Ke-‘Apatis’-an Orang Jepang Untuk Berumah Tangga Mengancam Ekonomi Global
Yang cowok lebih tertarik dengan Waifu. Yang cewek lebih tertarik dengan karir. Tapi apakah sesederhana itu?
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Orang Jepang sangat menolak untuk menjalin asmara. Bahkan media memberi julukan “Sekkusu Shinai Shokogun”, atau “Sindrom Bujangan” karena rating pernikahan dan kelahiran anak yang rendah.
Tapi ada yang sesuatu yang lebih dari sekedar kisah tentang Jepang dan budaya-nya yang unik: sebuah kisah tentang ekonomi global. Jepang adalah negara ekonomi terbesar ke-3 di dunia, link krusial dalam perdagangan global, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi. Jepang memiliki hutang yang besar. Negara bunga sakura ini adalah partner perdagangan U.S., China dan negara-negara lain. Situasi ekonomi Jepang saat ini bisa dibilang sedang dalam masalah serius yang bahkan bisa berpengaruh kepada kita.
Kalian tahu salah satu sumber masalah utamanya? Orang Jepang tidak memiliki cukup anak untuk menopang keuangan yang sehat. Kenapa mereka tidak memiliki cukup anak? Karena mereka tidak lagi tertarik untuk berpacaran atau menikah, begitu pula untuk berhubungan, ehm... seks.
Berikut ini statistik dari Guardian dan juga dari laporan Japan’s Population Center 2011:
- Banyak sekali orang Jepang yang berpikiran bahwa seks tidaklah menarik. 45% wanita dan 25% pria, berumur 16 sampai 24 tahun, tidak tertarik dan bahkan benci dalam kontak seksual.
- Lebih dari setengah orang Jepang single. 49% wanita dan 61% pria yang belum menikah, berumur 18 hingga 34 tahun, tidak sedang menjalin asmara.
- Dalam berbagai rentang grup berdasarkan umur, pria dan wanita Jepang yang tidak sedang menjalin asmara terus meningkat semenjak 1990.
- Sekitar seperempat orang Jepang tidak ingin menjalin hubungan asmara. 23% perempuan dan 27% laki-laki mengatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk menjalin asmara.
- Lebih dari sepertiga orang Jepang berumur produktif (yang saatnya beranak-pinak) tidak pernah melakukan hubungan seks: 39% perempuan dan 36% laki-laki, umur 18 hingga 34 tahun. Jumlah itu tidak banyak berubah dalam dekade terakhir, tetapi sangat tinggi.
- Institut Populasi Jepang memperkirakan wanita berumur 20 tahun awal memiliki kemungkinan 25% tidak akan pernah menikah dan 40% tidak akan pernah memiliki anak.
Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Semenjak 2006, perempuan Jepang banyak yang komplain mengenai “Soshoku Danshi” atau “Laki-Laki Herbivora”, julukan bagi mereka yang hampir tidak tertarik sama sekali dengan lawan jenis (tapi bukan homo lho!). Mungkin hal ini dikarenakan adanya industri di Jepang yang membantu pria yang menghindari kehidupan romantis dan mengatasi rasa kesepian mereka melalui maid-cafe (Baca Juga: Tsundere Maid Cafe: Cocok Buat Kamu Yang Macochist!) atau video game dating-simulation. Masih ingat juga dengan game Summer Lesson? (Baca Selengkapnya: Game Seperti Ini Bisa Bikin Populasi Jombloers Meningkat Pesat!)
Summer Lesson. Game yang bisa bikin punah![/caption]
[read_more link="http://www.duniaku.net/2015/07/01/inilah-5-anggapan-sesat-cewek-jepang-menurut-orang-indonesia/" title="Inilah 5 Anggapan “Sesat” Cewek Jepang Menurut Orang Indonesia!"]
Dilain pihak, wanita Jepang sering menghindari hubungan asmara karena hukum dan norma sosial di Jepang yang membuat mereka sulit untuk menjadi seorang istri dan memiliki karir. Jepang sangatlah unik, mereka memiliki gaya ekonomi Eropa, tetapi moral keluarga sosial Asia Selatan. Wanita karir sering sekali terjebak dalam kontradiksi tersebut. Bukan hanya karena jarangnya tempat penitipan anak, tetapi juga wanita yang telah menikah dan hamil diharapkan untuk berhenti bekerja sehingga mereka mendapatkan tekanan sosial yang berat ketika melakukannya. Bahkan jikapun mereka masih melanjutkan pekerjaan, mereka akan berpikir bahwa mendapatkan kenaikan pangkat sangatlah mustahil.
