Film JomBlo yang tayang di bioskop sekarang adalah remake dari film tahun 2006 yang berjudul Jomblo. Seperti apa filmnya? Simak review Jomblo berikut.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
(Kiri-kanan) Agus, Bimo, Doni, dan Olip.[/caption]
Film JomBlo yang sedang tayang di bioskop sekarang adalah remake dari film tahun 2006 yang berjudul Jomblo. Seperti apa film originalnya? Simak review Jomblo berikut.
Para remaja angkatan 2000-an kemungkinan besar kenal film Jomblo (2006). Film ini cukup populer karena berhasil mengangkat kisah cowok-cowok fakir asmara. Selain itu, ia juga cukup baik dalam membawa rumitnya cinta dan kentalnya persahabatan dalam balutan drama-komedi. [duniaku_baca_juga] Saking populernya film ini, ia sampai dibuatkan serial berjudul
Jomblo The Series yang tayang di RCTI. Film
Jomblo ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Adhitya Mulya yang juga sangat laris di pasaran hingga dicetak berulang-ulang.
Jomblo juga mengorbitkan nama aktor Ringgo Agus Rahman ke dalam pusaran industri hiburan tanah air. Dari film ini, ia meraih nominasi Piala Citra untuk kategori pemeran utama pria di tahun 2006. Nah, sebelum kamu memutuskan untuk nonton
JomBlo di bioskop sekarang, ada baiknya untuk membaca
review Jomblo sebagai film originalnya berikut ini.
Sinopsis Film ini bercerita tentang empat orang cowok jomblo dari sudut pandang Agus (Ringgo Agus Rahman). Selain Agus, tiga cowok yang lain adalah Bimo (Dennis Adhiswara), Doni (Christian Sugiono), dan Olip (Rizky Hanggono). Mereka-mereka ini punya kisah percintaan dan kepribadian yang unik. Agus adalah anak culun berkacamata-bergaya rambut harajuku; Bimo adalah anak
dalem dari Jogja yang sangat
desperate mencari pacar; Doni adalah tipikal pria ganteng, macho, dan
womanizer yang gonta-ganti pasangan seperti ganti baju saja; dan terakhir Olip, perantau dari Aceh yang setia, namun tak punya nyali untuk sekadar kenalan. Persamaannya, mereka adalah sahabat yang sama-sama kuliah di universitas fiktif di Kota Bandung. Mereka juga sama-sama bernasib jomblo, pada awalnya.
Masih Canggung Secara Teknik Film besutan Hanung Bramantyo ini diawali oleh sekuens animasi Agus dkk. yang pergi kuliah dengan menggunakan mobil Jeep milik Doni. Sekuens animasi ini dikerjakan oleh Epix FX Studio. Walaupun kualitas animasinya masih kaku dengan efek suara yang pas-pasan, tetapi sekuens yang diiringi lagu
Sendiri Itu Indah oleh Seurieus ini cukup menarik dan energetik untuk memulai film. Premis cerita yang dibawakan juga lumayan seru: kisah asmara yang unik para cowok jomblo. Kita awalnya dibawa pada solidaritas persahabatan Agus dkk. yang sangat kental lewat sudut pandang Agus sendiri. Agus juga menjadi narator untuk memperkenalkan siapa teman-temannya. Lalu pada akhirnya secara perlahan-lahan, film memasuki mode serius ketika tokoh cewek, Rita (Richa Novisha), Lani (Nadia Saphira), dan Asri (Rianti Cartwright) mengambil peran. Jika berbicara soal teknis, film ini terbilang masih kurang digarap dengan baik. Contohnya saja, sekuens animasi foto album yang menampilkan kebersamaan empat sekawan tadi. Ia terlihat seperti video presentasi organisasi mahasiswa saat merayakan ulang tahun. Pun juga dengan sekuens saat Agus, Doni, dan Olip sedang mengobrol perihal cewek seperti apa yang mereka cari. Sekuens ini penting untuk menceritakan sudut pandang para tokoh dalam melihat hubungan percintaan. Namun, sutradara Hanung Bramantyo dan penata gambar Roy Lolang terlihat bingung untuk mengambil gambar mana selain gambar muka ketiga aktor. Apalagi sekuens ini dibawakan dengan tempo lumayan cepat untuk mempertahankan momentum sejak awal film. Jadilah mereka mengambil gambar rokok di bawah meja.
Film ini menjadi populer berkat keberhasilannya mendekatkan cerita fiksi seperti di dalam film kepada realitas remaja angkatan 2000-an. Simak bagaimana dalam lanjutan review Jomblo di halaman berikutnya.
Kisah yang Dekat Walaupun secara teknis masih kurang, kekuatan utama film
Jomblo ini adalah kisahnya yang dekat dengan remaja. Menonton
Jomblo ini seperti menonton gambaran kehidupan sehari-hari para remaja muda Indonesia.
