Bicara Game Developer, Bicara Tentang SURVIVE!
Dalam seri ketiga artikel Bicara Game Developer ini, kita akan bahas salah satu kunci dari terpublikasinya IP game-mu, yaitu Survive!
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dalam seri ketiga artikel Bicara Game Developer ini, kita akan bahas salah satu kunci dari terpublikasinya IP game-mu ataupun bertahannya perusahaan game-mu nantinya, tetapi penulis akan melihatnya dari sudut pandang industri yang lebih besar. Kenapa begitu?
Karena untuk menjadi besar kita perlu komparasi dengan sesuatu yang sudah lebih sustainable dalam artian tidak hanya bicara soal revenue, jumlah download, jumlah pemain, tetapi juga bicara tentang bagaimana sebuah game sudah berhasil mendapatkan loyalitas dari pemainnya baik secara marketing maupun organik (dari gameplay, story, atau aspek lain dalam game itu).
Kita bicara soal E3 dulu, kenapa? E3 adalah barometer para gamer dan game developer di seluruh dunia. Belum lagi maraknya para game developer kelas dunia yang merilis proyek mereka dengan memanfaatkan Kickstarter sebagai salah satu marketing hype mereka dan mengumumkannya di E3.
Tak terhitung judul yang sudah familiar maupun baru unjuk gigi tahun ini, tapi paling mencolok adalah tampilnya remake Final Fantasy 7 dari Square Enix, Shenmue 3, Kingdom Hearts 3 dan juga Gears of War.
Kenapa penulis memasukkan game-game dari ajang besar ini? Apa maksudnya?
Penulis bermaksud melemparkan topik ini karena pemilik judul besar itu sudah SURVIVE dan Sustain selama bertahun-tahun, belasan tahun malah. Para game developer ini sudah memiliki sejarah dan loyalitas pengguna yang tinggi dari jaman konsol masih 16 bit hingga konsol generasi terbaru.
SURVIVE disini adalah kata kunci.
Dan menurut analisa penulis, survive dan sustain dalam game development tidak sepenuhnya sama. Survive adalah sekedar bertahan hidup, sustain adalah bertahan dan berkembang seiring waktu. Dari pengalaman pribadi serta pengamatan dalam 4 tahun terakhir, kita masih berputar di lingkaran setan bernama survive/bertahan hidup saja. Impian untuk sustain game atau perusahaan kita sendiri sering terkendala dengan masalah-masalah seperti yang tercantum di artikel terdahulu, masalah komitmen, kompetensi dan manajemen resources yang kurang baik.
Melihat apa yang ditampilkan di E3, effort yang diberikan para game developer kelas atas ini tidak main-main lho. Mereka mengalokasikan waktu hingga 1-2 tahun untuk dapat Minimum Viable Product atau produk yang bisa dilihat cikal bakalnya akan seperti apa.
Penulis tidak mau mengkomparasi keadaan game developer kita dengan game developer AAA di ajang E3 karena memang ibarat game, levelnya berbeda. Kita masih ada di early stage of game business evolution, dan mereka sudah lebih dulu lepas landas baik dari teknologi maupun dari segi knowledge.
Banyak dari kita, game developer di Indonesia masih menyandang label indie, startup, atau sudah berlabel perusahaan yang sudah lumayan lama melanglang buana di jagat industri game Indonesia atau global. Tetapi belum mencapai scope Global seperti visi misi mereka pada awalnya. Yang sedikit membuat sedih penulis adalah, mulai banyak yang menafsirkan success story beberapa studio baik indie ataupun startup itu sebagai “harga mati” jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan mimpi mereka. Beberapa rekan berlomba membuat ide, konsep dan startup lokal game dan melakukan pitching untuk mencari investor atau pendanaan untuk membantu proyek mereka terwujud, meskipun minimum viable produknya belum keliatan.
Lanjut ke halaman 2...
Di sini timbul pertanyaan, barang belum ada sudah jualan konsep? Model bisnis semacam ini sah-sah saja, tapi kita harus sadar konsekuensinya. Dari beberapa informasi yang penulis dapatkan, seorang investor pernah bertanya pada salah seorang pendiri game developer lokal yang melakukan pitch produk mengenai Daily Active User dan Monthly Active User untuk mengetahui apakah IP game yang mereka telah buat atau akan buat itu memiliki value yang bisa mendorong mereka melakukan investasi ke depannya.
Dan jawabannya? Mereka bahkan tidak melakukan analisa sama sekali, dan hanya membuat game dan meletakknya di Appstore dengan memasang ads atau iklan untuk source of income, dan monetize pun juga belum optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya Business Development Officer yang berdedikasi hanya pada cara mencari channel baru untuk dapat memberikan income pada game tersebut.
Berikut ada contoh kasus dari Paladin Studios di luar negeri, dimana mereka ada di tahap bootstrap untuk menghidupi proyek idealis mereka “Momonga” yang hampir terseok-seok batal dikarenakan hanya memiliki 1 orang art yang mengerjakannya. Tetapi semua programmer teralokasi pada proyek klien yang sifatnya “mission impossible” alias deadline mepet tapi maunya sekampung.
