang ceritanya hanya di satu latar saja menceritakan mengenai kehidupan keluarga yang saling cela. Namun herannya mereka justru mendapatkan rating yang tinggi dan pendapatan yang banyak. Mungkin jika saya mengatakan Sinetron di Indonesia “absurd” hal tersebut sudah menjadi hal umum. Kali ini yang akan saya bahas adalah reality show Mikrofon Pelunas Hutang yang tayang setiap hari di salah satu stasiun tv swasta pada jam prime time. Mikrofon Pelunas Hutang adalah acara yang sudah mulai tayang sejak 17 April 2017. Formatnya merupakan program reality show. Setiap episodenya ditampilkan dua peserta yang menceritakan kisah hidup dan kesulitan yang di alami hingga terbelit hutang. Tujuan dari acara ini adalah membayarkan seluruh hutang si peserta. Sebagai syarat untuk mendapatkan uang untuk melunasi hutang tersebut, maka peserta diharuskan menyanyikan sebuah lagu yang akan dikomentari langsung penampilannya oleh tiga juri, antara lain Titi Dj, Soimah, dan juri tamu lainnya. Peserta degan penampilan menyanyi terbaik pilihan juri akan maju ke babak bonus yang kemudian dihadapkan dengan 10 mikrofon dimana hanya ada satu dari sepuluh mikrofon yang menyala, dan sembilan lainnya dalam keadaan mati. Apabila peserta berhasil memilih dengan tepat satu mikrofon yang menyala, maka seluruh hutangnya akan lunas atau disebut Debt Off. Namun jika peserta belum berhasil memilih mikrofon yang tepat, maka ia akan diberi uang satu juta sebagai hadiah. [duniaku_adsense] Miris rasanya melihat acara ini begitu “menjual” kesulitan yang dialami oleh para peserta. Peserta yang hadir tidak dirias sedikitpun dan tampil apa adanya. Hal ini tentu bertujuan untuk mengundang simpati penonton. Kisah menyedihkan para peserta juga ditayangan yang pastinya akan menyayat hati siapapun yang melihatnya. Bukan hanya itu MC acara ini Oki Lukman nampak memberikan tekanan dalam kata-kata yang ia keluarkan agar terlihat dramatis. Yang menjadi pertanyaan adalah jika memang ingin memberi kenapa tidak langsung berikan saja uangnya? Kenapa nenek-nenek yang sudah renta masih disuruh ikut lomba dan di tanding-tandingkan. Sudah begitu, bila gagal memperoleh Debt Off, apakah satu juta cukup untuk meringankan beban kontestan? Itu memang jumlah besar, tapi kadang utang yang ditanggung peserta lebih dari jumlah itu. Dari beberapa episode yang saya lihat rata-rata peserta memiliki hutang berkisar 5 – 20 juta.  belum lagi peserta yang kalah hanya diberi satu juta saja. (c) indosiar.com[/caption] Jika kamu perhatikan acara ini memiliki durasi iklan yang cukup lama dengan jumlah yang cukup banyak. Meskipun saya tidak tahu detailnya berapa tapi secara logika memasang iklan di televisi tentu tidak murah apalagi pada prime time. Belum lagi bayaran dewan juri sekelas Soimah dan Titi DJ tentu “harga” mereka jelas-jelas tidak murah. Tapi mengapa peserta yang membutuhkan ini hanya mendapat sangat sedikit? Padahal acara ini tentu ramai karena kisah perjuangan para peserta. Apalagi jika peserta tidak menang mereka hanya bisa gigit jari. Padahal sebelum mengikuti acara ini mereka diharuskan mengikuti audisi terlebih dahulu. Pergi untuk mengikuti audisi tentu membutuhkan biaya, saat mengikuti audisi dan acara mereka juga pasti tidak bekerja, dan hanya pulang dengan uang satu juta. (c) wow keren[/caption] Sebenarnya bukan hanya Mikrofon Pelunas Hutang saja yang saya rasa mengeksploitasi orang yang membutuhkan. Salah satu acara tv swasta yang berjudul Pagi-Pagi Pasti Happy juga saya rasa sama. Mereka yang membutuhkan disuruh mengikuti kuis untuk memilih amplop. Di setiap amplop tersebut berisi uang namun beberapa amplop merupakan “jebakan” yang mana jika kamu tidak sengaja memilih amplop tersebut maka uang yang sudah kamu dapatkan dari amplop-amplop sebelumnya akan hangus. Setidaknya acara ini masih lebih oke dari yang sebelumnya karena acara ini turut berkampanye di Kitabisa.com, salah satu website dimana kita bisa beramal secara online. Namun tetap saja jika memang ingin memberikan uang kepada mereka yang membutuhkan kenapa tidak mengadakan acara konser amal saja? Atau reality show sejenis ini tapi tanpa harus ditanding-tandingkan dan membuat pesertanya kecewa. Miris rasanya melihat ekspresi kekecewaan peserta yang salah memilih mikrofon atau yang uangnya hagus tampak begitu murung, padahal saat mereka datang dengan penuh harapan pastinya. Jadi bagaimana pendapat kamu mengenai reality show seperti ini? Apakah kamu setuju dengan program-program televisi sekarang? Bagaimana pendapat kamu mengenai acara televisi seperti ini? Tulis di kolom komentar ya. Diedit oleh Fachrul Razi