Nostalgia Review Blade Runner (1982): Fiksi Ilmiah Revolusioner yang Tidak Biasa
Apa yang membuat Blade Runner (1982) menjadi begitu legendaris dan memiliki banyak penggemar hingga sekarang? Simak ulasannya di sini
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Blade Runner (1982) gagal total dari segi pendapatan dan mendapat tanggapan yang sangat beragam dari kritikus pada masanya. Lantas, kenapa sekarang film ini malah dielu-elukan sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa? Apa yang membuatnya menjadi begitu spesial sampai-sampai 35 tahun kemudian dibuatkan sekuelnya yang bertajuk Blade Runner 2049 (2017)? Mari simak ulasan berikut ini untuk mendapatkan jawabannya.
[duniaku_baca_juga]
Blade Runner mengambil latar tidak jauh di masa depan. Tyrell Corporation adalah sebuah perusahaan yang bertanggung jawab dalam menciptakan para replicants, yaitu android yang memiliki teknologi intelijensi buatan (A.I.) dan fisik yang hampir persis sama dengan manusia.
Para replicants dibuat untuk bekerja di off-world colonies atau koloni-koloni yang ada di luar Bumi. Replicants dilarang keras untuk memasuki Bumi, dan bila ada yang ketahuan melanggar peraturan itu, maka mereka akan diburu untuk di-pensiunkan -dalam kata lain, dibunuh- oleh seorang pemburu replicants yang disebut sebagai "Blade Runner".
Di tahun 2019, empat replicants berhasil menyelundup masuk ke Bumi, dan Rick Deckard (Harrison Ford); seorang Blade Runner ditugaskan untuk memburu dan menghabisi ke-empat android tersebut.
Audio dan Visual Yang Masih Memukau Hingga Sekarang
Baiklah, mari kita bicara jujur di sini. Blade Runner mengambil latar waktu di tahun 2019 dan sekarang kita berada di tahun 2017, apa yang diperlihatkan di filmnya masih berbeda jauh dengan kenyataan. Mobil-mobil terbang? Koloni luar angkasa? Android berbentuk manusia diproduksi besar-besaran? Ayolah, rasanya masih sangat jauh untuk melihat hal-hal itu terjadi di kehidupan keseharian kita.
Tapi bila kita telaah lebih dalam lagi, film ini diproduksi di era 80-an. Hanya ada sedikit sutradara yang sangat visioner dan mampu menciptakan gaya visual yang seiring berjalannya waktu, menjadi acuan dan inspirasi utama dari banyak media-media fiksi ilmiah. Dialah Ridley Scott.
Beberapa tahun sebelumnya, Scott merilis film Alien (1979) yang juga meninggalkan warisan besar di genre fiksi ilmiah berkat visual yang memorable dan penyutradaraan yang sangat kuat. Dengan Blade Runner, Scott sekali lagi menasbihkan dirinya sebagai seorang sutradara pioner untuk genre fiksi ilmiah.
[duniaku_baca_juga]
Ridley Scott memperlihatkan sebuah dunia yang tidak pernah orang lihat sebelumnya di era itu. Scott dikenal sebagai sutradara yang tidak suka dengan CGI berlebihan dan lebih menyukai penggunaan efek praktikal yang terbukti jauh lebih "tahan banting" dan tak lekang oleh waktu.
Sebut saja The Matrix, Ghost in the Shell, atau bahkan Cowboy Bebop. Mungkin mereka memiliki kisah yang berbeda, namun mereka semua miliki inspirasi visual yang sama yakni Blade Runner.
Di Blade Runner, Scott bersama tim produksinya menciptakan miniatur kota Los Angeles untuk menciptakan ilusi bahwa kota futuristik itu benar-benar ada dan tampak hidup. Apabila menggunakan efek komputer sepenuhnya maka akan tampak ketinggalan zaman. Namun berkat teknik itu, adegan pembuka film ini masih terlihat sangat memukau hingga sekarang.
Bukan hanya itu, penggambaran sudut-sudut kota Los Angeles yang sempit, beruap, dan lembab juga ditiru oleh banyak media-media fiksi ilmiah lain. Scott menjodohkan visual-visual khas dari film noir tahun 50-an sampai 70-an dengan pemandangan futuristik yang tampak kotor dan depresif secara sempurna.
Untuk musiknya, Scott menggaet komposer elektronik ternama Vangelis yang pada masanya juga dikenal luas sebagai salah satu yang terbaik di kalangannya. Vangelis menggabungkan bunyi-bunyian yang futuristik namun juga terdengar retro di sata yang sama.
