Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Lewat film From Up on Poppy Hill, anak Hayao Miyazaki membuktikan bahwa ia punya taji bergelut di dunia animasi. Jalan untuknya masih panjang, jika ia mau.
Benar kata Shun ketika ia mengobrol di bawah hujan dengan Umi.
“Ini seperti sinetron saja.”
“Maksudmu?”
“Kita berdua kakak-adik.”
[duniaku_baca_juga]
Umi terkejut mendengar penjelasan Shun. Namun air mukanya tak digambarkan terkejut berlebihan. Kedua alisnya turun, lalu berkata “Jadi, kita harus apa?”
Umi adalah gadis yang kuat. Saban hari ia menyiapkan sarapan dan makan malam untuk keluarganya. Setiap subuh ia disiplin mengerek bendera di belakang rumah. Pulang sekolah, belanja ikan dan sayur. Belajarnya tak pernah putus. Perilakunya juga budiman.
Namun, ketika berhadapan dengan masalah antara ia dan laki-laki yang ia cintai, Shun, ia tampak rapuh.
Itulah sesuatu di seberang jurang sempit yang memisahkan From Up on Poppy Hill dengan jebakan film-cerita-sinetron. Di tangan orang-orang yang berbeda, cerita pasangan kekasih yang ternyata kakak-adik ini akan menjadi sepenuhnya klise.
Ada sensibilitas dan nilai-nilai subtil yang terkandung di dalam From Up on Poppy Hill, salah dua dari keunggulan film-film keluaran Studio Ghibli—yang akan kita bahas nanti. Namun, film karya Goro Miyazaki—putra pertama Hayao Miyazaki—ini juga masih belum cukup layak bersanding dengan film-film top Ghibli lainnya.
Sinopsis
Walaupun punya hubungan sedarah, Goro tampaknya tidak mengikuti jejak ayahnya, Hayao yang lebih suka cerita penuh imajinasi. Ia justru lebih dekat dengan Isao Takahata yang lebih suka drama membumi tentang kehidupan sehari-hari.
Drama bernuansa sejarah ini ditulis skenarionya oleh Hayao Miyazaki dan Keino Niwa, berdasarkan komik karya Chizuru Takahashi dan Tetsuro Sayama yang berjudul sama.
Pada tahun 1963 di kota pelabuhan Yokohama, Jepang, tinggallah seorang gadis 16 tahun bernama Umi. Setiap pagi, Umi menaikkan bendera sinyal maritim menghadap laut.
Sementara itu, Shun, siswa SMA umur 17 tahun selalu melihat bendera yang dikerek Umi setiap pagi dalam perjalanannya ke sekolah menumpang kapal tunda. Keduanya sekolah di tempat yang sama dan dipertemukan oleh kesempataan saat para siswa sekolah menolak membiarkan gedung ekstrakurikuler mereka digusur.
Namun, keduanya harus berhadapan dengan berita mengejutkan yang menguji perjalanan cinta mereka. Alih-alih menyerah, mereka berupaya menghadapi masalah tersebut dengan hati besar.
Inkonsistensi dan Ekspresi Membingungkan
Jika dibandingkan dengan film-film top Studio Ghibli seperti Nausicaa (1984), Spirited Away (2001), Grave of the Fireflies (1988), atau Princess Mononoke (1997), barangkali From Up on Poppy Hill ini tidak seberapa. Ia tidak konsisten pada beberapa detail kecil dan beberapa kali ekspresi yang membingungkan.
Baik detail kecil maupun ekspresi yang membingungkan ini sebenarnya berhubungan erat.
Studio Ghibli dengan pentolannya Hayao Miyazaki dan Isao Takahata punya disiplin yang keras soal detail, terutama detail perilaku. Contohnya dalam My Neighbor Totoro (1988), tokohnya yang bernama Satsuki mengangkat kakinya saat berjalan dengan lutut agar karpet rumah tidak kotor. Chihiro dalam Spirited Away juga digambarkan mengetuk ujung sepatu ketika baru selesai mengikat talinya.
Takahata bahkan sampai kepikiran terus karena menurutnya, adegan memotong nanas di Only Yesterday (1991) dan semangka di Grave of the Fireflies itu kurang realistis. Kalau ditengok kembali, memang benar juga. Tapi, siapa sih yang kepikiran begitu ketika nonton? Anehnya, menurut ia detail tersebut penting.
Goro Miyazaki sebenanya tak perlu mengikuti disiplin siapa saja. Ia bisa membikin gayanya sendiri. Namun, ada harapan yang tinggi ketika menonton film-film Studio Ghibli. Detail kecil yang terkesan remeh tersebut bukan sia-sia saja. Ia turut memperkaya si karakter. Dengan perilaku kecil nan remeh tersebut, kita sebagai manusia dapat melihatnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Berangkat dari hal itu, kita selanjutnya dapat saling berhubungan, antara mereka di dunia fiksi dan kita di dunia nyata lewat kesamaan tingkah.
Mengharapkan Goro (yang waktu itu 46 tahun) bisa mencapai taraf kemampuan kedua tokoh ikonik di atas sebenarnya tidak fair dan tidak perlu juga. Kurangnya detail-detail seperti itu tidak serta merta menjadikan From Up on Poppy Hill buruk, tetapi detail tersebut justru inkonsisten pada bagian penting film animasi: ekspresi wajah.
