Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Three Billboards Outside Ebbing, Missouri menyajikan sebuah tontonan drama komedi hitam yang luar biasa pahit, pekat, dan mampu mengusik hati dan pikiran penonton.
Nama Martin McDonagh memang cenderung masih baru di dunia perfilman Hollywood, namun talenta dramawan, penulis skenario sekaligus sutradara film berkebangsaan Inggris dan Irlandia ini sudah tak perlu diragukan lagi.
Sebelum hijrah ke dunia layar perak, McDonagh meniti karier sebagai pengarang sandiwara yang sangat sukses, berhasil memenangkan banyak penghargaan bergengsi seperti Laurence Olivier Award, Drama Desk Award, serta empat kali mendapatkan nominasi Tony Awards -semacam Oscar untuk pertunjukan teater-, ia kemudian mulai mendapatkan perhatian khalayak internasional setelah film pendeknya yang berjudul Six Shooter berhasil memenangkan piala Oscar untuk kategori Film Pendek Terpuji tahun 2005 lalu.
McDonagh kemudian melakukan gebrakan pertamanya ke dalam ranah film berdurasi panjang dengan drama komedi hitam In Bruges (2008) yang dibintangi oleh Colin Farrell -yang memenangkan piala Golden Globe kategori Aktor Terpuji di film ini- dan aktor senior Brendan Glesson yang sebelumnya pernah berkolaborasi dalam film pendek Six Shooter.
Tak hanya sukses secara finansial, In Bruges menjadi sebuah cult classic berkat dialog-dialognya yang cerdas serta humor-humor gelap yang mengundang gelak tawa ironis, sesuatu yang menjadi ciri khas karya McDonagh dari kariernya sebagai dramawan. Kesuksesan yang sama juga terulang dalam film Seven Psychopaths (2012); film layar lebar sekaligus kolaborasi kedua dirinya bersama Colin Farrell.
Absen lima tahun sejak Seven Psychopaths, McDonagh kembali membuat kehebohan di kalangan penggemar film dan kritikus lewat drama komedi hitam Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017), yang sukses besar baik secara finansial maupun tanggapan dari kritikus, berhasil mendapatkan berbagai penghargaan, termasuk nominasi Film dan Skenario Orisinal Terpuji di perhelatan Oscar 2018 yang diadakan awal bulan ini.
Benarkah Three Billboards se-istimewa yang orang-orang dan kritikus katakan? Mari kita simak ulasannya!
P.S.: Dikarenakan beberapa plot point dalam film ini harus ditelaah lebih dalam lagi agar ulasannya maksimal, ulasan ini tidak bebas dari spoiler.
Tiga Papan Reklame Pembawa Malapetaka
Three Billboards Outside Ebbing, Missouri mengisahkan tentang seorang wanita bernama Mildred Hayes (Francis McDormand); yang hidupnya berubah menjadi penuh kesedihan setelah putrinya ditemukan tewas dalam kondisi yang sangat mengenaskan, di mana gadis malang tersebut diperkosa saat sekarat dan kemudian tubuhnya dibakar hingga hangus.
Delapan bulan telah berlalu sejak tragedi tersebut dan masih belum ada tanda-tanda kasusnya menemui titik terang. Merasa tidak puas dengan kinerja kepala polisi Kota Ebbing; Bill Willoughby (Woody Harrelson) yang Mildred anggap tidak becus dalam melakukan penyelidikan, sang ibu yang berduka tersebut kemudian menyewa tiga papan reklame yang ia isi dengan kata-kata celaan kepada sang Kapol, sebagai tanda protesnya terhadap kepolisian Ebbing yang menangani kasus putrinya dengan setengah hati.
Selain menghadapi protes dan amarah dari petugas-petugas polisi di kota Ebbing, Mildred juga harus menghadapi celaan dari masyarakat kota kecil di negara bagian Missouri tersebut yang cenderung memihak pada Willoughby. Tanpa Mildred sadari, tiga papan reklame yang ia pasang di pinggiran kota tersebut akan memicu rentetan tragedi yang tidak hanya akan mengubah hidupnya, namun juga hidup orang-orang di sekitarnya, baik yang ia sayangi maupun benci.
