Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Film Chrisye mengangkat kisah sang legenda musik yang tidak diketahui oleh publik dan diceritakan lewat sudut pandang istrinya. Simak review Chrisye berikut.
Jika orang Indonesia disuruh membuat daftar para musisi dalam negeri paling berpengaruh, nama alm. Chrisye pasti ada di dalamnya. Sepanjang hidupnya sudah banyak penghargaan ia raih. Tahun 2011 lalu, Rolling Stone Indonesia menobatkan Chrisye sebagai musisi termasyhur ketiga Indonesia di bawah Koes Plus dan Iwan Fals.
[duniaku_baca_juga]
Suaranya khas, pembawaannya kalem dan kaku. Lagu-lagunya berisi lirik-lirik yang bermakna. Maka, mengangkat kisah hidupnya menjadi sebuah film biografi (fibio) sudah sewajarnya dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
Beruntungnya kita, Damayanti Noor ada untuk menceritakan kisah hidup yang tak diketahui publik menurut perspektifnya sebagai istri seorang Chrisye. Sebelum masuk review Chrisye, coba tonton trailer dan baca sinopsisnya di bawah ini.
Sinopsis
Chrisye (diperankan Vino G. Bastian) memulai perjalanan kariernya menjadi basis di band Gipsy. Pada tahun 1972, band mereka diundang manggung selama setahun di restoran di Kota New York. Namun, ayah Chrisye (Ray Sahetapy) melarangnya karena alasan menjadi musisi itu, “Ini Indonesi! Tidak ada yang menghargai profesi sebagai musisi di sini!”
Ayahnya benar juga. Dalam perjalanannya, Chrisye kesulitan membiayai keluarganya sebelum sukses besar lewat lagu Aku Cinta Dia (1985). Ia juga sukses dengan konser tunggalnya tahun 1994 dan harus mengalami momen emosional ketika penciptaan lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata.
Simak kelanjutan review Chrisye berikut ini.
Kisah Hidup yang Menggugah
Sekilas menonton trailer-nya, tak banyak hal baru yang dibawa Chrisye sebagai sebuah film utuh. Jika kamu bercita-cita menjadi seorang musisi, betapa berbakatnya dirimu, kemungkinan besar yang menghalangimu adalah restu dari orang tua. Maka, begitulah terjadinya konflik Chrisye dan ayahnya di tahun 1970-an dulu.
Berlanjut lagi, jika kamu berhasil melewati tantangan restu orangtua, kemungkinan besar kamu akan dihadapkan pada tantangan finansial. Jika lagumu tak laku-laku amat di masyarakat, siap-siap berhemat. Tapi, jika sukses besar, seperti halnya Chrisye bersama lagu Aku Cinta Dia, kamu bisa beli rumah yang layak.
Film Chrisye hampir saja terjebak dalam konflik-konflik standar seperti itu. Namun yang menyelamatkannya ada dua faktor besar: sentuhan personal dari cerita Damayanti dan performa akting Vino G. Bastian.
Sentuhan personal dari cerita sang istri, Damayanti adalah hal unik yang membuat ragam konflik basic di atas jadi menarik. Misalnya saja saat pertemuan Chrisye dan Damayanti sebelum menikah.
Ada perasaan manis, canggung, dan natural ketika Chrisye PDKT pada Damayanti (diperankan Velove Vexia). Detail-detail kecil seperti Damayanti yang pada awalnya sering mengabaikan Chrisye (yang pemalu luar biasa) dan lain-lain membuatnya terasa hidup.
Entah ini merupakan dramatisasi atau memang penuturan Damayanti, melalui review Chrisye ini saya kurang tahu. Tetapi yang jelas, ia menambah nyawa bagi karakter Chrisye
Penggambaran Chrisye sebagai makhluk pemalu juga demikian ditekankan sejak film dimulai. Ia pada awalnya menolak tawaran menyanyi solo karena tak nyaman di depan panggung. Karakternya yang kaku itu juga diceritakan lewat momen-momen menyendirinya di rumah.
Maka, adegan ketika ia harus menari Aku Cinta Dia di televisi begitu lucu dan berkesan karena kita seakan-akan melihat pergeseran karakter beliau.
Sebagai fibio tentang tokoh legendaris, film Chrisye ini rentan untuk masuk ke dalam tahap pemujaan yang berlebihan. Apalagi, kisah ini diambil dari penuturan Damayanti, bukan interpretasi lepas selepas-lepasnya oleh para kru kreatif film.
Ada banyak momen di mana film ini terlalu memuja sosok Chrisye. Di sinilah Vino G. Bastian memegang peran kunci. Lewat aktingnya, Vino membumikan Chrisye. Ia bukanlah sosok malaikat bersuara indah, Chrisye juga manusia dengan segala keterbatasannya.
Meskipun penetapan Vino sebagai Chrisye dikritik karena wajahnya tak mirip, ia berhasil membuat apapun tentang Chrisye yang tampil di layar menjadi hidup. Gerak-geriknya yang canggung dan kaku, ekspresinya yang kalem, ia menjadi Chrisye itu sendiri. Vino layak menerima penghargaan untuk kerja kerasnya yang satu ini.
Momen utama film ini adalah penciptaan lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Setelah melalui berbagai ujian mental di sepanjang awal hingga pertengahan film, baru pada momen inilah mental Chrisye digambarkan jatuh sangat dalam. Lirik lagu yang diambil dari Surah Yasin itu ternyata kena pas di hatinya.
Namun, ada satu kepingan puzzle yang hilang sehingga melemahkan momen emosional itu, yaitu alasan mengapa Chrisye memutuskan mualaf. Di awal, film punya porsi untuk menggambarkan proses pindah agama ini. Tetapi tidak ada penjelasan yang cukup memuaskan tentang hal apa yang terjadi di dalam hati Chrisye ketika memutuskan masuk Islam.
Barangkali jawabannya hanya Chrisye yang tahu. Sayangnya hal ini berdampak pada momen emosional penciptaan lagu tadi, seperti ada yang kurang ketika Chrisye menangis di dalam studio rekaman. Untungnya, sutradara Rizal Mantovani bisa memoles adegannya dengan bantuan akting Vino dan Fuad Idris, pemeran Taufiq Ismail, seorang penyair yang menciptakan lirik lagu tersebut.
Sebagai kesimpulan review Chrisye, film ini berhasil menghidupkan sosok legenda musik Chrisye lewat penuturan sang istri, Damayanti. Vino bermain apik dengan memanusiakan Chrisye saat film mulai terlalu memuja. Fibio yang menggugah perasaan.
Diedit oleh Doni Jaelani