Eren Yeager (dok. Wit Studio/Attack on Titan)
Awal cerita:
Eren Yeager diperkenalkan sebagai anak biasa yang hidup damai di balik Tembok, hingga ibunya dimangsa Titan di depan matanya. Tragedi itu menanamkan kebencian mendalam terhadap Titan dan tekad sederhana: membasmi mereka semua. Pada titik ini, Eren tampak seperti protagonis shonen klasik yang didorong oleh trauma dan amarah.
Namun segalanya berubah saat Eren hampir mati dimangsa Titan dan justru bangkit sebagai Titan Shifter. Ia menjadi “senjata manusia” dan simbol harapan umat manusia untuk melawan tirani para Titan di luar Tembok.
Akhir cerita:
Seiring terungkapnya kebenaran, posisi Eren berubah secara radikal. Campur tangan Grisha Yeager membuat Eren sejak awal mewarisi Attack Titan, Titan unik yang mampu mewariskan memori dari masa depan. Tidak hanya itu, Eren juga memiliki Founding Titan setelah Grisha memangsa Frieda Reiss, pemilik kekuatan Founding sebelumnya, lalu diwariskan kepada Eren.
Yang lebih mengganggu, Eren masa depan ternyata mampu memengaruhi masa lalu melalui aliran memori ini. Bahkan terungkap bahwa ia secara sadar membiarkan ibunya dimangsa oleh Smiling Titan, karena jika peristiwa itu tidak terjadi, sejarah akan menyimpang dari jalur yang mengarah ke hasil yang ia pilih.
Masalahnya (atau justru keunikannya):
Dalam kasus Eren, lonjakan kekuatan yang terasa “absurd” ini memiliki konteks yang berbeda. Isayama Hajime tampak menanamkan fondasinya sejak awal cerita, mulai dari misteri mengapa Eren bisa menjadi Titan Shifter, hingga adegan di bab pertama saat Eren kecil bermimpi melihat Mikasa berkata, “Sampai jumpa lagi, Eren,” lalu ketika ia ingin jalan bersama Mikasa setelah terbangun ia menangis tanpa alasan.
Jika dihubungkan dengan nasib Eren di masa depan, adegan ini membentuk sebuah loop naratif yang konsisten dan menarik.
Isayama seolah bermain dengan pola shonen tentang tokoh utama yang ternyata menyimpan kekuatan luar biasa, namun membelokkannya secara ekstrem. Kekuatan itu tidak mengantarkan Eren menjadi penyelamat dunia, melainkan menjadi penyebab kehancuran, hingga sekitar 80% populasi dunia musnah akibat pilihannya.
Di sinilah Eren berbeda. Ia bukan sekadar contoh privilege stacking dalam shonen, melainkan dekonstruksi brutal atasnya: ketika tokoh utama akhirnya memiliki kuasa hampir absolut, dunia justru tidak diselamatkan, melainkan dikorbankan demi sahabat-sahabatnya.