Nostalgia Review Nausicaä of the Valley of the Wind — Studio Ghibli pada Mulanya
Nausicaä of the Valley of the Wind ditayangkan ulang di bioskop Indonesia mulai 1 November ini. Siap-siap netes dengerin soundtracknya Om Joe Hisaishi :'(
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Untuk merayakan penayangan kembali film ini sebagai bagian dari acara World of Ghibli Jakarta, Duniaku.net me-review Nausicaä of the Valley of the Wind. Film ini disebut sebagai karya pertama Studio Ghibli sekaligus menjadi penegak ciri khasnya selama lebih dari 30 tahun perjalanan mereka.
Sebelum memulai review Nausicaä berikut, coba dengarkan soundtrack hasil gubahan Joe Hisaishi yang bisa kamu buka via Spotify ini.
https://open.spotify.com/track/5AK182LTjFtk1XiVwWHFdy
Pada 15 Juni 1985, sekumpulan bapak-bapak paruh baya membentuk sebuah studio animasi. Mereka kemudian dikenal dengan nama Hayao Miyazaki, Isao Takahata, dan Toshio Suzuki, serta Yasuyoshi Tokuma dari publisher Tokuma Shoten yang menjadi induk perusahaan.
Hari itu kemudian menjadi dikenang karena studio yang diprakarsai bapak-bapak ini berhasil mengguncang dunia lewat karya-karyanya. Sebut saja My Neighbor Totoro (1988), Grave of the Fireflies (1988), Princess Mononoke (1997), hingga Spirited Away (2001). Film yang disebut terakhir berhasil menyabet Best Animation di pergelaran Oscar.
Sejak kelahirannya tersebut, Ghibli dengan cepat menjadi satu-satunya studio animasi Jepang yang karyanya begitu dikagumi secara domestik (Jepang) maupun internasional, juga dari mulai maniak anime, pencinta film, hingga penonton awam.
Sumber: Movie Mezzanine[/caption]
[read_more id="315466"]
Namun dari segala kesuksesan Ghibli tersebut, tidak bijak jika kita melupakan dari mana semua itu berasal. Nausicaä of the Valley of the Wind (1984) atau disingkat saja Nausicaä adalah film pertama Ghibli. Walaupun rilis setahun sebelum lahirnya Studio Ghibli, tetapi film ini dinilai sebagai film pertama karena ia menjadi alasan mengapa bapak-bapak pemrakarsa tadi bisa berkumpul.
Nausicaä juga menjadi tonggak awal di mana ciri khas film animasi keluaran Ghibli/Miyazaki ditegakkan, dari mulai penggunaan tokoh utama perempuan yang kuat dan mandiri hingga tema relasi manusia dengan alam.
Sinopsis
Sumber: Movie Mezzanine[/caption]
Sebelum masuk review Nausicaä, film ini punya cerita epik tentang konflik manusia dengan alam. Diadaptasi dari serial manga yang ditulis dan digambar oleh Miyazaki, Nausicaä bercerita tentang dunia distopia di masa depan. Jadi ceritanya, hampir seluruh dunia sudah dipenuhi oleh Hutan Beracun sebagai akibat dari perang habis-habisan antara manusia.
Disebut “The Seven Days of Fire”, perang ini memusnahkan sebagian besar umat manusia dan meninggalkan polusi mematikan yang dapat membunuh. Polusi ini berasal dari spora yang juga bisa membuat serangga menjadi mutan raksasa.
Salah satu serangga yang terkenal adalah Ohmu, serangga raksasa mirip siput dengan cangkang yang tak dapat dihancurkan. Sisa-sisa peradaban manusia terakhir terbagi-bagi ke dalam beberapa desa, yang dari salah satunya menjadi rumah bagi Nausicaä.
Sumber: Movie Mezzanine[/caption]
Nama Nausicaä sebenarnya berarti “putri” dalam bahasa Yunani, namun ia lebih suka berpetualang menembus Hutan Beracun dengan glider atau pesawat ringan untuk mempelajari berbagai spesies serangga.
Walakin sebagai manusia pencinta alam, Nausicaä kemudian harus dihadapkan pada keputusan dilematis ketika Kerajaan Tolmekia mencoba menggunakan kekuatan purba untuk membasmi Hutan Beracun. Pihak mana yang akan ia pilih? Manusia atau alam?
Bagaimana Nausicaä menjadi penegak ciri khas Studio Ghibli? Simak alasannya dalam review Nausicaä di halaman berikut!
