TUTUP

Review LOTR The War of the Rohirrim, Middle-Earth dalam Animasi

200 tahun sebelum kisah Bilbo Baggins dimulai

GENRE: Animation

ACTORS: Brian Cox, Gaia Wise, Miranda Otto

DIRECTOR: Kenji Kamiyama

RELEASE DATE: 13 Desember 2024

RATING: 3.5/5

Keputusan untuk merilis film animasi bertema Lord of the Rings cukup mengejutkan, mengingat era saat ini di bawah kepemimpinan Zaslav di Warner Bros. yang cenderung kurang mendukung animasi. Film ini dirilis secara teater dan berada di bawah nama Warner Bros. Itu sendiri. Bahkan, kami sempat berpikir film ini akan disimpan begitu saja di rak. Namun, kembali ke animasi di dunia Middle-Earth adalah sebuah lingkaran penuh yang indah.

Adaptasi pertama dari dunia J.R.R. Tolkien adalah film animasi, melalui "The Hobbit" yang disutradarai oleh Arthur Rankin Jr. dan Jules Bass pada tahun 1977. Melihat Lord of the Rings mendapatkan perlakuan animasi sepertinya hanya bisa kita temui dalam karya fan art, bukan dalam film layar lebar. Namun, meskipun The War of the Rohirrim memperlihatkan bahwa Middle-Earth tetap mempesona dalam berbagai bentuk media, sayangnya film ini terjebak dalam cerita yang kurang menggugah.

1. Visual yang Memukau tapi Main Aman

Dok. Warner Bros

Tidak mengherankan jika War of the Rohirrim memukau secara visual. Apa pun gaya animasinya, Middle-Earth selalu terlihat mempesona. Art director dan desainer produksinya bekerja dengan sangat baik, mempertahankan skala epik dari cerita sambil menambahkan gaya visual yang khas. Latar belakangnya sangat kaya dan penuh detail, menggambarkan suasana setiap adegan dengan sempurna. Desain makhluk-makhluk Tolkien yang dirender dalam gaya anime juga sangat menarik.

Sutradara Kenji Kamiyama, yang dikenal dengan karyanya di Ghost in the Shell dan Star Wars: Visions, berhasil memberikan sentuhan kekerasan yang khas dalam film ini. Adegan-adegan pertempuran terasa sangat brutal, bahkan lebih kejam daripada beberapa film live-action Peter Jackson.

Meski begitu, film ini tidak selalu berhasil mempertahankan kelancaran gerakan animasinya. Dibandingkan dengan proyek anime modern seperti Demon Slayer atau My Hero Academia, animasi dalam film ini terasa tidak konsisten. Beberapa adegan penuh gerakan halus, sementara yang lain terasa sangat lambat dan kaku. 

Selain itu semua desain karakter terlihat sangat main aman. Apalagi kalau kita membandingkan dengan animasi Castlevania yang dibuat oleh MUA Film atau Tiger Animation. Sepertinya semua pria dan wanita di film ini digambarkan sangat rupawan. Tidak ada karakter utama yang berantakan atau bahkan terlihat jorok seperti para Belmont di Castlevania.

Baca Juga: Review Kraven the Hunter, Film Apik dari Sony Spider-Man Universe

2. Cerita yang Kurang Mendukung Emosi

Dok. Warner Bros

Meskipun ada harapan untuk melihat protagonis wanita yang kuat, karakter Héra (Gaia Wise) terasa kurang berkembang. Ia tampaknya berada di antara karakter seperti Merida dari Brave dan Nausicaä dari Nausicaä of the Valley of the Wind, tetapi tidak memiliki hubungan yang mendalam dengan alam atau cukup tegas untuk membuatnya menarik. Dalam banyak hal, Héra terasa lebih seperti karakter dengan kemampuan istimewa tanpa kedalaman emosional yang memadai, atau sering disebut sebagai "Mary Sue."

Karakter-karakter lain, termasuk Wulf (Luca Pasqualino), yang dimotivasi oleh dendam, juga tidak memberikan dampak yang kuat. Satu-satunya karakter yang benar-benar menarik adalah Helm Hammerhand (Brian Cox), yang diperankan dengan sangat baik oleh Cox. Suara dan penggambarannya sangat kuat, menghadirkan sosok Raja Rohan yang tangguh dan karismatik. Sayangnya, cerita yang diceritakan melalui karakter-karakter ini terasa terlalu lambat dan tidak menawarkan banyak ketegangan emosional.

3. Terlalu Banyak Sub Plot

Dok. Warner Bros

Meskipun film ini mencoba menggali lebih dalam mengenai budaya Anglo-Saxon yang menginspirasi karya Tolkien, cerita yang disajikan terasa lebih seperti pengulangan daripada sesuatu yang segar. Naskahnya, yang ditulis oleh Jeffrey Addiss, Will Matthews, Phoebe Gittins, dan Arty Papageorgiou, tampak ragu untuk mengambil risiko dan tetap berpegang pada formula cerita yang sudah dikenal. Hasilnya, cerita terasa cenderung datar dan tidak mampu memberikan pengalaman yang mendalam bagi penonton.

Film ini juga terasa terlalu panjang untuk cerita yang disajikan. Dengan durasi lebih dari dua jam, War of the Rohirrim terkadang terasa lambat dan berlarut-larut. Beberapa adegan yang seharusnya memberikan dampak emosional malah terasa terulur tanpa memberikan banyak makna. Hasilnya, ada banyak sekali sub plot yang muncul di War of the Rohirrim. Untungnya semua plot tersebut kebanyakan diselesaikan di dalam film, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan yang menggantung.

4. Kembali ke Middle Earth?

Dok. Warner Bros

Secara keseluruhan, The War of the Rohirrim menawarkan pengalaman visual yang memukau dan adegan aksi yang brutal, tetapi kekurangan dalam hal cerita, karakter, dan animasi yang tidak konsisten mengurangi daya tariknya.

Meskipun film ini tidak sepenuhnya berhasil, kami tetap berharap untuk melihat lebih banyak cerita Lord of the Rings yang disajikan melalui lensa Kenji Kamiyama, tentunya dengan anggaran yang lebih besar dan naskah yang lebih kuat di masa depan.

Kapan lagi kita menyaksikan cerita-cerita Tolkien yang dibuat dalam sebuah format yang bisa dibilang bebas dari keterbatasan dunia fana.

Baca Juga: Review Seri Secret Level, Antologi Gaming Prime Video Serba Repeat!