[Geektopia] Serious Business
Pada Geektopia kali ini, saya akan membahas apakah video game bisa digunakan bukan sebagai media hiburan, tetapi sebagai media ekspresi.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Apakah video game seni? Pertanyaan kontroversial ini menciptakan sentimen negatif terhadap almarhum kritikus film Roger Ebert yang sempat mengatakan tidak. Itu tidak akan saya bahas di sini, namun saya pikir kita semua setuju bahwa video game merupakan sebuah media seni yang valid. Seperti media seni budaya pop lainnya seperti komik atau film, mayoritas menggunakannya sebagai sebuah produk komersil, dengan tujuan menghibur dan mengumpulkan pembaca/penonton sebanyak mungkin. Tapi kita tahu komik atau film lebih dari itu. Umum bagi komik digunakan sebagai media satiris terhadap situasi politik, umum juga bagi film untuk mengangkat isu-isu sosial dengan mendokumentasi ataupun mendramatisir isu tersebut. Namun kedua media tersebut meski masih relatif muda dibanding media seni lainnya (teater, literatur) sudah memiliki sejarah yang lebih panjang dari video game. Apakah video game bisa mengejar mereka?
Terlalu awal untuk menspekulasi demikian. Video game sebagai sebuah media masih mencari pijakan di luar fungsi komersilnya. Infrakstruktur, terutama distribusi video game yang hampir murni komersil baru bergeser akhir-akhir ini setelah revolusi distribusi digital. Dengan bangkitnya developer-developer game indie setelah revolusi tersebut, baru mulai banyak bermunculan ide bagi pembuat game menggunakan game sebagai sebuah media ekspresi.
Sebagai para pelopor, sebagian besar masih meraba-raba bagaimana menggunakan media tersebut. Interaktivitas video game merupakan kelebihan utama media tersebut, tapi bagaimana cara untuk membuat sebuah video game tetap interaktif tanpa mengaburkan pesan yang akan disampaikan?
Keseimbangan antara pesan dan interaktivitas inilah yang menjadi kesulitan utama para pembuat game. Cara paling sederhana adalah menurunkan interaktivitas menjadi begitu minimal pemain tidak memiliki opsi di luar pilihan yang sama saja atau menggerakkan karakter. Actual Sunlight, misalnya, yang menyorot masalah depresi dan bunuh diri. Dibuat dengan RPG Maker, pemain di sini tidak punya banyak opsi selain mengikuti alur yang ditentukan. Atau Dys4ia yang menyorot pengalaman seorang transgender. Meski pesan yang disampaikan menarik, merupakan pertanyaan yang valid apakah video game merupakan media ekspresi yang paling tepat untuk hal tersebut.
Ada juga cara di mana mekanik game hampir terpisah secara total di luar pesan yang disampaikan. Di Papo & Yo, game puzzle pemain mengendalikan seorang bocah yang memiliki teman seorang monster. Monster tersebut umumnya baik, namun jika dia makan katak, dia berubah menjadi monster ganas yang tak segan melukai sang bocah. Jika pemain tahu game ini dibuat oleh seseorang yang memiliki ayah yang pemabuk, tentu jelas metaforanya. Namun meski pesan yang disampaikan menarik, mekanik puzzlenya yang sering gagal membuatnya sulit untuk dimainkan.
Beberapa berhasil menemukan kombinasi yang sesuai untuk ekspresi tersebut. Interaktivitas menjadi senjata utama dalam membuat pemain sadar akan pesan yang disampaikan. Papers Please merupakan contoh yang bagus. Di game ini pemain menjadi petugas perbatasan dengan gaji berdasarkan jumlah orang yang diperiksa. Gaji tersebut digunakan untuk biaya makan, rumah, dan obat-obatan keluarga avatar pemain. Namun jelas banyak masalah yang dijumpai di perbatasan. Tak sedikit yang memalsukan identitas, dan jika tidak memeriksanya dengan teliti akan memberikan denda besar jika ada imigran gelap yang masuk. Pemain pun akan menghadapi kasus yang mengetes moral pemain seperti pasangan suami istri di mana sang istri tidak memiliki dokumen lengkap, atau penyelundup yang menawarkan uang lebih dari denda jika dia dibiarkan masuk.
Seperti juga Cart Life yang mensimulasikan pemain bekerja sebagai pedagang kaki lima atau I Get This Call Everyday yang mensimulasikan pemain sebagai pekerja call center,ini membuktikan simulasi pekerjaan yang bertujuan memberikan pemain game tersebut kesulitan dari sebuah pekerjaan sangat cocok untuk dijadikan video game. Dalam perkembangannya, saya bisa melihat game seperti ini digunakan untuk edukasi dalam memilih pekerjaan.
Namun interaktivitas video game juga menimbulkan konsekuensi lain: Interaktivitas yang tinggi mendorong cara bermain yang personal. Ini membuat pesan yang disampaikan lebih mudah dipersepsikan berbeda-beda pada setiap pemain dibandingkan dengan media lain. Fate of the World, misalnya, di mana pemain bermain sebagai pemimpin organisasi yang bertugas mencegah pemanasan bumi. Pemain akan dibuat bingung oleh keadaan ekonomi-sosial tiap benua yang sangat kompleks, sementara kebijakan yang diambil akan berpengaruh sangat sedikit. Sangat sulit untuk bisa “memenangkan” game ini dan mencegah pemanasan global. Tergantung optimisme dan pesimisme pemain, mudah untuk mempersepsikan pemanasan global sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari seberapapun usaha manusia untuk mencegahnya.
Dan seperti media lain, bisa juga pesan yang disampaikan terlalu gamblang sehingga berkesan berlebihan. McDonalds Video Game misalnya, memposisikan pemain sebagai CEO McDonalds, dan mengharuskan pemain untuk menjadi bos paling tidak bermoral untuk tidak dipecat oleh para pemegang saham. (Developernya, Molle Industria memang senang membuat game satiris dengan isu kontemporer).
Meski tidak selalu berhasil, dari contoh-contoh tersebut video game sudah mulai menunjukkan potensinya sebagai media yang berkembang paling pesat yang mampu digunakan untuk banyak hal. Mungkin kita juga memerlukan video game mengenai korupsi.