Nausicaä yang menjadi mula Ghibli
Sumber: Movie Mezzanine[/caption]
Nausicaä dibuka dengan sekuens Nausicaä menerbangkan glider-nya menembus padang pasir dan mendarat di tepi Hutan Beracun. Ia berjalan menembus gua yang megah dan dipenuhi oleh tumbuhan aneh. Nausicaä girang setelah menemukan tempurung raksasa Ohmu yang telah mati.
Terlepas dari penjelasan tersurat yang keluar dari mulut Nausicaä tentang apa yang sedang tampil di layar (satu-satunya hal buruk dalam review Nausicaä ini, dan sebenarnya cukup mengganggu), sekuens ini langsung menunjukkan betapa seriusnya Ghibli dalam membentuk persepsi audiens terhadap dunia tempat film ini mengambil latar.
Pada era di mana film animasi lain berlomba membikin karakter yang lucu dan cartoony, Nausicaä memanfaatkan opening sequence-nya untuk menampilkan dunia yang imajinatif dan kaya secara visual. Tidak hanya secara visual, musik latar dari Joe Hisaishi juga turut menggugah emosi.
Sumber: Movie Mezzanine[/caption]
Setelahnya sekuens tersebut, penonton kemudian dibawa pada adegan selanjutnya. Kita melihat seorang pengembara yang mengendarai semacam ayam kalkun besar (yang kemudian menginspirasi Chocobo di Final Fantasy) dikejar seekor Ohmu.
Setelah Nausicaä berhasil menjinakkan serangga raksasa tersebut, diketahui pengembara tadi ternyata adalah Yupa, teman Nausicaä. Mereka kemudian kembali ke desa Valley of the Wind. Desa mereka ini adalah sebuah lembah di tepi laut dengan banyak kincir angin layaknya Belanda. Warga-warganya sangat dekat satu sama lain dan hidup dengan bertani.
Sebelum kehidupan yang dipenuhi kejatmikaan itu diganggu oleh jatuhnya sebuah pesawat asing, beberapa menit di awal Nausicaä ini menunjukkan sebuah proses penting di balik film-film Ghibli lainnya: worldbuilding. Dengan proses tersebut, kita diajak untuk memahami dan mengobservasi bagaimana dunia film ini bekerja; Nausicaä memukau penontonnya seolah-olah masuk ke dalam ceritanya.
Dari beberapa menit tersebut, kita bisa mengetahui bahwa Ohmu dan Hutan Beracun adalah bagian dari alam yang tak bisa diganggu gugat oleh bagaimanapun upaya manusia untuk mengalahkannya.
Sumber: Media Life Crisis[/caption]
Tema relasi manusia dengan alam seperti Nausicaä ini begitu banyak diaplikasikan dalam film-film Ghibli, terutama yang disutradarai oleh Miyazaki setelahnya. Princess Mononke, Ponyo (2008), hingga Castle in the Sky (1986) adalah contoh kuatnya.
Lucy Wright dalam jurnalnya Forest Spirit, Giant Insects and World Trees: The Nature Vision of Hayao Miyazaki (2005) menyebut tema lingkungan ini erat kaitannya dengan ajaran asli Jepang, Shinto. Shinto mengajarkan harmonisasi antara manusia dan alam, dengan kita sebagai manusia harus hidup selalu menjaga lingkungan sekitar.
Tema lingkungan dalam Nausicaä ini ternyata tak hanya sekadar karangan Miyazaki belaka. Ia mengaku terinspirasi dari bencana Teluk Minamata di Jepang. Ribuan orang meninggal dalam kurun waktu puluhan tahun karena airnya tercemar limbah kimia dari pabrik. Setelah perairan Minamata dijauhi para nelayan karena beracun, secara aneh populasi ikan di sana meningkat drastis.
Sumber: Alpha Enviromental[/caption]
Miyazaki merinding mendengar kabar tersebut dan terkesima pada konsep bahwa alam bisa menyerap racun serta tetap survive. Hal tersebutlah yang ia bawa menjadi Hutan Beracun. Hutan tersebut, beserta serangga isinya ternyata adalah mekanisme alamiah untuk memurnikan kembali Bumi setelah dirusak manusia.
Maka ketika Kerajaan Tolmekia dengan segala ketidaktahuan a la manusia pada umumnya berusaha untuk memusnahkan Hutan Beracun dengan senjata pemusnah massal, konfliknya kemudian menjadi ironi sehingga memancing simpati.
Memancing simpati karena Kerajaan Tolmekia yang pada awalnya digambarkan jahat ini sebenarnya tidak jahat-jahat amat seperti antagonis pada umumnya. Mereka punya tujuan baik, hanya saja caranya tidak tepat.
