Joko Anwar di konferensi pers trailer resmi Pengepungan di Bukit Duri. Fotografer: Fahrul Nurullah. (Duniaku.com/Fahrul Nurullah)
Kamu mungkin tahu kalau Pengepungan di Bukit Duri ini sebenarnya naskahnya sudah dicoba susun Joko Anwar sejak 2007?
Apakah isinya masih relevan?
Salah satu hal menarik yang diungkap Joko Anwar adalah begini. Joko Anwar berpendapat bahwa seorang pembuat film adalah sosok yang memiliki privilige yang sangat besar, karena ketika dia bekerja, hasil kerjanya itu punya impact yang besar dan potensi besar untuk berbuat sesuatu untuk kita, dimanapun kita berada.
Dia juga percaya bahwa jika kita membuat film berdasarkan kegelisahan kita sebagai orang yang tinggal di Indonesia, paling tidak hasilnya nanti bisa jadi pemicu diskusi bahwa ada yang salah.
Joko Anwar menyorot bahwa kegelisahan paling besar yang kita alami sekarang di Indonesia adalah ketiakadaannya keteladanan dari yang seharusnya jadi teladan.
Nah, Joko Anwar juga mengungkap kegelisahannya soal satu sosok yang seharusnya jadi teladan, pengasuh kita, yaitu guru. Namun apresiasi terhadap profesi guru sangat rendah di Indonesia.
"Jadi tadinya yang saya berharap tahun 2007 script ini saya bikin terus saya berharap, 'kayanya isu ini gak bakal ada lagi di Indonesia,' gitu," demikian Joko Anwar menyampaikan.
Namun nyatanya isu itu malah tetap ada, dengan masih ada masalah seperti anggaran buat guru dipotong.
"Jadi kaya, oh, masalah-masalah ini tetap ada sehingga akhirnya film ini kita filmkan."
Apa itu berarti filmnya berat?
Joko Anwar sih berharap dia tidak ingin film ini jadi isu, dia tidak ingin orang nonton dan merasa filmnya terlalu berat, jadi filmya dirangkai sedemikian rupa menjadi satu cerita yang enak diikuti.
Penonton akan mengikuti beberapa karakter dan sifat filmnya tidak menggurui, dan juga tidak untuk memberi jawaban, "Karena kita gak tau jawabanya apa."
Yang dilakukan Joko Anwar adalah menggulirkan sebuah pemicu, sehingga apa yang ada dalam cerita ini bisa jadi bahan diskusi.