Ngeceng ke kampus lain sambil melirik-lirik cewek cakep;
ngapel lewat telepon rumah; persahabatan yang kental karena kesamaan nasib; celana
jeans; kaos kekecilan; hingga rambut gaya harajuku seperti Agus. Kisah percintaannya pun juga sangat dekat. Para cowok masih meminta nomor telepon si cewek untuk bisa kenal lebih jauh atau masih menitip surat cinta yang berisi puisi. Selain ceritanya yang dekat, para tokoh dalam film ini juga
relatable dengan nasib umum kisah asmara para remaja. Banyak sekali orang-orang yang nasibnya seperti Olip, tertikung oleh sahabatnya sendiri. Atau seperti Agus yang harus memilih pacar terbaik atau berkomitmen pada pacar yang tidak sempurna. Atau juga seperti Doni,
playboy tobat. Atau justru seperti Bimo, jomblo
forever! Ini yang membuat
Jomblo sangat berkesan bagi remaja Indonesia yang hidup tahun 2000-an. Kedekatan ini membuat penonton tertarik dengan cerita yang disampaikan. Ia juga bisa jadi pelipur lara bagi mereka yang nasibnya serasi dengan tokoh di dalam film. Pun juga bisa bikin orang-orang
ngomong, “Itu gue banget!” Kesan itu kemudian membuat penonton dapat memetik pelajaran tentang kisah cinta dari keempat orang ini. Mereka sejatinya adalah kita dalam cerita fiksi. Kadang-kadang kita berusaha semaksimal mungkin untuk cari pacar, namun apa daya bentukan dan tabiat kita kurang atraktif seperti Bimo. Kadang-kadang juga kita cukup sabar untuk melihat orang yang kita cintai dari jauh, seperti Olip—sebelum
diembat sahabat sendiri. Apresiasi untuk novel Adhitya Mulya dan penulis naskah Salman Aristo yang telah membuat cerita berkesan seperti ini.
Humor yang dibawakan juga cukup efektif untuk memancing tawa. Dennis Adhiswara membawa peran penting sebagai
comic relief. Lewat karakternya, Bimo, ia dalam suatu kesempatan menggaruk-garuk selangkangan saat ngobrol dengan cewek misterius di telepon atau dalam kesempatan lain membawa catatan ke diskotik supaya bisa belajar dari master Doni. Untuk memaksimalkan tema ceritanya yang sangat dekat dengan remaja, film
Jomblo ini juga sering secara frontal mengucap kata-kata kasar dan tabu, seperti ML (
making love) atau memasukkan adegan seperti saat Bimo mengaduk isi celana dalam tadi. Dari departemen akting, Dennis Adhiswara sebagai Bimo adalah yang terbaik. Ia berhasil membawakan persona Bimo sebagai orang Jogja yang polos, pecicilan, dan buta pada apapun yang berhubungan dengan cinta. Mirip dengan perannya sebagai Mamet dalam
Ada Apa dengan Cinta (2002). Atas usahanya itu, ia masuk dalam nominasi Piala Citra kategori pemeran pembantu terbaik tahun 2006 walaupun akhirnya kalah oleh aktor senior El Manik. Selain itu, Ringgo Agus Rahman juga bermain cukup oke, mengingat film ini adalah debutnya. Kemampuannya sebagai pembawa suara narator terdengar sudah terasah dengan baik saat ia masih menjadi penyiar radio OZ Bandung. Suaranya khas dan penekanannya pas, tentunya menjadi beban berat bagi Ge Pamungkas yang menggantikan Agus dalam
remake-nya tahun ini. Lagu pengiring yang dikerjakan oleh Seurieus Band juga
memorable. Poin penting dalam
review Jomblo ini. Lagu-lagu seperti
BDG 19 OKT dan
Kecuali Dia membawa
Jomblo ke dalam tahap paling melankolis, sekaligus membantu visual menjangkau sanubari penonton.
Walau lelah kucoba; tuk menggapai hatimu; rindu slalu menggangu; tuk selalu dekatmu.
[duniaku_adsense] Namun ada hal terakhir dan penting yang patut disayangkan adalah akhir dari film yang terasa seperti ditinggalkan begitu saja. Barangkali film ini juga bermaksud untuk mengamali kutipan Agus tentang menerima sesuatu apa adanya. Jadi, setelah konflik antarsahabat memuncak, tidak ada resolusi memuaskan yang terjadi di antara mereka. Sangat disayangkan. Pada akhirnya, untuk mengakhiri
review Jomblo ini, sejumlah keberhasilannya ini mengantarkan beban berat bagi
remake-nya, JomBlo (2017) yang sedang tayang di bioskop sekarang, termasuk memorinya yang masih lekat di ingatan. Bagaimana
remake tersebut bisa mengatasi film originalnya? Nantikan dalam
review JomBlo yang akan datang.
Diedit oleh Doni Jaelani