TUTUP

Kok Terlalu Serius? Review Film: Inuyashiki

Jangan omongin sama atau enggak dengan komiknya dulu, karena film itu medium yang beda!

Satu lagi film live action yang diangkat dari dunia anime kembali mewarnai tahun ini, tapi bagaimanakah dengan sinopsis dan impresi akan film ini? Simak ulasan dari film Inuyashiki di sini! Inuyashiki adalah serial manga karangan Hiroya Oku yang terkenal dengan serial Gantz. Kali ini ia mencoba sebuah konsep superhero yang menurutnya unik dengan menggunakan orang tua sebagai tokoh utamanya. Tentunya, hal ini tidak asing bagi kamu yang sering membaca komik superhero, tetapi tidak dengan manga bertemakan superhero! Ketika konsep tersebut sukses sampai di masa kini Inuyashiki menerima adaptasi anime dan film layar lebar live action, tampaknya Hiroya Oku tidak akan kapok untuk mengulangi kisah yang sama. Masalahnya, film yang dibesut oleh sutradara Shinsuke Sato ini memiliki banyak ketimpangan dari sumber karya yang lemah pula. Bahkan berbagai macam dekorasi dan pernak-pernik efek visual pun tidak mampu menyelamatkan film ini dari kelemahan vitalnya! Memang, kita akan menyentuh topik itu tidak lama lagi, tapi setidaknya garis besar dari kisahnya di bawah ini bisa kamu pahami lebih dahulu. Suatu ketika, Inuyashiki Ichiro pindah ke rumah baru bersama keluarganya. Istrinya penuntut, anak perempuannya masa bodo, anak laki-lakinya apa lagi. Belum lagi rekan-rekan mudanya yang merendahkan dirinya di kantor, dan baru ditemukan bahwa ia mengidap kanker stadium akhir. Melepas pilu akibat seekor anjing liar yang tidak diterima sang istri, Ichiro kabur ke taman bersama anjing tersebut dan bertemu dengan seorang lelaki. Dari sudut pandang lain, Hiro adalah seorang anak muda penyendiri dengan keluarga yang telah bercerai. Benar, Hiro adalah lelaki yang berpapasan dengan Ichiro itu. Lalu mereka berdua minus sang anjing ditabrak sebuah kapal alien raksasa dan jadi superhero. Atau supervillain kalau fokusnya pindah ke lelaki yang satu lagi. Demikian awal kisah sesosok pria tua renta yang memulai hidupnya kembali sebagai seorang robot canggih! Penasaran dengan apa sebenarnya kelemahan yang dimaksud? Simak kelanjutannya di halaman sebelah! Nah, adaptasi sebuah komik tentu tidak harus menyamai sumber aslinya dalam hal estetika, tapi secara semangat dan nuansa bersama pesan yang patut diangkat tentu adalah jiwa dari komik tersebut yang juga layak disampaikan di dalam sebuah adaptasi. Tapi apa yang terjadi dengan Inuyashiki? Sayangnya, Inuyashiki adalah sebuah komik yang tidak terarah dari awal, bahkan sampai akhir kisahnya yang serba terburu-buru. Yang lebih disayangkan lagi, adaptasi live action Inuyashiki adalah versi lebih buruknya. Pemahaman akan sebuah film bisa kabur dari elemen utamanya begitu efek visual hebat diperkenalkan dengan megah dan heboh tentu saja menyesatkan. Apalagi kalau akting yang kaku bahkan dari Takeru Sato sendiri! Yang membuat tokoh Inuyashiki semakin sulit mengundang simpati ialah peran aktornya yang belum terlalu menjiwai faktor mengenaskan sang bapak. Sayangnya, barangkali yang tepat sasaran dalam hal ini, baik seperti film live action medioker adaptasi-adaptasi anime sebelumnya di Jepang, hanyalah akting dari Hanako. Skrip yang terbang ke segala arah tentu tidak bisa disalahkan juga akibat materinya yang lebih mementingkan aksi cyborg Inuyashiki yang keren, tapi sayangnya kekerenan semata tidak bisa menutupi nuansa sinematografi yang meleset total sampai arahan sutradara Sato dalam nuansa kelam film ini yang sangat tidak perlu sekali. Pada akhirnya, bagaimana dengan nilai terakhir yang layak disematkan untuk film ini? Dan untuk siapakah film ini ditujukan? Temukan jawabannya di halaman terakhir! Efek jet yang dibunyikan kerap kedua cyborg tersebut berjibaku tentu terasa seru di awal, tapi pengulangannya di dalam film yang kehilangan semangatnya ini malah jadi sangat mengganggu! Selain itu, musik yang lagi-lagi kurang inspiratif seolah memanggil kembali bunyi-bunyian kencang tidak perlu di Marvel Avengers pertama. Tentunya, pilihan adegan yang membingungkan juga menjadi masalah utama dari film ini. Motivasi yang dibangun untuk menegaskan tujuan heroik bapak Inuyashiki terlalu lemah dibandingkan komiknya. Dengan berbagai masalah yang sayangnya, hanya dapat dimaafkan dengan penggunaan efek 3D yang maksimal, Inuyashiki versi live action hanya bisa dinilai dengan skor 4/10. Tentu, kalau kamu kesal dengan kisah penutup versi komiknya, barangkali ini film yang cocok untukmu. Tapi kalau berharap film ini akan setidaknya mendekati komik medioker tersebut dalam hal cerita, mungkin lebih baik kita menunggu film Godzilla baru.