Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sebuah pengetahuan umum di kalangan penggemar anime adalah bahwa musim semi dan musim gugur adalah musim di mana anime-anime bagus bermunculan. Hal demikian ada benarnya, karena anime produksi budget tinggi cenderung dikeluarkan pada musim semi atau musim gugur, di mana pada musim panas dan musim dingin anime yang dikeluarkan cenderung hanya sebagai pengisi.
Namun tidak seperti musim semi lalu di mana banyak karya-karya orisinil bagus seperti Tiger and Bunny dan Hanasaku Iroha, pertengahan pertama musim ini terkesan agak mengecewakan dengan karya-karya terbaik merupakan hasil adaptasi seperti Fate/Zero dan Persona 4 The Animation. Semoga saja pertengahan kedua nanti akan lebih baik.
Fate/Zero
Fate/Zero merupakan adaptasi dari novel yang merupakan prekuel dari visual novel Fate/stay night. Meskipun tidak wajib untuk mengerti prekuel ini, banyak poin yang memberikan spoilers bagi Fate/stay night dan banyak poin juga yang baru mendapatkan makna lebih setelah mengerti apa yang akan terjadi di sekuelnya.
Fate/Zero sendiri mengambil setting 10 tahun sebelum Fate/stay night, pada Holy Grail War sebelum Fate/stay night. Tokoh utama di sini adalah Emiya Kiritsugu, ayah angkat Emiya Shiro yang menjadi tokoh utama Fate/stay night. Holy Grail War sendiri adalah perang di mana 7 Master memanggil 7 Servant, roh pahlawan legenda dalam memperebutkan Holy Grail yang dikatakan akan mengabulkan satu permintaan apapun. Episode pertama kebanyakan menceritakan latar belakang dan motivasi ketujuh Master tersebut.
Hasilnya membuat episode pertama yang berlangsung 47 menit ini kebanyakan berisi narasi mengenai latar belakang dunia dan para karakter, membuatnya terkesan membosankan dan bertele-tele. Hal ini juga dikarenakan meski didukung background art yang indah, animasi para karakternya pun terkesan kurang. Untungnya episode kedua meninggalkan itu, dan mulai fokus kepada interaksi para Master dengan Servant-nya. Memang di sinilah kemenarikan utama seri Fate, yaitu penggunaan tokoh legenda dan legenda mereka, ditambah lagi interaksinya dengan para Master yang memiliki motivasinya masing-masing dan tidak ada yang merupakan remaja naif seperti di Fate/stay night, seperti Kiritsugu dan Saber (Arthur) yang bentrok karena meskipun tujuan mereka sama metode mereka berbeda, atau Rider (Alexander) yang langsung memikirkan bagaimana dia bisa menguasai kembali dunia. Animasinya pun terlihat membaik begitu masuk adegan pertarungan, seperti saat Archer melawan Assassin di akhir episode 2.
Walaupun bagi pendatang baru lebih direkomendasikan untuk membaca visual novel Fate/stay night terlebih dahulu, Fate/Zero tetap dapat direkomendasikan bagi siapapun yang menemukan konsepnya menarik.
Persona 4 The Animation
Persona 4 merupakan salah satu RPG favorit para penggemar RPG, tidak terkecuali di Indonesia (berkat tempatnya di PS2). Tidak mengherankan bahwa versi animasinya ini sangat ditunggu.
Ingat saat Persona Trinity Soul keluar dan semua orang kecewa bukan adaptasi dari Persona 3? Jangan khawatir karena Persona 4 The Animation merupakan adaptasi sempurna dari gamenya.
Dimulai dari ‘pertemuan’ dengan Igor dan Margaret di Velvet Room, perpindahan ke kota kecil yang lengang, pertemuan pertama dengan Nanako dan Dojima, salam dengan petugas pengisi bensin, pertemuan pertama dengan Yukiko, Chie, dan Yosuke, kepasifan protagonis yang dinamai Yu Narukami dalam pembicaraan, petualangan pertama ke dalam dunia dalam TV, dan pemanggilan Persona Izanagi pertama kali. Bahkan sampai jendela pergantian hari, status protagonis, dan cut-in dari gamenya digunakan juga di sini. Tentu semuanya dengan iringan musik dari Shoji Meguro.
