Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sebuah karya sutradara ternama Joe Wright (Atonement, Jane Eyre, Pride & Prejudice), Darkest Hour mungkin tidak menyajikan gebrakan baru untuk sebuah drama biografi, namun tertolong banyak oleh arahan Wright yang brilian serta penampilan kuat dari ansambelnya, terutama Gary Oldman!
Winston Churchill memang merupakan salah satu tokoh sejarah terhebat, kontroversial, dan tentu saja sangat berpengaruh dalam sejarah peradaban modern di muka Bumi.
[duniaku_baca_juga]
Prestasi gemilangnya sebagai Perdana Menteri Inggris semasa Perang Dunia II berkecamuk melejitkan namanya di antara tokoh-tokoh penting di dunia pada saat itu. Tidak hanya sebagai PM, namun bakatnya sebagai ahli strategi, orator, diplomat dan politisi terkemuka berhasil mengabadikannya di dalam banyak catatan-catatan sejarah.
Berpuluh-puluh tahun setelah beliau wafat di tahun 1965, sosoknya sebagai pemimpin bertangan dingin namun juga setia kepada rakyat Inggris membuatnya masih terus dikenang, dengan begitu banyaknya film-film (baik bioskop maupun televisi), serial televisi, maupun teater tentang dirinya diproduksi.
Setelah diperankan oleh Albert Finney dan Brendan Gleeson dalam duologi film televisi HBO The Gathering Storm/Into the Storm produksi Ridley dan Tony Scott, serta aktor hebat Brian Cox dalam film bioskop Churchill (2017) yang sayangnya kurang terdengar gaungnya, kali ini giliran aktor kondang Gary Oldman yang mendapatkan kehormatan untuk memerankan sang Perdana Menteri dalam Darkest Hour arahan Joe Wright.
Bangkitnya Winston Churchill
Bulan Mei 1940, perang besar tengah berkecamuk di benua Eropa.
Selagi pasukan Inggris beserta sekutunya yaitu Perancis berusaha untuk menghentikan invasi Nazi Jerman terhadap Belgia, pemerintahan Inggris mengalami gejolak internal kala rakyat dan parlemen mulai kehilangan kepercayaan terhadap Perdana Menteri (PM) mereka saat itu, yaitu Neville Chamberlain (Ronald Pickup).
Diberhentikannya Chamberlain sebagai PM tidak memberikan parlemen banyak pilihan selain menunjuk Winston Churchill (Gary Oldman) sebagai penggantinya, yang kala itu juga reputasinya tengah memburuk akibat perbuatannya di masa lalu. Hal ini membuat banyak orang ragu akan kemampuan Churchill memimpin Inggris dalam masa-masa kelam, termasuk Lord Halifax (Stephen Dillane) dan Raja George IV (Ben Mendelsohn).
[read_more id="362555"]
Kala pasukan sekutu Inggris-Perancis terperangkap di pantai Dunkirk serta semakin besarnya peluang ancaman invasi Nazi Jerman terhadap Britania Raya, Churchill dihadapkan pada masa-masa sulit di mana dia tidak hanya harus mendapatkan kepercayaan dari rakyat Inggris, namun juga meyakinkan Halifax dan Raja George IV untuk tidak menyerah pada musuh sebelum bertarung.
Drama Biografi Konvensional yang Memikat
Adapun yang membuat Darkest Hour begitu menarik adalah penceritaan yang sangat baik. Film ini tidak terlalu terburu-buru maupun terlalu lambat dalam memperkenalkan tokoh-tokoh dan konfliknya, dan hebatnya dalam durasi 2 jam saja, Darkest Hour dengan baik menyeimbangkan jatah antara pengembangan kisah/konflik dan karakter.
Konflik di dalam film ini terbagi menjadi dua: Yang pertama adalah usaha Churchill sebagai orkestrator evakuasi Dunkirk, dan yang kedua adalah ajang pencarian jati dirinya sebagai Perdana Menteri yang baik.
Keduanya disajikan dengan rapi dan nyaman untuk diikuti, karena film ini dengan baik memberikan waktunya di awal bagi penonton untuk bisa memahami situasi lewat adegan-adegan eksposisi yang seru untuk disimak, sehingga meskipun "dihajar" oleh dialog-dialog yang panjang dan bertubi-tubi, Darkest Hour tidak pernah kehilangan fokusnya dan tetap konsisten dari awal hingga akhir.
Wright tidak takut untuk menyelipkan humor-humor dengan kadar yang tidak sedikit dalam upayanya mendekatkan penonton kepada tokoh-tokoh penting di dalam film ini, seperti Churchill dan istrinya; Clementine (Kristin Scott Thomas), Layton (Lily James); sekretaris pribadi Churchill, atau bahkan Raja George IV sendiri bisa mendapatkan jatah adegan lucu.
[read_more id="360405"]
Humor-humor yang ditampilkan lewat dialog-dialog yang cerdas nan menggelitik di sini tidak hanya mengundang gelak tawa namun juga membantu menghidupkan karakter, karena sebelum berpindah fokus pada perkembangan konflik, seorang storyteller harus mampu membuat audiensnya peduli dengan tokoh-tokoh yang akan menemani mereka sepanjang film berlangsung.