Ambiguitas moral alias tidak jelas siapa yang jahat dan siapa yang baik ini adalah kasus karakterisasi yang unik dalam karya-karya fiksi, tetapi umum dalam karya-karya Ghibli yang kemudian menjadi ciri khasnya.
Putri Kushana dari Tolmekia memerintahkan senjata purbanya, Giant Warrior. Sumber: Pinterest[/caption]
Tidak seperti film konvensional, Ghibli dengan tokoh utamanya Hayao Miyazaki memotret moralitas bukan hanya sekadar dikotomi atau pemisahan dari kebaikan versus kejahatan. Setiap tokoh menunjukkan elemen kelembutan (baik) sekaligus kebengisan (jahat) secara kompleks.
Selain Tolmekia yang menunjukkan ambiguitasnya, Nausicaä pun juga seperti itu. Nausicaä digambarkan sebagai gadis remaja yang cerdas, mandiri, dan punya kebijaksanaan melampaui umurnya. Kita melihatnya beberapa kali menjadi panutan bagi tokoh yang bahkan lebih tua darinya.
Walupun diciptakan sebagai tokoh yang menawan, Nausicaä juga bukan tanpa cela. Pada suatu adegan yang emosional, ia diperlihatkan hampir mengamuk dengan raut wajah ingin membunuh serta balas dendam. Kontras sekali dengan Nausicaä yang digambarkan sangat lembut dan ramah di awal-awal film.
Sumber: IMDB[/caption]
Yang menariknya kemudian, alih-alih mengamuk, Nausicaä menunjukkan empatinya dengan menahan diri dan berusaha memahami situasi. Dalam konteks lainnya, ketika ia berhadapan dengan para serangga, Nausicaä menunjukkan sisi lembutnya dengan berusaha berkomunikasi dengan serangga Hutan Beracun.
Penggambaran Nausicaä mencerminkan elemen diri manusia: ketidaksempurnaan. Bahwa jangan sementang ia adalah seorang heroine, maka ia sempurna secara mutlak. Penonton tidak dapat merasa terhubung dengan tokoh yang digambarkan sempurna, karena tidak ada dari kita yang memang sempurna. Nobody’s perfect.
Dengan menciptakan tokoh yang tidak sempurna dan menekankan pada elemen dari kehidupan kita yang mirip, Nausicaä dan tokoh-tokoh lainnya menjadi layaknya manusia, bukan lagi sekadar kartun. Dan dari upaya memanusiakan animasi ini adalah cara Miyazaki untuk bisa menciptakan ikatan antara penonton dengan tokoh di dalam film.
Sumber: FilmFisher[/caption]
Selain memanusiakan animasi, Miyazaki lewat Nausicaä juga bercerita tentang kemanusiaan. Dalam film ini, peradaban manusia tak berdaya di hadapan alam. Nausicaä yang berada di tengahnya--berusaha mempertahankan identitasnya sebagai manusia yang punya nafsu sekaligus juga bagian dari alam—juga tak digambarkan menang, sebab itu tidak penting.
Yang terpenting dari kisah konflik manusia dengan alam ini bukanlah siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan bagaimana kita manusia sebagai makhluk berakal beradaptasi dengan alam sebagai tempat kita tinggal.
Kesimpulan review Nausicaä
Sumber: IndiWire[/caption]
Nausicaä of the Valley of the Wind tidak hanya menjadi debut yang menentukan film seperti apa karya-karya Ghibli, tetapi juga menjadi salah satu film animasi yang berpengaruh bagi industri animasi Jepang hingga saat ini.
Nausicaä mengajarkan kepada penonton tentang bagaimana menjaga alam tanpa berupaya menggurui. Film ini layaknya showcase yang mengingatkan kita tentang posisi manusia di lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, ia tak serta merta menjadi peringatan yang menakutkan, tetapi Nausicaä menyebarkan semangat optimisme untuk merawat Bumi, bahwa hidup harmoni berdampingan dengan alam adalah dunia yang kita impikan sejak dulu, seperti halnya Valley of the Wind. Dan kita adalah Nausicaä-nya.
Nausicaä of the Valley of the Wind ditayangkan ulang di Indonesia mulai 1 November sebagai bagian dari acara The World of Ghibli Jakarta. Semoga kamu semakin tertarik menontonnya setelah membaca review Nausicaa ini.
https://twitter.com/ghibliJKT/status/925331024002785280
Sumber:
- Forest Spirits, Giant Insects and World Trees: The Nature Vision of Hayao Miyazaki (2005) oleh Lucy Wright
- target="_blank" >Hayao Miyazaki - The Essence of Humanity oleh Lewis Michael Bond