Bagaimana dengan mereka yang belum memainkan gamenya? Sebagai orang yang memainkan gamenya 3 kali, saya tidak bisa menangkap perspektif itu. Namun menurut hemat saya, Persona 4 The Animation lebih berfungsi sebagai perjalanan nostalgia bagi para pemain gamenya daripada sebuah cerita yang berdiri sendiri.
Boku ha Tomodachi ga Sukunai
Banyak anime yang paling populer di kalangan otaku merupakan penggabungan antara ide yang bagus dan ‘fanservice’ bagi otaku. Anime yang dijamin akan sangat populer di kalangan otaku ini, Boku wa Tomodachi ga Sukunai adalah salah satunya.
Setelah opening yang fanservice murni, cerita dimulai dengan Hasegawa Kodaka, seorang remaja kelas 2 SMA yang tidak memiliki teman karena kesalahpahaman di hari pertamanya masuk sekolah. Dia bertemu dengan Mikazuki Yozora, gadis pendiam yang ternyata menciptakan teman khayalan karena dia juga tidak memiliki teman. Mereka berdua akhirnya menciptakan klub di mana tujuannya adalah berteman. Mengejutkan bagi mereka berdua, anggota baru pertama mereka adalah Hasegawa Sena yang merupakan gadis paling popler di sekolah.
Mereka yang terkucilkan di sekolah merupakan sesuatu yang sering pada anime dan manga, namun pelaksanaan ide tersebut di sini membuatnya menarik kembali. Kesendirian para tokoh di sini terasa tidak terkesan dibuat-buat. Kodaka merasa tidak berdaya akan situasinya, Yozora sadar akan ilusi teman khayalannya namun terlalu sinis untuk memulai hubungan baru, dan Sena terlalu sombong untuk menemukan apa yang dia cari sebagai teman. Namun pada saat yang sama saat-saat seperti Yozora dan Sena bertengkar masalah ukuran bagian tubuh dan bahwa prospek ke depan menunjukkan selain Kodaka anggota lain semuanya perempuan mengingatkan kembali sisi ‘fanservice’ otaku. Konsep penggabungan ide bagus dan ‘fanservice’ ini bisa dibandingkan dengan Oreimo dan idenya mengenai hubungan kakak-adik, juga dengan Denpa Onna to Seishun Otoko dan idenya mengenai gangguan jiwa. Tak kebetulan, semuanya merupakan adaptasi dari light novel populer, studio AIC Build yang mengerjakan Boku wa Tomodachi ga Sukunai juga mengerjakan Oreimo, dan desainer karakter Denpa Onna to Seishun Otoko, Buriki, juga mengerjakan desain karakter Boku wa Tomodachi ga Sukunai.
Hasilnya adalah sesuatu yang menarik namun sulit untuk direkomendasikan bagi mereka yang bukan otaku.
Hunter X Hunter
Beberapa orang yang menjadi fans anime di tahun 90-an pasti mengenal Hunter X Hunter. Anime tersebut sempat sangat populer, namun jadwal irreguler manga-nya membuat adaptasi anime Hunter X Hunter juga irreguler, di mana setelah seri pertama seri berikutnya dilanjutkan dalam bentuk OVA yang kurang memiliki gaung. Dan sekarang Hunter X Hunter dianimasikan kembali... dari awal.
Premis Hunter X Hunter tidak bisa dibilang sangat kreatif. Dasarnya hanya merupakan konsep standar Shonen Jump di mana seorang pemuda (Gon) tertarik menjadi petualang/pemburu harta (Hunter), dan dimulai dengan bertemu beberapa orang unik namun berbakat yang menjadi teman (Leorio dan Kurapica). Namun formula semacam itu diulang karena formula demikian memang menarik, dan Hunter X Hunter menunjukkan bahwa dengan eksekusi yang bagus, formula tersebut bisa tetap menarik, apalagi didukung dengan produksi solid dari studio Madhouse yang melebihi standar anime shonen panjang pada umumnya.
Mereka yang sudah mengikuti Hunter X Hunter sebelumnya akan menemukan tempo dipercepat di sini, 1 episode pertama di adaptasi baru ini memuat 3 episode pertama dari adaptasi pertama. Apakah ini hal baik atau buruk dapat dinilai sendiri.