Karena masalah inilah, banyak wanita yang lebih memilih untuk melanjutkan karirnya daripada berkeluarga. Mereka pesimis tentang pernikahan sehingga menjadi tidak tertarik dalam menjalin asmara, juga berhubungan seks. Grafik dibawah ini menunjukan alasan yang sering digunakan untuk tetap single oleh pria dan wanita Jepang berumur 25 hingga 34 tahun. Bar berwarna merepresentasikan tahun survey, mulai 1987 hingga 2011:
Lalu, apa hubungannya dengan ekonomi global? Well, karena orang Jepang tidak tertarik untuk menjalin hubungan asmara, mereka tidak memiliki anak, yang berarti populasi mereka mulai menurun (terancam punah) –dengan sangat cepat. Tahun 2012 lalu, jumlah populasi Jepang minus 212.000 orang, terbanyak dalam sejarah. Angka kelahiran juga terjun bebas, tahun 2012 lalu hanya 1,03 juta bandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 1,21 juta. Minus 180 ribu!
Berikut ini dua grafik yang menunjukkan penurunan jumlah populasi Jepang mulai tahun 1872 hingga prediksi tahun 2050 nanti.
Sementara dibawah ini adalah persentase perubahan dari tahun 1872 hingga prediksi tahun 2050. Perhatikan bahwa setelah 2010, mereka sudah masuk kedalam zona negatif (minus).
Hal ini berarti Jepang akan memiliki lebih sedikit pekerja yang mana membuat mereka kurang produktif. Ok, mungkin kamu bakalan bilang kalau pekerja bakalan digantikan oleh robot, android atau semacamnya. Jepang ‘kan negara maju?
Nah, kalau begitu pertanyaannya adalah: siapa yang bakalan membayar pajak? Seperti yang kita tahu, orang-orang Jepang kebanyakan memiliki umur yang panjang, dan orang tua di Jepang sangatlah ‘mahal’ –dalam artian biaya untuk merawat mereka. Hal ini dikarenakan mereka sudah terbiasa hidup dalam standar kehidupan dan perawatan medis yang tinggi. Agar ekonomi tetap seimbang, tentu saja dibutuhkan pembayar pajak untuk men-support para pensiunan ini. Nah, populasi Jepang saat ini sedang menurun dan yang hidup sudah mulai menua, yang berarti jumlah orang tua meroket sementara jumlah pemuda yang membayar pajak terjun bebas.
Berikut ini adalah sebuah grafik yang menunjukkan distribusi umur dalam populasi Jepang tahun 1950, 2007 dan perkiraan tahun 2050. Tahun 1950 menunjukkan banyaknya bayi yang lahir, dan banyaknya pemuda-pemudi. Tahun 2007 cukup seimbang: banyak yang pensiun, tetapi banyak juga yang bekerja. Sementara tahun 2050, jumlah pensiunan hampir sama dengan jumlah yang bekerja (dan jumlah kelahiran sangat sedikit).
Sejauh ini, semuanya tampak masih merupakan masalah untuk negara Jepang sendiri. Tapi masalah utamanya adalah: Jepang adalah salah satu negara dengan hutang terbanyak di dunia. Saat ini, kurang lebih Jepang memiliki hutang 200% dari GDP (Gross Domestic Product atau pendapatan nasional) mereka –lebih banyak daripada Yunani. Untuk saat ini tampak tidak apa-apa, asalkan Jepang terus tumbuh, tetapi sepertinya tidak untuk waktu yang lama.
Tahun 2012 lalu, tokoh Ekonomi Peter Boone dan Simon Johnson memperingatkan Jepang (via TheAtlantic) bahwa mereka akan menghadapi kebangkrutan, hilangnya rasa percaya diri, dan mengalami krisis finansial yang lebih besar daripada yang menimpa Eropa. Investor akan mulai melihat penurunan jumlah pajak di Jepang dan mulai mengambil keputusan bahwa hutang Jepang membuat invetasi disana menjadi tidak aman.
Pemerintah Jepang tampaknya sangat menyadari masalah yang dikarenakan rendahnya jumlah kelahiran ini. Program-program nasional mendorong pria dan wanita untuk menikah dan politikus sering memperdebatkan bagaimana caranya untuk meningkatkan angka kelahiran di Jepang. Salah satu legislator, Seiko Noda, sudah mulai mencari solusi untuk masalah ini semenjak 1993. Pada februari, Noda bahkan mengutarakan bahwa untuk menaikkan angka kelahiran di Jepang, maka harus dibuat hukum yang melarang aborsi.
Otaku dan Wibu (Weeaboo) beda lho![/caption]
Indonesia sendiri sebenarnya bisa saja terkena dampak yang serupa. Mengingat meningkatnya jumlah Wibu. Coba saja cari di habitat mereka: media sosial, forum dan website-website lain. Perlu dicatat pula, bahwa Otaku dan Wibu itu berbeda lho! Dalam artian Indonesia, Otaku berarti orang yang mendedikasikan dirinya pada hobi mereka, sementara Wibu adalah orang yang ‘fanatik-super-akut’ dengan budaya Jepang. Menurut saya, kalau Otaku itu masih normal dan memiliki sisi positif sementara Wibu... yah, begitulah. (Baca juga: Wibu Sepertinya Memang Tidak Hidup Dalam Realita).
Credits: Washingtonpost