Musik-musik gubahan Vangelis sangat atmosferik dan dengan cepat melebur ke dalam naratif dan visual dari Blade Runner yang suram nan misterius, namun juga tersisip kesenduan dan romansa di dalamnya. Percayalah, musik di pembuka dan penutup filmnya akan terus terngiang-ngiang di kepala anda lama setelah film usai.
Masih penasaran dengan film Blade Runner (1982)? Cek di halaman selajutnya!
Alur yang Lambat dan Sulit untuk Diikuti
Mari kita jujur-jujuran lagi di sini. Blade Runner bukanlah film yang seru untuk ditonton. Beberapa kali saya menontonnya saya selalu berhenti di tengah-tengah akibat temponya yang lambat sekali. Jangan harap melihat adegan aksi yang seru, karena meskipun memiliki judul yang cukup atraktif, Blade Runner sangat minim dengan adegan-adegan demikian.
Blade Runner juga cenderung sulit diikuti karena penceritaannya yang kurang jelas. Entah karena transisi adegan demi adegan yang terasa tidak halus atau karakter-karakternya yang membosankan, tidak ada ikatan emosional yang terbentuk dengan cerita ataupun para tokoh-tokoh di dalam film ini. Dan entah ini kesengajaan atau tidak, tapi yang jelas, ini adalah kekurangan yang cukup berarti karena mempersulit penonton untuk menikmatinya.
Namun, Blade Runner memiliki elemen filosofis yang cukup menarik dan itu yang membuat film ini menjadi sangat legendaris. Blade Runner berpusat tentang konflik antar android dan manusia, dalam kata lain, Sang Ciptaan dan Sang Pencipta. Konsep inilah yang kemudian dipermainkan di filmnya.
Android-android yang menjadi antagonis di Blade Runner adalah model yang jauh lebih manusiawi dibanding sebelumnya. Di mana selain dari fisik dan kepintaran komputer mereka yang jauh lebih maju, android-android ini seolah-olah memiliki emosi, sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki oleh benda mati seperti mereka dan hanya bisa dimiliki oleh makhluk hidup, terutama manusia.
Pertanyaan moral di film ini adalah: Manusiawikah para blade runner untuk mem-pensiunkan atau membunuh para android ini hanya karena mereka diangap sebagai benda mati belaka? Apabila android sanggup memiliki emosi, apa yang membedakan mereka dari pencipta mereka yaitu manusia? Mana yang lebih dingin dan mana yang lebih "manusiawi"?
Yang lebih menarik lagi adalah sang protagonis Deckard. Deckard di awal film digambarkan sebagai sosok manusia yang utuh. Namun di tengah-tengah film, ada sebuah adegan penting (Yang hanya muncul di versi Final Cut alias versi yang seharusnya anda tonton) yang membuat penonton bertanya-tanya: Apakah Deckard itu manusia atau android?
Apabila benar Deckard adalah android, maka konteks film Blade Runner menjadi berubah sepenuhnya. Dari kisah tentang manusia yang berburu para android yang lepas kendali, menjadi android yang merasa menjadi manusia dan memburu saudara-saudaranya sendiri. Dan lagi-lagi kembali ke pertanyaan, mana yang "lebih manusia" dan mana yang lebih tampak seperti mesin belaka?
Scott sendiri sepertinya sangat tertarik dengan konsep kisah ini dan akhir-akhir ini, ia mulai mengunjungi kembali tema tentang Android vs Manusia/Pencipta vs Tuhan. Hal ini bisa kita temui di dua film prekuel Alien yaitu Prometheus (2012) dan Alien: Covenant (2017). Di dua film itu, karakter Walter dan David (kedua diperankan oleh Michael Fassbender) adalah android yang menjadi pusat dari konflik tentang Ciptaan melawan Pencipta.
[read_more id="331986"]
Tentu saja hal-hal ini hanyalah teori belaka yang subjektif bagi tiap penonton, namun di sinilah letak kejeniusan Blade Runner. Menggunakan kedok noir fiksi ilmiah, Scott menyajikan sebuah tontonan yang penuh filosofi, ambigu, dan memiliki sangat banyak lapisan yang membuatnya sampai sekarang menjadi bahan banyak perdebatan di antara penggemar film hingga berdekade-dekade kemudian.
Diedit oleh Doni Jaelani