Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Film fiksi-sains Annihilation batal tayang di Indonesia karena pihak studio menganggap film ini terlalu pintar untuk dimengerti penonton awam.
Annihilation sebelumnya direncanakan akan rilis di bioskop internasional, termasuk Indonesia pada 23 Februari mendatang. Film ini menjadi film bergenre fiksi-sains paling ditunggu-tunggu tahun ini.
Annihilation disutradarai oleh Alex Garland, sutradara yang sebelumnya terkenal lewat film indie Ex Machina (2014). Film terbarunya ini—lihat trailer-nya target="_blank" >di sini—bercerita tentang seorang ilmuwan Biologi (diperankan Natalie Portman) yang memasuki sebuah teritori asing bernama ‘X’. Ada sesuatu yang misterius dan sureal di dalam wilayah tersebut yang mengganggu akal sehat.
Paramount, studio di balik film fiksi-sains ini telah mengambil langkah tak biasanya dengan menjual hak rilis internasional film Annihilation kepada Netflix. Itu artinya, Annihilation batal tayang di bioskop-bioskop internasional, termasuk Indonesia. Namun, ia masih dirilis di pasar terbesar film dunia, Amerika Serikat dan Cina.
Ironisnya, Paramount sebelumnya pernah merilis film dengan tema serupa, Arrival tahun 2016 lalu. Arrival menjadi salah satu hits tahun itu bagi Paramount. Pendapatan kasarnya mencapai $203 juta (Rp2.9 triliun) dan berjaya di mata kritikus dengan berhasil menyabet delapan nominasi Oscar, termasuk Best Picture dan Best Director.
Namun, kali ini mereka tampaknya ogah merilis Annihilation di layar lebar. Pergerakan tersebut menunjukkan Paramount sudah memprediksi film ini tak akan mendatangkan banyak uang.
Menurut The Hollywood Reporter, Paramount menjual hak rilis internasionalnya setelah hasil buruk yang didapat test-screening tahun lalu. Menurut mereka, film ini kemungkinan besar ‘terlalu intelektual’ untuk penonton awam.
Film terakhir Garland, Ex Machina pun sebetulnya berhasil meraup untung lumayan saat dirilis 4 tahun lalu. Total sekitar $25 juta (Rp357 miliar) berhasil diraup, bersamaan dengan raihan nominasi Best Original Screenplay di Oscar. Untuk studio indie A24, hasil tersebut cukup banyak, dan menunjukkan Garland siap untuk naik level. Namun, sayangnya, Paramount tampaknya ingin sesuatu yang lebih mainstream.
Lewat penjualan hak rilis dan total pemasukan dari bioskop Amerika dan Cina, Paramount berharap bisa balik modal $55 juta (Rp785 milar) yang dikeluarkan. Namun, jika Annihilation terbukti jadi hit, Paramount pasti kecele.
Upaya Paramount membatalkan menjual hak rilis ini menunjukkan kurangnya kepercayaan mereka kepada para filmmaker yang mereka rekrut sendiri. Seperti dilansir dari The Hollywood Reporter, salah satu ahli keuangan studio, David Ellison berselisih paham dengan Garland dan produser Scott Rudin tentang pergantian ending film. Dalam perjanjian awal, Rudin punya hak tunggal untuk menentukan hasil akhir film. Ia memberi hak tersebut pada Garland, dan Garland menolak untuk menggantinya.
Garland mengaku kecewa sekali dengan Annihilation batal tayang di layar lebar di seluruh dunia, termasuk negeri asalnya, Inggris. “Kami membikin film untuk bioskop. Aku enggak masalah dengan layar mini, cuma menurutku dan orang-orang yang membikinnya, film kami ini dibuat untuk ditonton di layar lebar,” ujarnya kepada Collider
Perselisihan paham antara pihak studio (komersil) dan filmmaker (artistik) sebenarnya sudah terjadi berulang kali dalam industri Hollywood. Dalam pembuatan film Ant-Man (2015), Marvel merekrut Edgar Wright sebelum mereka berpisah karena “perbedaan visi”.
Diedit oleh Doni Jaelani