Inilah kisah tentang duka, murka, dan usaha penebusan dosa yang dimulai dari munculnya tiga papan reklame di pinggiran kota Ebbing, negara bagian Missouri.
Simak ulasannya di halaman kedua!
Tragikomedi yang Mengusik dan Menojok Hati
Pertama-tama, mari kita perjelas dulu bahwa meskipun Three Billboards memiliki kisah yang digerakkan lewat sebuah kasus pembunuhan, film ini bukanlah kisah procedural crime seperti L.A. Confidential, CSI: Crime Scene Investigation, atau True Detective (juga dibintangi oleh Woody Harrelson). Jadi kalian tidak akan melihat adegan detektif dan polisi berjalan-jalan menginterogasi saksi atau tersangka, tidak, Three Billboards bukanlah film yang seperti itu.
Sejatinya, film ini adalah sebuah kritik dan komentar terhadap kondisi sosio-politik masyarakat modern khususnya di Amerika sana, dibalut dalam sebuah komedi hitam yang penuh dengan adegan-adegan yang akan membuatmu tertawa, terhentak, terkesima, dan termenung. Meskipun kental dengan elemen komedi, Three Billboards digarap McDonagh dengan penuh senstivitas terhadap subjek permasalahannya yang cenderung berat, tak pernah terasa eksploitatif atau menyinggung.
McDonagh membuktikan kepiawaiannya dalam membangun alur yang ia rancang bak sebuah domino, di mana adegan-adegan dan dialog di yang sekilas hanya berupa pelengkap bisa menjadi kunci atau pelatuk untuk konflik-konflik selanjutnya.
Pembangunan konflik film ini bagaikan amarah yang terpendam, di mana ia perlahan-lahan menumpuk sedikit demi sedikit, hingga tak ada lagi kuasa yang bisa menahannya dan siap meledak kapan saja. Kala ia akhirnya meledak, bersiaplah untuk menyaksikan adegan-adegan yang kasar dan luar biasa brutal, terkadang secara ironis diiringi dengan musik-musik country syahdu yang akan membuatmu tertawa pahit.
Meskipun tanpa plot twist ala film-film misteri detektif, McDonagh cukup cerdas dalam membuat kisah dan karakter dalam film ini sulit untuk ditebak dan tetap menarik untuk ditonton hingga akhir. Bila kalian sudah melihat trailer atau mebaca sinopsisnya, sekilas karakter-karakter di Three Billboards ini jatuh ke dalam stereotype tokoh-tokoh drama kelas menengah Amerika.
Ada tokoh "pahlawan" yang sepertinya mewakili penonton dan ada tokoh yang sepertinya tampak bengis dan antagonistis, namun McDonagh tidak sesederhana itu. Ia dengan cerdasnya mengelabui dan menghancurkan asumsi penonton seiring alurnya berjalan menit demi menit, membodoh-bodohi dan memberi jari tengah kepada penonton, dalam artian baik tentunya.
Sejatinya tidak ada tokoh yang benar-benar baik maupun jahat di dalam Three Billboards, mereka bukanlah karikatur yang mewakili idealisme hitam-putih, namun mereka sangat realistis dan manusiawi, dalam artian tidak serta merta bila mereka adalah orang "baik" bukan berarti mereka tak bisa berbuat keji pula. Keabu-abuan tiap tokoh di film ini yang membuat begitu menonjok, bagaikan refleksi sikap kita di kehidupan sehari-sehari, membuat kita bisa terhubung dengan karakter-karakter di Three Billboards.
Frances McDormand menyalurkan persona pemberontak bak Charles Bronson dan John Wayne lewat karakter Mildred-nya yang tak hanya penuh amarah namun juga manusiawi. Begitu pula dengan Sam Rockwell yang memerankan tokoh Dixon si redneck rasis, boleh-boleh saja kita geram dengan tindakannya, namun saat diperlukan, Rockwell juga bisa dengan ajaib membuat sang tokoh menjadi lebih simpatik, namun tergantung pada bagaimana kalian mencerna kisahnya.