Phi-Brain
Dikatakan manusia hanya memakai sebagian kecil dari otak mereka. Meskipun itu lebih merupakan sebuah mitos daripada fakta, tidak bisa dipungkiri bahwa orang tertarik kepada ide bahwa jika mereka bisa menggunakan seluruh potensi otak mereka, mereka bisa menjadi jauh lebih hebat, seperti di film Limitless. Namun bagaimana jika orang yang sudah hebat menjadi lebih hebat lagi?
Itulah episode pertama dari Phi-Brain, di mana Daimon Kaito, seorang remaja yang begitu hebat dalam puzzle. Suatu hari dia menemukan alat elektronik aneh yang membuatnya memecahkan puzzle satu demi satu, sampai dia menemukan surat tantangan dari grup yang menyebut dirinya Minotaur untuk bermain puzzle dengan taruhan nyawa. Begitu Kaito menerima tantangan tersebut dan memecahkan puzzle labirin, dia menemukan gelang yang memberikannya kekuatan untuk menggunakan kapasitas otaknya secara penuh. Dia pun harus kembali memecahkan puzzle berikutnya dengan taruhan nyawa.
Apakah puzzle sesuatu yang serius? Tidak ada yang akan mengatakan itu di dunia ini. Namun tidak di dunia Phi-Brain, di mana semua orang terobsesi denga puzzle. Klub puzzle adalah klub paling prestisius di sekolah, dan pemecah puzzle terbaik menjadi artis paling populer. Hasilnya adalah sesuatu yang lucu akibat keseriusannya. Dialog yang paling menggambarkan ini adalah ketika flashback yang menjelaskan kenapa Daimon begitu serius dan hebat dalam memecahkan puzzle: Siluet seseorang mengatakan, “Pecahkan puzzle-puzzle yang tidak bahagia ini, pecahkan mereka, bebaskan mereka!”
Didukung dengan produksi yang solid dari studio Sunrise, Phi-Brain terbukti menjadi tontonan ringan yang menghibur.
Chihayafuru
Chihayafuru adalah anime tentang karuta. Saya jamin kebanyakan dari anda tidak pernah mendengar permainan itu sebelumnya. Secara sederhana, karuta merupakan sebuah permainan di mana seseorang membacakan bait pertama sebuah puisi pemainnya menebak dan berlomba mengambil kartu yang berisi bait kedua dari sebuah puisi.
Chihayafuru menceritakan tentang Ayase Chihaya, seorang tomboy dengan wajah cantik yang terobsesi dengan permainan karuta. Setelah bertemu dengan seorang teman masa kecilnya Taichi, cerita kembali ke flashback di mana Chihaya pertama kali tertarik dengan karuta berkat seorang anak bernama Arata yang jenius dalam karuta.
Menggunakan semacam tema unik sebagai cara membedakan diri bukan sesuatu yang asing dalam anime dan manga. Namun sebagai adaptasi dari manga josei (ditujukan bagi perempuan dewasa muda) fokus bukanlah pada permainan karuta itu sendiri, namun pada karakternya.
Dan Morio Asaka, sutradara veteran yang telah membuat Cardcaptor Sakura dan Gunslinger Girl, berhasil menonjolkan kemenarikan esensi para karakternya, dari Chihaya yang tomboy, baik, dan jujur, Taichi yang nakal, dan Arata yang pemalu. Hasil interaksi antara mereka bertiga yang begitu alami menunjukkan bahwa potensi anime ke depannya.
Tamayura~hitotose~
Tamayura dikatakan merupakan “anime penyembuh”, istilah yang dipakai untuk menyebut beberapa karya Junichi Sato yang terkenal lewat versi animasi dari Aria.
Tamayura mengikuti cerita Fu Sawatari, seorang anak perempuan yang kehilangan ayahnya. Kematian ayahnya membuatnya lepas dari fotografi, hobi yang disukainya bersama dengan ayahnya. Namun dengan bantuan dari temannya Chihiro, dia menemukan kembali kesenangannya akan fotografi. Di saat yang sama, dia dan keluarganya pun memutuskan kembali untuk kembali ke kota ayahnya.
Seperti Aria, Sato di sini menggubah sebuah karya yang lembut dan melankolis, dengan tujuan menyadarkan kita akan keindahan kehidupan. Elemen-elemennya berhasil, musik dan atmosfernya terasa lembut dan indah, tempo tidak terkesan membosankan, dan para karakternya menarik. Namun sesuatu terasa kurang dibanding Aria. Mungkin karena setting Aria yang fantasi membuatnya kelembutan dan kemanisan tidak terkesan aneh, berbeda dengan Tamayura yang mengambil setting di dunia nyata di mana kelembutannya terasa sentimentil dan kurang nyata. Meskipun begitu, anime ini tetap cukup berhasil dalam memberikan perasaan yang ditujukan tersebut.
