Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Setiap orang yang berjiwa kreatif pasti punya tokoh idola yang mendorong mereka untuk semangat berkarya. Tetapi, baguskah kalau kita terlalu memaksakan diri menjadi "orang lain" demi berkarya?
Orang kreatif itu pada dasarnya memang tidak bisa nganggur. Ketika mereka melihat sesuatu yang bagus dan memuaskan, mereka mungkin akan menyulapnya menjadi sebuah karya yang fenomenal suatu saat kelak. Minimal, ide-ide yang melintas akan disimpan di dalam notes untuk dikaryakan.
Nah, salah satu inspirasi berkarya orang kreatif ini seringkali datang dari para kreator papan atas alias kreator yang sudah terkenal. Tak sedikit yang kemudian terobsesi dengan kreator-kreator ternama ini. Mulai dari cara berpikir, gaya hidup, hingga standar berkarya, semuanya diikuti mentah-mentah.
[duniaku_baca_juga]
Pertanyaan krusialnya lantas muncul: baguskah kalau kita, sebagai kreator, mengikuti jalan hidup idola kita sedemikian rupa sampai terkesan melupakan identitas diri sendiri yang sebenarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami akan mengulas pentingnya mengenali kapasitas diri dalam kehidupan berkarya. Pada akhirnya, berkarya itu bukan cuma soal menuangkan ide, tetapi juga soal mengenal diri sendiri. Check it out!
[page_break no="1" title="Tiap Orang Punya Kapasitas Berbeda, Kenali Kapasitasmu"]
Mengenali diri sendiri sebelum terjun ke dunia berkarya adalah hal yang penting untuk kita cermati. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari perasaan cemas atau insecure atau bahkan perasaan-perasaan seperti inferiority complex (merasa inferior) terhadap teman-teman seperjuangan yang sudah melangkah lebih jauh.
Kenapa sih kita perlu mengenai diri sendiri sebelum menjadi kreator yang hakiki?
[read_more id="355811"]
Sebab kreator yang sudah mengenali dirinya sendiri tahu betul apa genre yang digemarinya, siapa audiens yang akan dia sasar, berapa kali dia bisa posting karya, dan platform apa yang paling membuat perjalanan berkaryanya lebih nyaman. Singkatnya, dia punya rencana dan dia tahu ke mana harus melangkah.
Jadi, apa hal pertama yang harus kita kenali dari diri sendiri?
Kalau bicara soal genre dan style, itu bisa dicari sendiri, sebab itu termasuk ke dalam preferensi pribadi alias selera masing-masing. Yang paling esensial dari pengenalan diri itu sebenarnya adalah mengenali kapasitas diri. Jika kita berhasil mengenali hal ini, akan mudah bagi kita untuk menentukan gaya dalam berkarya.
Kapasitas itu apa saja, sih?
Nah, kalau berbicara kapasitas, kamu bisa memulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang kemampuanmu sendiri. Kita bikin daftar contoh pertanyaannya, yuk. Barangkali pertanyaan-pertanyaan ini bisa mempermudah kamu:
- Cerita jenis apa yang paling kamu kuasai?
- Gambar jenis apa yang bisa kamu buat?
- Lebih jago ngomik, bikin ilustrasi tunggal, atau nulis novel?
- Berapa kali kamu bisa posting karya dalam satu minggu?
- Kapan waktu efektif kamu berkarya?
- Silakan tambahkan sendiri ...
Bagaimana? Cukup terbayang, bukan? Inti dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah untuk mengenali preferensi dan kemampuanmu sendiri. Tanyakan kepada kreator-kreator yang sudah profesional, mereka pasti sudah punya jawaban untuk masing-masing pertanyaan.
Masih belum yakin? Ayo kita lihat komikus Sweta Kartika dan Alex Irzaqi sebagai contoh. Walaupun mereka satu perguruan dan punya kemampuan menggambar yang setara, mereka punya kemampuan rilis karya yang berbeda, lho.
Kita bisa melihat Sweta Kartika mampu menelurkan beberapa komik secara bersamaan di penerbit yang berbeda-beda, sementara Alex Irzaqi punya preferensi yang berbeda soal itu. Alex mengatakan bahwa dirinya "tidak bisa multitasking" dan lebih suka "fleksibel".
Fakta di atas membuktikan bahwa kreator profesional pun punya rasa dan kapasitas yang berbeda-beda.
"Jadi, kita tidak boleh terinspirasi dari kreator lain?" Boleh! Biar tidak salah paham, lihat bahasan berikutnya, yuk!
[page_break no="2" title="Terinspirasi dari Orang Lain itu Boleh, tapi Jangan Terobsesi"]
Terinspirasi dari kreator lain saat berkarya itu boleh, kok. Boleh banget, malahan. Sebab, tanpa keberadaan kreator-kreator tersebut, kita mungkin tidak punya dorongan yang kuat untuk memulai berkarya.