Disebut inkonsisten karena masih ada banyak momen ketika bagian ini berjalan baik. Contohnya seperti ekspresi Umi di awal artikel ketika mendengar berita mengejutkan. Ada elemen subtil di sana yang membuat ekspresi Umi tidak hanya sekadar terkejut dan sedih, tapi juga kerapuhan.
[read_more id="362569"]
Namun beberapa momen lain, ekspresi karakternya hambar-hambar saja. Jadi bingung menilai apa yang ada dalam pikiran si karakter. Goro seperti kekurangan stok ekspresi. Hal itu juga diperburuk dengan sudut pengambilan gambar yang so basic. Hayao Miyazaki—lagi-lagi dibandingkan dengan dia!—tidak seperti itu. Selalu ada ekspresi-ekspresi yang berbeda dan hampir tidak ada yang sama sepanjang film.
Meski inkonsisten dalam detil dan ekspresi, keunggulan From Up on Poppy Hill adalah soal rasa. Simak seperti apa di halaman sebelah.
Soal Rasa
Meskipun inkonsisten dalam detil dan ekspresi, From Up on Poppy Hill tidak sepenuhnya buruk-buruk saja. Namun, apa yang spesial dari film kedua Goro ini adalah soal rasa; film adalah soal rasa. Ia terlihat sangat jauh berkembang sejak ia bikin film malu-maluin Tales from Earthsea (2006) lalu.
Ditemani musik yang enak di telinga dengan nuansa jazz, Goro berhasil bikin kota pesisir Yokohama tahun 60-an terlihat hidup. Ia terasa nostalgik dengan lampu-lampu bohlam dari lampu sorot bus kota, kendaraan jadul era Jepang sebelum keajaiban ekonomi, hingga ramainya pra-pergelaran Olimpiade Musim Panas 1964.
Gedung ekstrakurikuler sekolah Umi dan Shun juga menarik. Ada beragam ekskul dengan anggota-anggotanya yang unik, seperti ekskul filsafat dengan anggotanya yang hanya satu orang atau ekskul kimia yang membikin penelitian berbahaya. Gedung tersebut kotor dan tampak tak terawat, tetapi kaya warna dan sejarah. Gedung ini menjadi latar kisah cinta Umi dan Shun sekaligus menjadi cerita sejarah ketika siswa di Jepang sedang giat menjadi aktivis.
Selain soal latar belakang, juga ada ketulusan dari kisah Umi dan Shun yang sepanjang film berakhir tragis. Kita tahu itu menyakitkan. Kita juga tahu sakitnya di mana. Ada sebuah adegan berkesan ketika Umi bermimpi ibu dan ayahnya kembali ke rumah.
Ia jelas rindu pada keluarganya, tapi di sisi yang sama keluarga itulah yang menjadi batas mustahil antara ia dan kehidupan remaja yang diam-diam ia inginkan: mencintai Shun. Sebab mencintai Shun adalah cinta terlarang.
Umi jadi terlihat rentan, padahal sepanjang film ia digambarkan kuat karena menggantikan tugas ibu di rumah. Kita jadi bisa relate dan bersimpati padanya. Itulah mengapa adegan mimpi tersebut begitu powerful, karena kita bisa melihat sisi lain Umi, bahwa ia tidak sempurna.
Momen-momen subtil nan dalam seperti yang terjadi pada Umi juga terjadi pada Shun. Kita melihat pergulatan batinnya. Di dalam hati, ia juga suka pada Umi sementara di tempat yang sama ada perasaan kecewa yang berlipat ganda.
Goro dan Hayao
Ada sebuah film dokumenter yang menarik dari Jepang, Jiro Dreams of Sushi (2011). Dokumenter ini bercerita tentang seorang master sushi Jiro Ono. Jiro adalah chef sushi terbaik di Jepang, bahkan di seluruh dunia. Jiro, master sushi berumur 85 tahun masih mengurus restorannya sendiri sementara anak tertuanya masih menjadi murid di usia 50 tahun.
Orang-orang berkata jika Jiro pensiun nanti, anaknya akan mengambil alih. Ada dua kemungkinan: si anak akan dinilai sukses jika bisa jauh lebih baik daripada ayahnya atau dia akan gagal. Namun apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah menjadi legenda seperti bapaknya.
Ini relevan dengan From Up on Poppy Hill: sama terjadi pada kasus Goro dan Hayao. Orang-orang berharap ia akan menggantikan ayahnya yang sudah gaek dan beberapa kali memutuskan pensiun. Namun pada kenyataannya, ia tidak (belum) sebaik ayahnya. Jalannya masih panjang ke depan.
Goro beberapa kali mengaku tertekan karena orang mengeset ekspektasi terhadapnya sama tinggi seperti ayahnya. Produser Studio Ghibli, Toshio Suzuki mengatakan menurut Goro, Hayao bukanlah ayahnya, tetapi lebih seperti tembok tinggi untuk dilewati.
Maka, mengharapkan Goro bisa sebaik ayahnya dalam waktu pendek adalah harapan yang sia-sia, enggak masuk akal, dan bersiap-siaplah kecewa. Namun, jika melihat progresnya lewat From Up On Poppy Hill ini, Goro bisa melaju dengan pesat. Asal ia mau.
Diedit oleh Fachrul Razi