Ya benar dengan label “indie” yang mereka anut, mereka meluncurkan sendiri gamenya. Dan yang berperan penting dalam hal ini adalah pendanaan. Dan percayalah, cara kamu mendanai game kamu dapat membuatnya terwujud atau malah menghancurkan mimpimu. Dan lebih parahnya lagi dari testimoni Paladin, mereka menyatakan bisa jadi itu membunuh perusahaanmu jika keterusan.
Ada beberap tips dari mereka untuk survive dengan beberapa tipe pendanaan jika kamu memilih jalan indie yang seperti ini. Tapi sebelumnya penulis merasa perlu menjelaskan bahwa nampaknya ada beberapa perbedaan definisi indie di luar dan indie di Indonesia. Beberapa rekan yang melabeli dirinya indie, masih merasa bahwa menggunakan publisher tetap menjadikan mereka indie game developer. Sementara dalam kasus Paladin, sebaliknya, indie itu benar-benar independen dan tidak tergantung pada publisher.
Lanjut ke halaman 3...
Self-publish? Tahu dong istilah ini. Sebagai developer indie, istilah ini harusnya sudah akrab dengan telinga kita dong. Hal yang perlu kita pikirkan adalah pendanaan. Ada banyak cara pendanaan, tetapi ujungnya sebenarnya tetap sama: “memperpanjang jalur lepas landas” –untuk memberikan waktu ekstra buat kamu menyelesaikan game dan melepasnya ke pasar. Berikut adalah beberapa tips dan triknya.
- Batasi Pengeluaran: Jika kamu bisa menjaga biaya hidup minimum, kamu bisa meluangkan waktu yang cukup untuk membuat game-mu. Pendanaan atau funding itu sebenarnya tentang cashflow, jadi jaga pengeluaran tetap rendah. Tetapi tentu saja kita masih butuh sumber pemasukan.
- Punya pekerjaan Tetap: Nah ini penting, jika kamu sudah punya pekerjaan tetap yang memadai dengan gaji yang keren, penulis menyarankan tetap bertahan dengan pekerjaanmu dan jangan terburu-buru kena sindrom “Gold Rush” dan membuangnya begitu saja demi mimpimu. Simpan uang dan kerjakan proyek game di waktu luang saja. Kamu bisa juga memotong waktu bekerjamu (bukan mengajari buat bolos, tetapi bisa dengan datang lebih pagi pulang cepat) sehingga kamu punya waktu ekstra untuk game-mu.
- Jualan Jasa: Dengan kata lain, Freelance atau Outsource. Banyak studio indie menyediakan jasa develop game untuk klien. Dengan mendapatkan proyek luar, biasanya bayarannya akan lebih bagus dalam hitungan per-jamnya daripada jika kita bekerja untuk orang. Yang akan memberikan waktu lebih lagi buat proyek game pribadi kita.
- Crowdfunding: Jika orang-orang menunggu game-mu (kalau kamu sudah cukup tenar misalnya seperti Toge Productions, Agate, Touchten, Artlogic, atau Mojiken contohnya) kita bisa menawarkan Pre-Order. Kickstarter adalah pilihan yang sedang populer saat ini, meski sebenarnya hal ini bisa dilakukan secara independen juga. Jual versi beta, atau jual idenya (seperti pitch, tapi kamu pitch ide kepada khalayak ramai untuk mendapatkan dana). Kemudian investasikan uangnya kembali untuk melanjutkan pengembangan game.
- Pinjaman: Ini adalah ide yang riskan. Bank biasanya was-was jika kita mengajukan pinjaman semacam ini, jadi kamu perlu rencana yang solid. Keluarga bisa membantu, tetapi minta uang ke keluarga dan teman bisa jadi masalah di kemudian hari. Pastikan saja kamu mampu membayar pinjaman itu – jangan pernah mengutarakan janji yang tidak bisa kamu penuhi sendiri.
- Cari sumber lain: Ada banyak cara mendapatkan uang. Sponsorship, Pendanaan Pemerintah (yang ini agak riskan juga mengingat prosedurnya yang masih rumit, ada yang bisa bantu?), pendanaan budaya atau seni, atau jual aset berhargamu. Jika kita bisa berpikir kreatif, pasti ada jalan untuk mendapatkan uang untuk memulai proyekmu.
- Investor: Sengaja penulis taruh di bagian akhir. Dengan investasi eksternal, sebenarnya kamu telah melepas sebagian kontrol dari bisnismu (ini penting banget buat diinget!). Bagaimanapun, hal ini juga berarti bahwa kamu punya lebih banyak kebebasan untuk mewujudkan visi misimu. Ini adalah pertukaran yang jika di-manage dengan benar, sangat layak dipertimbangkan.
