Konsep time loop a la Groundhog Day bertemu dengan teen-slasher yang asik. Happy Death Day sedang tayang di bioskop.
Follow Duniaku untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Film ini membuat kematian menjadi hal yang seru dengan menggabungkan konsep time loop a la Groundhog Day (1993) dan teen-slasher yang asik. Simak selengkapnya dalam review Happy Death Day berikut ini.
Groundhog Day adalah film yang berpengaruh dalam pengembangan konsep
time loop. Di dalam film keluaran tahun 1993 tersebut, diceritakan Phil (Bill Murray) terjebak dalam situasi di mana ia selalu terbangun di hari yang sama setiap paginya. [duniaku_baca_juga] Phil telah mencoba untuk bunuh diri dan terjaga semalaman, namun konsep
time loop tetap mengembalikannya di pagi yang sama. Layaknya tombol
save atau
insert coin dalam game arcade, peristiwa di sekitar Phil pada hari itu di-
reset seperti semula. Keuntungannya: Ia bisa melakukan apa saja di hari tersebut. Mulai dari merampok truk berisi duit, berkencan dengan perempuan cantik, hingga les piano sampai mahir. Konsep
time loop ini kemudian diikuti oleh film-film setelahnya, seperti
Edge of Tomorrow (2014), film fiksi-sains yang dibintangi Tom Cruise. Lalu pada 2017 ini, konsep tersebut digabungkan dengan
teen-slasher: kisah pembunuhan yang melibatkan perempuan sekolah/kuliahan menjadi sebuah film horor-komedi Happy Death Day.
Sinopsis
Tree Gelbman (Jessica Rothe) bangun kesiangan di sebuah kamar asrama laki-laki. Ia mabuk semalaman. Tree adalah tipikal
mean girl: judes, bermulut tajam,
bitchy, terobsesi pada gaya hidup kekinian, dan bergabung dengan geng gadis-gadis judes lainnya. Perjalanan pulang dari asrama laki-laki ke asrama perempuan menunjukkan sebagian besar sifatnya. Ketika semua orang berpakaian kuliah, ia jalan dengan
tank top, celana ketat, dan ber-
high heel. Ia menolak menandatangani petisi
global warming dengan kasar, tidak menjawab telepon ayah, mencampakkan mantan pacar, hingga membuang kue ulang tahun yang dihadiahkan teman sekamarnya. Oiya, hari itu ia berulang tahun. Hari yang bahagia. Namun di penghujung hari, seseorang bertopeng membunuhnya dengan pisau. Dan Tree terbangun lagi di asrama laki-laki.
Apa yang akan kamu lakukan kalau bisa bangun di pagi yang sama setiap harinya? Baca review Happy Death Day selengkapnya di halaman berikut!
Time Loop Campur Whodunit Campur Teen-Slasher
Dengan konsep yang sama seperti
Groundhog Day,
Happy Death Day secara praktis beda dalam soal genre. Jika
Groundhog Day itu komedi, maka film ini horor. Phil tidak punya urgensi sepenting Tree untuk mencari tahu mengapa mereka bisa selalu terbangun di pagi yang sama setiap harinya. Namun sama seperti Phil, Tree juga terbangun setiap harinya untuk mengumpulkan petunjuk agar bisa lepas dari lompatan waktu ini. Lewat
Happy Death Day, penonton diberi sebuah skema
thriller whodunit, yaitu plot di mana penonton juga punya kesempatan untuk melakukan deduksi dengan informasi dan proses yang sama seperti si protagonis untuk mencari tahu siapa pembunuhnya. Tree (begitu juga penonton) membuat daftar orang-orang yang tahu hari ulang tahunnya sekaligus juga yang punya motif. Tidak sulit mencari orang dengan motif mengingat kelakuan Tree selama ini yang keji dan licik. Setiap harinya, ia mengumpulkan petunjuk untuk bisa membuka jati diri si pembunuh dengan harapan bisa menghentikan rantai
time loop dan bisa hidup normal kembali. Namun semakin lama Tree terbangun setiap harinya, ia menjadi semakin lemah khususnya secara mental. Bagaimana tidak, ia harus melalui peristiwa yang sama setiap harinya. Belum lagi ia dikejar-kejar fakta bahwa ada seseorang yang ingin ia mati.
Alasan terjadinya
time loop ini kemudian tak dijelaskan lebih lanjut. Tetapi penceritaan film menggeser hal itu menjadi sesuatu yang lebih
urgent: pengembangan karakter Tree. Tanpa mengetahui asal usul
time loop ini, pada akhirnya kita akan mengerti bahwa ia memang tak perlu dijelaskan karena ini semua adalah tentang si protagonis. Konsep
time loop ini pun juga tak disia-siakan oleh sutradara Christopher B. Landon dan penulis naskah Scott Lobdell. Ia mengeksplorasi imajinasi penonton, seperti apa yang akan kamu lakukan jika punya nyawa tak terbatas? Bagaimana kamu memanfaatkan kesempatan jika segala peristiwa di hari itu sudah bisa diprediksi? Tree sudah mencoba untuk makan makanan berkarbohidrat sampai puas tanpa takut gemuk. Ia juga sudah jalan-jalan di kampus tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Seperti halnya
Groundhog Day, kesempatan tersebut dieksplor secara asik dan seru dalam
Happy Death Day. Belum lagi ada sentuhan horor yang sebenarnya tidak seram-seram amat, namun cukup menegangkan untuk membuat detak jantungmu berkejaran. Seringkali adegan
slasher tersebut dibuat jenaka, misalnya saat Tree yang pasrah karena pada hari itu ia gagal menemukan si pembunuh sebelum dia datang.
Persoalan Motivasi
Dengan penceritaan yang solid dan konsisten, satu-satunya kekurangan dalam
review Happy Death Day ini adalah soal motivasi si pembunuh. Rasanya itu seperti sudah capek-capek melakukan deduksi sana-sini dengan melahap semua petunjuk, tetapi pada akhirnya, alasan si pembunuh kurang cukup masuk akal. [duniaku_adsense] Terlepas dari itu,
Happy Death Day menawarkan serunya film horor pembunuhan dengan cerita remaja yang agak liar dan digabung dengan konsep
time loop yang imajinatif. Performa Jessica Rothe (ia gadis bergaun hijau dalam sekuens
Someone in the Crowd di film
La La Land) patut dipuji karena berhasil mengantarkan emosi dengan baik sekaligus menjadi poros utama film ini. [read_more id="338224"]
Review Happy Death Day dalam kalimat singkat: film yang menyenangkan.
Diedit oleh Doni Jaelani