Production value di film ini sangat mengesankan. Mulai dari kostum, tata rias, set design, dan sinematografinya semuanya sangat sukses menggambarkan Inggris di tahun 1940-an. Wright memang dikenal sebagai sutradara yang senang "pamer" pemandangan, dan tentu saja film ini tidak luput dari shot-shot yang indah serta long take yang bertebaran di mana-mana, semua ciri khas film arahannya ada di sini.
Dibandingkan dengan komposisi-komposisi musiknya di Atonement dan Jane Eyre, skor musik gubahan Dario Marianelli di sini memang masih kalah memorable, namun cukup sukses menemani filmnya bak sebuah piano concerto yang megah, menemani tiap adegan dengan permainan piano indah dari Vikingur Olafsson dan orkestra yang bombastis.
Bagaimana dengan akting dari pemain-pemainnya? Simak lanjutannya di halaman kedua!
Ansambel Kelas Kakap yang Memukau
Haram rasanya bila mengulas Darkest Hour tanpa membahas secara khusus jajaran pemain-pemain yang meramaikan drama biografi ini.
Penampilan luar biasa Gary Oldman sendiri sudah lebih dari cukup sebagai alasan kenapa anda harus menonton Darkest Hour. Jujur saja, awalnya penulis kurang suka dengan gimmick make-up tebal yang dikenakan oleh Oldman di sini, karena agak sedikit "curang" mengingat di film-film tentang Churchill terdahulu, aktor-aktor yang dipilih memang memiliki penampilan fisik yang mirip dengan mendiang Perdana Menteri ini.
Namun selama dua jam durasi film berlangsung, semua pikiran negatif penulis tentang hal-hal diatas lenyap tak berbekas, lewat penampilan Oldman yang totalitas bak kerasukan.
Mulai dari gaya bicaranya yang penuh gumaman, emosinya yang meledak-ledak, maupun gestur tubuhnya sendiri benar-benar sukses membuat kita percaya bahwa yang sedang kita lihat bukanlah Oldman berakting, namun sosok Churchill yang seolah-olah kembali ke dunia untuk tampil di depan kamera.
Namun Oldman tak pernah lupa untuk memperlihatkan sisi yang lebih rentan dari sang Perdana Menteri agar tidak jatuh menjadi terlalu norak. Oldman juga bisa memperlihatkan sisi manusiawi Churchill yang juga memiliki keraguan dan hati nurani dengan sangat baik.
Darkest Hour tak akan bisa sebaik ini tanpa karakter pendukung yang baik pula. Pujian lebih patut dilayangkan kepada Stephen Dillane. Peran antagonistiknya sebagai Lord Halifax yang sinis dan licik di sini menjadikannya "lawan" yang layak untuk Oldman/Churchill yang penuh emosi meledak-ledak, adu mulut antara mereka berdua di pertengahan film begitu seru untuk disimak bak adegan duel silat.
[read_more id="362404"]
Namun yang menjadi "hati" di dalam film ini adalah Elizabeth Layton; sekretaris pribadi Churchill yang diperankan dengan sangat apik oleh aktris cantik Lily James.
Di tengah-tengah konflik politik yang berat serta tokoh-tokoh pejabat atau jendral militer yang kaku, James menghidupkan Layton sebagai "perwakilan" untuk penonton di dalam kisah Darkest Hour, sebagai orang awam tak berdaya yang hanya bisa melihat bagaimana dunia yang ia kenal perlahan-lahan mulai jatuh ke dalam kekacauan. Chemistry antara dirinya dan Oldman sebagai majikan-pelayan juga sangat enak untuk disimak.
Untuk Kristin Scott Thomas dan Ben Mendelsohn, patut diakui bahwa mereka juga memberikan penampilan yang tidak main-main, namun sayangnya tidak didukung oleh screentime yang cukup banyak untuk membuat kita ikut hanyut pada kisah mereka layaknya tiga tokoh di atas.
Verdict
Harus diakui, bahwa sebagai film biografi/biopic, Darkest Hour tidak menawarkan sesuatu yang baru atau spesial layaknya Jackie (2016) yang benar-benar unik dari film sejenisnya. Darkest Hour tetap memanfaatkan tropes favorit para filmmaker yang biasa mereka gunakan dalam film-film biopic, seperti kisah yang sentimental, set produksi yang ekstravagan, adegan-adegan yang didramatisir dan sebagainya.
[read_more id="362441"]
Tapi tak bisa dipungkiri, kendati terlalu konvensional, Joe Wright selaku sutradara mampu membuat film ini menjadi sebuah tontonan yang tidak membosankan atau terlalu terasa seperti sebuah dokumenter layaknya film-film biopic pada umumnya, namun menjadi sebuah drama yang memikat, menegangkan, dan menghibur penonton.
Diedit oleh Fachrul Razi