Bila kalian sering memperhatikan sepak terjang Three Billboards di dunia maya, pasti setidaknya pernah sekilas membaca mengenai kontroversi film ini. Tanpa terlalu mengorek spoiler lebih dalam, yang diperdebatkan adalah kurang sensitifnya McDonagh dalam menangani resolusi salah satu konflik dalam film ini yang berpusat pada Dixon yang penuh murka, kasar, dan rasis, subjek permasalahan yang sangat sensitif di dunia saat ini.
Menurut pihak yang menentang, kisah penebusan sang tokoh terasa terlalu absurd dan kurang matang, terkesan menyepelekan dosa-dosa yang ia lakukan sebelumnya, tapi sebenarnya inti dari perjalanan kisahnya tidak sedangkal itu. Bila ditonton berulang kali, tema yang paling dominan di Three Billboards adalah tentang orang-orang yang melakukan kesalahan kala mereka kehilangan kendali akan amarahnya, kemudian mengakui kesalahan tersebut, dan berusaha menebusnya, dengan penekanan pada kata berusaha.
Nyaris semua -atau mungkin semua- tokoh di Three Billboards pernah melakukan tindakan yang secara moral patut dipertanyakan kala mereka marah, bahkan Mildred sang protagonis sekalipun. Menjelang akhir film, Dixon terkesan berubah haluan menjadi lebih simpatik, namun bila menelaah ending filmnya, kisah Dixon masih jauh dari kategori kisah penebusan mutlak, ada potensi bahwa usaha penebusan yang akan ia lakukan malah bisa memperdalam masalah.
Mildred pun sama saja, bahkan bisa dibilang ia adalah karakter dengan tingkah laku paling brutal yang didasari oleh amarahnya yang terpendam, namun menjelang akhir ia juga sadar akan perbuatannya dan berusaha mencari cara untuk menebus tindakannya itu.
Baik Mildred dan Dixon -protagonis dan deuteragonis film ini- memiliki masalah yang sama. Bak manusia biasa, terkadang kita juga pernah kehilangan kendali saat kita marah dan berbuat kasar, yang kemudian kita sadari bahwa itu adalah hal yang salah dan berusaha untuk menebus kesalahan tersebut, tapi mana tahu usaha penebusan kita malah berujung memanjangkan masalah, bukan?
Seperti yang penulis katakan sebelumnya, tokoh-tokoh di Three Billboards bukanlah karikatur, melainkan cerminan sifat dan tindakan kita sehari-hari. Film ini tak pernah takut untuk secara blak-blakan menampar penontonnya dengan kenyataan pahit bahwa hidup tidak serta merta isinya hitam-putih belaka, namun juga penuh dengan ambiguitas.
Three Billboards adalah sebuah tontonan komedi hitam yang luar biasa pekat dan pahit bak kopi tanpa gula, begitu pahit sampai kita hanya bisa tertawa ironis melihat konyol dan naasnya nasib tokoh-tokoh di dalam film ini, karena bila ditelaah lebih dalam lagi, humor untuk orang lain adalah tragedi bagi seseorang.
Tapi siapa tahu, kalau yang sebenarnya sedang kita tertawakan adalah cerminan dari diri kita sendiri? Bahwa sebenarnya kita sedang menertawakan nasib kita sendiri?
Verdict
Three Billboards Outside Ebbing, Missouri bukanlah tontonan yang ringan. Tidak membutuhkan konsentrasi ekstra untuk menontonnya, tapi tema-tema yang dibawakannya sangat sensitif dan bisa dicerna dengan cara yang berbeda bagi tiap orang.
Tentu saja ulasan ini tidak mencerminkan opini semua orang melainkan hanyalah opini dari penulis seusai menontonnya. Namun itulah ciri-ciri sebuah karya sinema yang bagus, di mana ia bisa menghibur kala disaksikan, namun akan terus melekat di pikiran dan membuat kita merenung lama setelah ia berakhir.
Diedit oleh Doni Jaelani