Dari pengalaman penulis dan beberapa share dari Paladin, ada beberapa hal yang bisa ditarik mengenai hal ini.
Mereka mengerjakan jasa pengembangan game dan menjaga pengeluaran seminimal mungkin. Dengan sedikit kredit/hutang dari Bank dan keringanan pajak, mereka bisa tetap bertahan hidup dan mengumpulkan sejumlah uang untuk mengerjakan game mereka.
Masalahnya adalah mereka, seperti juga kebanyakan dari kita yang mengerjakan hal yang sama: Game dan Outsource, mereka butuh fokus di kedua hal ini, dan hal ini TIDAK MUNGKIN. Menyeimbangkan antara dua hal ini dapat menimbulkan stress akut, karena pekerjaan seperti ini membutuhkan take and give.
Dan belum lagi masalah cashflow. Neraca keuangan mereka selalu ada di angka nol karena take and give ini. Ada resiko besar disini tentunya. Paling tidak mereka jadi sangat rentan, jika klien menarik proyek atau cancel, mereka bisa jadi akan gulung tikar.
Sebagai contoh: mereka mempunya klien besar. Lebih dari 50% dari revenue jasa tahun ini masuk dari klien ini. Dan proyek ini ternyata lebih susah daripada yang mereka antisipasi dengan deadline yang tidak terduga. Dalam situasi ini mereka memilih klien, dan game mereka: Momonga harus di kesampingkan dahulu. Sebuah pilihan yang jelas harus diambil tentunya, dan keputusan bisnis yang bagus. Tentunya seperti yang rekan-rekan developer lokal sering alami kalau mengerjakan proyek luar, hal ini mengakibatkan tertundanya game kita sendiri yang bisa jadi bikin stress juga.
Nah ini yang bisa kita tarik dari Paladin: Mereka menyarankan untuk Just Deal with it! Telan harga diri dan ego, dan bekerja keraslah untuk pelangganmu. It’s the right thing to do.
Lanjut ke halaman terakhir...
Jika kita ingin game kita selesai, kita harus memikirkan benar-benar soal cashflow. Ada beberap tips survive yang berguna dari pengalaman para game developer luar:
- Potong pengeluaran
- Produk sekunder – Buat beberapa produk yang lebih kecil skalanya untuk dijual, merupakan cara efektif untuk menghasilkan uang ekstra
- Start Small – Jelas, game yang kamu buat tidak perlu harus langsung besar. Kita tidak perlu Budget AAA untuk mimpi kita, tidak bikin stress, dan bisa belajar lebih cepat.
- Tetap Siaga – Kita akan perlu membuat keputusan yang berat. Memutus klien dari proyek atau menunda proyek game kita? Selalu INGAT bahwa CASHFLOW adalah penentu.
- Bangun momentum – Jika kita punya pekerjaan, tetap bekerja sepertinya aman. Pertanyaan serunya adalah: bisa tidak kamu tetap bekerja harian DAN menyelesaikan game-mu? Ini masih pisau bermata dua, tapi jika kamu sudah cukup menyimpan, kadang kamu perlu mengambil resiko.
- Selalu siap – Bersiaplah untuk yang terburuk dari yang paling buruk. Ada kemungkinan game-mu tidak terwujud. Ketika hari itu tiba, kamu harus memutuskan untuk tetap maju atau just walk away.
- Selalu lihat ke depan – Track terus proyeksi cashflow Beberapa developer luar menggunakan Excel sheet sederhana untuk meproyeksikan kondisi keuangan proyek beberapa bulan kedepan. Ingat perencanaan itu penting!
- Buat rencana! – Selalu ingat kenapa kita ingin melakukannya. Jangan bakar uang hanya karena this is the hip thing to do. Buat rencana.
- Kombinasikan yang terbaik – Tidak ada cara yang benar dalam mengembangkan sebuah game. Seimbangkan saja plus dan minus dari cara kamu. Sesuaikan kombinasinya dengan rencana visi misi yang sudah disepakati.
Sejujurnya, apapun jenis pendanaannya, semuanya Tidak Mudah. Tidak ada strategi yang gampang, tidak ada tutorialnya. Ini berlaku untuk kamu yang hobbyist, penyedia jasa/Outsource, atau yang tinggal di rumah dan melakukan freelance – akan tidak mudah mendanai game kamu dan menyelesaikannya.
Jika kita ingin mendanai sendiri, pastikan itu karena kita ingin tetap mengontrol nasib kita sendiri. Saya setuju dengan Paladin secara pribadi mengenai prinsip mereka bahwa mereka tidak mau publisher pergi kemana-mana dan membawa judul game mereka sebagai jualan. Game kita ya milik kita. Dan sudah tanggung jawab serta kewajiban kita untuk memperjuangkannya dengan keras untuk menjaganya tetap begitu.
Jadi Survive itu tidak mudah bukan? Yuk Mulai dengan rencana sederhana dulu supaya tidak terlalu besar beban ketika mulai dan bertahan.