Kyoukai Senjou no Horizon
Seseorang sepertinya percaya bahwa kunci termudah sebuah karya sukses adalah dengan menggabungkan semua genre yang populer menjadi sebuah cerita yang kacau. Coba saja berusaha untuk mengerti baca usaha saya untuk membuat sinopsis episode pertama ini:
Di masa depan yang jauh, satu-satunya tanah yang bisa dihidupi adalah Jepang. Jepang pun dibagi menjadi daerah-daerah feodal, dan berdasarkan sebuah ramalan sejarah dunia dan Jepang diulang kembali dalam masa depan ini. Para tokoh utama di sini adalah sekelompok murid sekolah, yang satu lebih aneh dari yang lainnya, dari penyihir, ninja, incubus, sampai separuh naga, di mana separuh cewenya memiliki ukuran dada lebih besar dari kepalanya. Episode pertama dimulai dengan pelajaran kelas mereka, yaitu sebuah lomba kejar-mengejar dengan guru mereka. Barulah setelah kelas selesai sang tokoh utama datang, dan dia mendeklarasikan bahwa dia akan melamar Horizon, gadis yang telah meninggal 10 tahun yang lalu.
Kyoukai Senjou no Horizon tidak bisa dibilang klise, namun usahanya untuk kreatif dengan mencampurkan aksi, science fiction, pseudo-sihir, fanservice, dan lain sebagainya membuatnya kacau. Setting yang mungkin bisa menarik diceritakan dengan teknik infodump, karakter-karakternya meski unik terlalu banyak dan dengan elemen fanservice otaku yang berlebihan. Sebagai adaptasi light novel, Kyoukai Senjou no Horizon bisa dibandingkan dengan Infinite Stratos, konsep tinggi dengan eksekusi kacau yang digabung dengan fanservice otaku yang berlebihan.
Kimi to Boku
Season anime tidak akan lengkap tanpa sebuah anime slice-of-life mengenai kehidupan sehari0hari sekelompok anak sekolah yang biasa saja.
Bedanya, kali ini bukan sekelompok cewek, tapi sekelompok cowok. Shun yang feminim, si kembar Yuki dan Yuta, dan Kaname yang serius. Mereka sudah berteman sejak kecil. Di luar satu perbedaan itu, anime ini tidak ada bedanya dengan anime sejenis. Yang terjadi di episode pertama hanyalah bagaimana sekelompok teman ini membahas bagaimana membuat Yuki yang apatis bergabung dengan sebuah klub, sambil bernostalgia tentang masa lalu.
Di model cerita di mana tidak ada sesuatu yang serius terjadi seperti ini, kuncinya adalah di kemenarikan para karakternya dan kekuatan dialognya. Keduanya tidak berhasil dicapai oleh anime ini. Keempat cowok ini tidak terkesan lebih dari satu kata yang mendeskprisikan pribadinya, dan percakapan mereka tidak terasa sebagai percakapan yang alami bagi sekelompok cowok, mungkin karena percakapan semacam itu sering digunakan oleh sekelompok cewek yang biasa terdapat pada genre ini.
C³
Season anime juga tidak akan lengkap tanpa sebuah komedi romantis yang klise.
Jadi di sini seorang remaja laki-laki, Haruaki, yang hidup sendiri menemukan bahwa ayahnya sang petualang mengirimkannya sebuah kotak terkutuk. Namun ternyata kotak tersebut mampu berubah menjadi seorang gadis manis yang menamai dirinya Fear. Setelah beberapa pembicaraan, mereka pun hidup bersama.
Apa yang terjadi di episode pertama ini adalah kumpulan klise komedi romantis: sikap “tsundere” Fear, ketidakmampuan Fear melakukan pekerjaan rumah, Haruaki yang terlalu baik dalam meyikapi hal tersebut, pertengkaran Fear dengan teman masa kecil Haruaki.
Episode diakhiri dengan petunjuk bahwa cerita akan bergulir ke arah yang lebih gelap. Namun melihat tumpukan klise dan kedataran episode pertama ini, tidak memberikan janji apapun bahwa anime ini akan membaik.