Yang menjadi permasalahan sebenarnya bukanlah soal mengambil inspirasi dari kreator lain, tetapi menjadikan kreator lain sebagai obsesi.
Ya, kita perlu memahami bahwa inspirasi dan obsesi adalah dua hal yang berbeda.
[read_more id="352645"]
Mengambil inspirasi berarti hanya mengambil apa yang kita perlukan dari si kreator, tidak perlu dicontoh semua, hanya mengambil hal-hal yang bermanfaat. Tetapi terobsesi lain soal. Terobsesi itu berarti berusaha keras mencontoh segala hal tentang si kreator, bahkan berusaha "mencuri" identitas sang kreator.
Ini yang seringkali tidak kita pahami dan akhirnya malah terobsesi pada seseorang atas nama "mengambil inspirasi".
Sebagaimana yang telah dipaparkan di subbab sebelumnya, bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam berkarya. Kita tidak perlu berusaha terlalu keras untuk menjadi orang lain saat berkarya.
Pada akhirnya, kita berkarya untuk memuaskan hasrat pribadi juga, kan? Berkarya bukan cuma soal menghibur orang lain, tapi juga diri sendiri.
Lihat faktanya. Ada kreator yang mampu menelurkan karya seminggu sekali, ada yang tiga hari sekali, ada yang sebulan sekali, bahkan ada yang enam bulan sekali. Fenomena ini bukanlah tanpa sebab, tetapi memang berhubungan dengan kapasitas dan preferensi yang berlainan.
[duniaku_baca_juga]
Kenapa sih kapasitas orang bisa berbeda-beda?
Ya tentu saja ini juga berhubungan dengan kehidupan pribadi masing-masing kreator. Tidak semua orang punya waktu luang yang sama untuk mengerjakan karya. Ada yang sambil bekerja, ada yang sambil mengurus anak, ada yang sambil bepergian, ada yang sambil sekolah, dan ada juga yang sakit-sakitan.
[duniaku_adsense]
Standar tiap orang memang beda. Kalau semuanya harus identik, maka dunia kreatif tidak akan lagi menyenangkan. Menjadi ironis ketika dunia kreatif ditujukan untuk membahagiakan semua orang, malah berubah menjadi "penjara" bagi para pelakunya.
Carilah inspirasi, bukan mengejar obsesi.
[page_break no="3" title="Make Your Own Standard"]
Sebagaimana yang dipaparkan pada situs Punkerslut, bahwa kita harus bisa mendefinisikan sendiri standar yang cocok dan paling nyaman untuk diri kita sendiri. Memang, konteksnya di situ adalah soal gaya melukis, tetapi value-nya bisa dipakai untuk hal yang lebih umum kok.
Kita lihat contoh lagi, deh. Kamu tahu serial One Punch Man, kan? Tahukah kamu bahwa One Punch Man ditulis oleh seorang komikus amatir yang bernama ONE dan gambar aslinya terbilang "busuk" di mata ilustrator dan komikus ternama?
[read_more id="356583"]
Ya, ONE tidak punya kemampuan menggambar yang mumpuni seperti senior-seniornya yang sudah terbiasa dengan standar Shonen Jump. Akan tetapi, setelah digambar ulang oleh Yuusuke Murata (Eyeshield 21), One Punch Man pun menjadi salah satu serial paling fenomenal.
Jauh sebelum digambar ulang oleh Murata-sensei, One Punch Man versi "busuk" ternyata juga sudah booming, lho. Bayangkan, gambar sebegitu "busuknya" tetap tak menurunkan minat pembaca untuk mengikuti serialnya sampai kemudian diangkat menjadi anime.
Nah, contoh di atas adalah sebuah fakta bahwa tak harus menjadi orang lain untuk berkarya. ONE, tanpa bantuan Yuusuke Murata pun, website-nya sudah dikerumuni oleh pembaca. Ia hanya perlu menunjukkan keunikan dan kemampuannya dalam menulis cerita. Ia menunjukkan standarnya sendiri.
Tak ada yang salah dari kita punya cara dan standar sendiri, kok.
Terkagum pada kemampuan kreator lain itu boleh saja, tetapi kita juga harus melihat diri sendiri. Belum bisa seperti mereka bukan berarti kita payah. Bahkan, kreator idola kita juga mungkin dulunya pernah ada di posisi yang sama seperti kita.
[duniaku_baca_juga]
Kuncinya adalah hargai kemampuanmu sendiri sebelum menghargai kemampuan orang lain. Latih pelan-pelan kemampuanmu, siapa tahu kelak kemampuanmu bisa menyusul kemampuan idolamu atau mungkin malah jadi ciri khas baru di kalangan publik.
Tidak usah dipaksa untuk sampai ke puncak orang lain, lihat saja puncakmu sendiri. Jalani prosesnya perlahan-lahan, dengan gayamu sendiri.
Diedit oleh Fachrul Razi